Skandal Meikarta dan Pihak Ketiga

Loading

IndependensI.com – Megaproyek kota modern, maju dan terpadu Meikarta dengan luas lahan 84,6 Hektare dan direncanakan 774 Hektare  menyertakan partisipasi dan kontribusi pihak ketika, baik konsumen, supplier maupun investor.

Dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) atas pengurusan ijin Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat itu melibatkan Bupati Neneng Hasanah Yasin dan empat pejabat Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), Kadis PUPR Jamaluddin, Kadis Pemadam Kebakaran Sahat M BjNahor, Kadis Penanaman Modal dan Pelayanan Perijinan Terpadu Dewi Trisnawati dan Kabid Tataruang PUPR Neneng Rahmi.

Dari swasta pemberi suap adalah Direktur Operasi Lippo Grup Billy Sindoro, Taryudi dan Fitra Jaya Purnama keduanya Konsulta Lippo Grup dan seorang karyawan Henry Jasmen. Dalam kondisi terjerat kasus korupsi pasti memakan waktu lama, menyangkut mereka-mereka yang terlibat dan yang dianggap bertanggungjawab atas penyuapan tersebut masih harus disidangkan, dan biasanya tidak ada yang lolos dari jeratan hukum.

Sekarang persoalannya, bagaimana nasib proyek besar tersebut, apakah proses tipikor tersebut akan mempengaruhi ijin yang berbuntut bagi nasib pihak ke tiga, konsumen, supplier dan investor. Dengan adanya kasus suap perizinan itu berarti memang ada masalah, pastinya ada yang dikorbankan apakah lingkungan, masyarakat setempat dan lainnya.

Karena OTT tersebut menyangkut ijin, menjadi pertanyaan, apakah suap itu hanya untuk memperlancar saja atau ada pelanggaran yang seharusnya tidak bisa keluar ijin akan tetapi karena uang suap itu “mempengaruhi” Pemda, sehingga Bupati cs mengeluarkan ijin tersebut?

Kita mengapresiasi sikap Prof. Dr. Denny Indrayana dalam kedudukannya sebagai Konsultan Hukum PT Mahkota Sentosa Utama perusahaan pengembang megaproyek Meikarta, memisahkan kasus korupsi yang menyangkut perijinan yang menjerat orang-orang penyuap serta pejabat Pemda Bekasi yang menerima Rp. 7 miliar dari keseluruhan Rp. 13 miliar dengan kelanjutan pembangunan proyek Meikarta. Sebab belakangan ini para advokat atau kuasa hukum sudah terbiasa mengabaikan nurani dan etika, sebab ada yang mengatas namakan seseorang (Klien ?), padahal belum mengantongi Surat Kuasa.

Denny Indrayana sebagai aktivis anti korupsi tidak menggunakan posisi dan pengaruhnya dalam penanganan kasus ini, malah dia tidak berkomentar mengenai orang-orang Lippo yang terjerat korupsi. Kita juga masih menunggu sikap tokoh anti korupsi ini apakah masih bertahan sebagai kuasa hukum PT SMU, atau ambil sikap lain apabila nanti terbukti perusahaan dan pengusaha Lippo Grup dan atau anak-anak perusahaannya terlibat. Sebab biasanya para tokoh masyarakat apalagi mantan pejabat sering “nimbrungkan” pengaruhnya dalam kasus-kasus hukum, tetapi mungkin masih berpikir duakali berhadapan dengan KPK.

Namun melalui kasus Meikarta yang tersandung dengan perijinan, kita jadi bertanya-tanya, bagaimana dengan kawasan pemukiman dan kota-kota baru seperti Bumi Serpong Damai, Kota Karawaci, Kota Cikarang, Kelapa Gading, segitiga Kuningan, Pluit, Sunter Podomoro, Rafless Hills, Kota Wisata Cibubur dan Pesona Kayangan Depok, serta komplek2 perumahan baru di Bekasi dan lainnya.

Karena pembangunan-pembangunan kawasan tersebut memang dibangun pada era masa sebelum ada KPK. Kalaulah Meikarta berjalan mulus, yang menjadi pertanyaan, berapa banyak keluarga dan anggota keluarganya yang tergusur serta bagaimana nasib dan masa depan mereka. Membayangkan banyaknya keluarga dari kawasan Kuningan Jakarta Selatan yang harus terpindahkan, bagaimana kehidupannya sekarang?

Harapan masyarakat memang berada di pundak KPK di dalam banyak hal, karena sampai saat ini masih diyakini banyak orang bahwa KPK masih kuat untuk tidak “masuk angin” .

Demikian juga dalam penyelesaian kasus ijin Meikarta dengan lahan seluas 84,6 Ha hanya di tingkat Bupati, dan apakah uang saup sebesar Rp. 13 miliar hanya pada tingkat Direktur Operasi semata ataukah sampai ke level pimpinan tertinggi. Karena logikanya apa yang dilakukan oleh direktur operasi mustahil tidak diketahui pimpinannya, apalagi menyangkut anggaran. Semua itu menjadi pekerjaan rumah KPK.

Dalam kaitan proses hukum keprofesionalan KPK tidak diragukan, walaupun sering dituding sebagai pilih kasih, pilih bulu atau tebang pilih, tergantung dari cara pandang masing-masing. Tetapi yang jelas bahwa KPK kelihatannya seolah tidak mampu menangani masalah korupsi, baik warisan masa lalu yang sedang berjalan serta yang OTT. Selain dipandang sebelah mata oleh banyak pihak, juga masih kurang personalianya.

Kita berharap agar KPK intensif memonitor tindak pidana korupsi dengan menyadap para pelaku korupsi, sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat untuk giat melaporkan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penaghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Bch)