Mas Koes “in action” dalam panggung musik rock. (Foto: Dokumentasi)

DNKO, Seniman Serbabisa

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Mas Koes atau Bung Koes begitu dia biasa disapa oleh rekan-rekannya.

Pria kelahiran Jogjakarta 5 Maret 1954 ini – seperti umumnya Wong Ngayogyahadiningrat – penampilan sehari-harinya terkesan klemak-klemek. Tapi, kalau sudah tampil di panggung, bisa berubah 180 derajat.

Penampilan yang berubah total tersebut memang sebuah tuntutan. Karena, sebagai gitaris Toraq Band (yang oleh rekan-rekannya “diplesetkan” menjadi “Toraq Toraq Bergembira), tidak mungkin mas Koes tampil klemak-klemek.

Mas Koes (kanan) saat manggung bersama Toraq Band.

Saat tampil di panggung Mas Koes (ada juga yang menyebut namanya dengan sebutan DNKO – seperti orang Rusia) tetap memakai kaca matanya.

Rambut panjangnya dia biarkan terurai. Sehingga, saat dia benar-benar “masuk” ke dalam suasana lagu yang dibawakan oleh Toraq Band (yang beraliran rock), dia pun mengibas-ibaskan rambutnya ke kiri, kanan, depan dan belakang dengan disertai tetesan keringat yang jatuh menitik-satu-persatu ke lantai panggung.

Namun, perubahan sembilan puluh derajat pun kembali terjadi saat dia duduk menghadapi kanvas yang akan “menampung” gejolak jiwanya.

Ya, betul. DN Koestolo, Mas Koes, Bung Koes, atau DNKO memang seniman serba bisa.

Selain melukis, ayah dari si kembar Daniel Galih Seta dan Rizky Galih Seta, Richie Galuh Seta (alm), Ajeng Galuh Sita dan Adina Galuh Sita, ini, juga dikenal sebagai ilustrator andal.

Mas Koes sedang menyelesaikan karyanya.

Dia pernah bekerja di Majalah Amanah sebagai ilustrator dan menjadi kontributor tetap di Majalah Kartini dan Majalah Anak-anak Ananda (Kartini Group).

Di lingkungan tempat kerjanya, jarang yang tahu kalau dia adalah gitaris – yang dia kuasai sejak dia masih duduk di bangku SMA, juga dalam hal lukis-melukis.

Setelah dia bersahabat dengan Irwan Nasution – staf bagian iklan Majalah Kartini dan Dedi artistik Majalah NONA – barulah semua pegawai di lingkungan Kartini Group tahu bahwa kakek dari lima orang cucu (semuanya perempuan) ini adalah seorang gitaris. Karena mereka punya jadwal tetap untuk latihan bersama.

Salah satu dari delapan halaman komik hasil karyanya yang diikutsertakan dalam lomba.

Persabatannya dengan Irwan Nasution, membuat Mas Koes beberapa kali tampil dalam jam session di beberapa resto ternama. Selain itu, sesekali Mas Koes bersama Irwan Nasution yang piawai memainkan organ, tampil menghibur dalam acara resepsi pernikahan.

Tak hanya tampil bersama Irwan Nasution, Mas Koes bersama putra kembarnya Daniel dan Rizky, pun beberapa kali pernah tampil di Pasar Seni Ancol.

Sementara, sebagai pelukis, nama DN Koestolo tercatat sebagai anggota Sanggar Garajas Bulungan, Jakarta Selatan.

Beberapa kali dia ikut pameran bersama sanggar yang didirikan oleh Dimaz Praz (alm) – ilustrator andal Majalah Femina – dan beberapa orang temannya itu yang pernah mengenyam pendidikan di SSRI Yogyakarta.

Tahun lalu saat Sanggar Garajas menggelar pameran dan lelang lukisan di sebuah galeri yang beralamat di Jalan Tanah IV, Jakarta Pusat, lukisan karya Mas Koes menjadi salah satu lukisan yang terjual dalam acara lelang tersebut.

Salah satu lukisan karya Mas Koes yang menunggu pembeli.

Dia tidak bisa hadir dalam acara tersebut, karena sejak media tempat dia bekerja tutup, dia seolah-olah “hilang” dari peredaran.

Ada yang mengabarkan kalau dia pulang kampung. Tapi, ada juga yang mengabarkan bahwa dia masih tinggal di rumahnya di Perumnas I – Rawa Tembaga, Kranji, Bekasi Barat.

Namun, seorang illustrator mengabarkan bahwa DNKO – bersama Budi Indra Cahaya, NBC Sukma, Mas Anto Buncit dan lain-lain – bekerja di sebuah penerbitan yang beralamat di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Tapi, tidak lama dia bekerja di penerbitan tersebut, karena di kemudian hari Mas Koes pulang kampung – seiringdengan pensiunnya sang istri, Endang Sri Rahayu, dari Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang beralamat di Jalan Gatot Subroto 40-42, Jakarta Pusat.

Sesekali dia ke Kranji “nyambangi” salah seorang putrinya, yang bekerja di sebuah televisi swasta di Jakarta.Waktunya pun singkat sehingga dia tidak sempat untuk bersilaturrahmi dengan rekan-rekannya yang terhimpun dalam komunitas seni Bulungan.

Tapi era medsos seperti sekarang ini berhasil mempertemukan sekaligus mempererat kembali persahabatan independensi.com dengan seniman serba bisa yang satu ini.

Rupanya “pulang kampung” bagi seorang DNKO tidak identik dengan “tenguk tenguk nyonggo bathuk” (bengong karena bingung apa yang harus dikerjakan).

Yang terjadi justru sebaliknya. Paling tidak – dalam arti positif – Mas koes, termasuk ke dalam kelompok “tua tua keladi”, setelah kembali ke kampung halamannya.

Order pun terus mengalir – meski tidak sederas aliran Kali Code. Dan, dia mengaku sangat bersyukur, karena di era teknologi seperti saat ini segalanya menjadi lebih mudah: dalam hitungan detik hasil karyanya – setelah di-scan kemudian dikirim ke pihak pemesan melalui email.

Yang pasti, setelah “mulih ndeso” kiprahnya sebagai gitaris semakin meng-”gila” – sesuatu yang tidak mungkin tersalurkan dengan sempurna saat dia masih berdomisili di Jalan Mawar Raya No15, Perumnas I Kranji, Bekasi Barat.

Tampil di panggung musik rock sebagai gitaris bagi Mas Koes bukan untuk mencari sensasi.Tapi semata rekreasi berbasis seni agar daya pikir otak kanan dan otak kiri tetap terjaga keseimbangannya.

Dan, uniknya, ekspresi yang terpancar di panggung musik rock, sangat bertolak belakang dengan ekspresi yang terpancar melalui sapuan kuasnya, baik saat dia melukis di kanvas maupun saat dia membuat illustrasi di kertas gambar.

Dalam sebuah obrolan ringan sambil menyeruput teh poci dan ketan susu di warteg yang berlokasi di ujung Jalan Garuda (alamat kantor Kartini Group) yang menuju arah Jalan Haji Jiung, Kemayoran – Jakarta Pusat, penulis menanyakan mengapa dia tidak melukis dengan aliran surealis dan/atau abstrak, Mas Koes menjawab:

“Bukan aku tidak bisa melukis surealis dan abstrak. Aku bisa… bisa. Tapi, untuk saat ini kok aku lebih sreg melukis realis. Mungkin, suatu saat nanti, entah kapan, aku akan mencoba melukis surealis dan abstrak.”

Faktanya, telah lebih dari sepuluh tahun obrolan sambil menyeruput teh poci dan ketan susu berlalu, Mas Koes tetap konsisten dengan pilihannya yakni sebagai pelukis realis.

Tapi, seperti pelukis pada umumnya, DNKO pun tidak berani menyebut angka pasti.

Yang jelas, lukisan Mas Koes bertema bangunan bersejarah di Yogyakarta saat kota gudeg tersebut menjadi Ibukota Republik Indonesia, dalam pameran bersama Sanggar Garajas dan lelang lukisan yang berlangsung pada tahun lalu di galeri yang beralamat di Jalan Tanah Abang IV, Jakarta Pusat, lukisan tersebut laku terjual di atas Rp 10 Juta.

Mas Koes jujur mengaku bahwa dia tidak munafik masih butuh income (baca: uang) untuk mendukung kehdupan sehari-harinya.

Akan tetapi – tanpa bermaksud sok idealis atau apa pun istilahnya – Mas Koes sangat bersyukur masih ada orang yang mau menghargai hasil karyanya.

Itu berarti bahwa dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, Mas Koes merasa bahwa hidup yang dilakoninya tidaklah sia-sia dan bermanfaat bagi orang lain.

Fakta itulah yang membuat dia tetap bersemangat untuk terus berkarya dan tampil energik di panggung musik rock – meski usianya sudah lebih dari enam puluh tahun.

Dan, seniman serbabisa yang satu ini – seperti orang Yogyakarta pada umumnya, selain piawai mentertawakan kehidupan dunia dengan lika-likunya, dia juga piawai melakukan otokritik dan menghibur diri sendiri dengan “plesetan”.

Meskipun komunikasi yang terjalin hanya sebatas melalui WhatsApp, namun kedekatan yang sebelum ini facuum menjadi “hangat” dan “bergairah” kembali.

Setidaknya, Mas Koes, selalu japri ke independensi.com tentang segala hal yang dialaminya sejak dia menetap di kota kelahirannya.

Medio Februari lalu dia berkabar kalau dia mengikuti lomba membuat komik yang diselenggarakan Departemen Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta.

“Djoko Tingkir” judul komik yang dibuatnya sebanyak 8 halaman lolos ke final.

Mas Koes mengetahui lomba tersebut juga melalui medsos yang disampaikan oleh koleganya, Gerdi WK, yang dikenal sebagai komikus dan illustrator handal.

Dan, beberapa waktu yang lalu pun tepatnya pada 23-26 Maret dia berada di kediaman lamanya yang saat ini dihuni oleh salah seorang putrinya yang ada di Kranji.

Dengan bahasa Jawa bernada sarkastis dia minta tolong agar IndependensI.com menyampaikan permintaan maafnya karena dia tidak sempat bertemu dengan teman-teman Sanggar Garajas.

“Aku kasihan sama Ajeng, karena rumahnya bocor.Aku turun tangan langsung naik ke atap mengganti genteng rumah yang retak-retak.Begitu selesai aku langsung kembali ke Yogya,” katanya serius sekali.

Cobo to opo ono gitaris kok ndandani umah sing trocoh. Rakyo bongko tenan to, Dab,” tambahnya sambil tertawa cekakan. (Coba, apa ada gitaris kok membetulkan rumah yang bocor… Kan ya hancur beneran hatiku, Bro).

“Yo yo yo …,” sahut IndependensI.com. Dan, kemudian kami pun tertawa bersahutan tanpa harus saling menatap wajah masing-masing.

Agaknya memang tidak terlalu berlebihan kalau Mas Koes dijuluki seniman serba bisa. Sebab, selain piawai membetot dawai gitar, dia juga piawai memperbaiki atap rumah yang bocor. (Toto Prawoto)

4 comments

  1. Mas DNKO, salam kangen dan teruslah berkarya mas ku 🙂

    1. Terima kasih, mbak Riyana sis… Sakam kange kembali. Kapan ke Yogya lagi?

  2. Apik mas, terima kasih atas bacaan simpel dan hangatnya. banyak hal yang bisa diolah dari kesederhanaan hidup manusia, namun memiliki pelajaran penting bagi hidup manusia lainnya (baca: hidup saya pribadi)

    1. Terimakasih, jeng. Ini kan kreativitas mas Tepe yang bebas tanpa batas dan marai bongko itu, jeng Riana.
      Iya, aku aja ya terharu….wong obrolan biasa kok tau2 ditulis begini yaa……. Saya juga bersyukur, masih bisa berkarya seni apa pun itu…mumpung masih dikasih kesempatan olehNya….🙏

Comments are closed.