Wakajati DKI Jakarta Fathor Rohman (dua dari kanan) dan Deputi Direktur BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta Ahmad Hafiz (paling kiri) sedang memberikan keterangan pers usai penyuluhan

BPJS Naker Gandeng Kejati DKI Jakarta Tagih Tunggakan Iuran Rp1,1 Triliun

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan DKI Jakarta menggandeng Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menagih tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai Rp1,1 triliun sejak tahun 2015.
Menurut Wakil Jaksa Tinggi DKI Jakarta Fathor Rohman kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/12/2018) jumlah tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang akan ditagih itu berasal dari sekitar 43 ribu perusahaan.

“Kami sebenarnya bisa saja pakai jalur hukum untuk memaksa perusahaan membayar kewajiban. Tapi saat ini kami sifatnya masih menghimbau,” kata Fathor seusai memberi penyuluhan kepada 82 perusahaan di Kejati DKI Jakarta.

Dikatakannya penyuluhan tersebut dilaksanakan setelah Kejati DKI Jakarta mendapat surat kuasa khusus (SKK) dari BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta.

Selanjutnya pihaknya mengundang perwakilan dari 82 perusahaan untuk hadir guna mendapat penyuluhan terkait kewajiban mereka untuk membayar iuran.

Selain itu, tutur Fathor, untuk mengetahui mengapa ada diantara perusahaan-perusahaan itu tidak mendaftarkan karyawannya kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Penyuluhan ini, kata dia, dimanfaatkan pihaknya untuk lebih dahulu mengimbau dan mengetuk nurani para pengusaha mematuhi peraturan yang ada terkait BPJS Ketenagakerjaan.

“Jadi ini bukan untuk menggertak. Karena tidak ada istilahnya gertak-menggertak. Saya akan mengetuk nurani saja. Nurani pengusaha untuk mematuhi peraturan,” tutur Fathor.

Dia sendiri menyebutkan berdasarkan laporan yang diterima Kejati dari BPJS Naker DKI dari 43.855 perusahaan yang menunggak iuran BPJS Naker ada beberapa kategori.
“Ada yang lancar 16.668 perusahaan, tersendat 11.156 perusahaan, ragu-ragu 10.022 perusahaan dan ada yang macet sama sekali 6.009 perusahaan,” ucapnya seraya menyebutkan pengusaha sebenarnya paham adanya sanksi terhadap mereka jika tidak mematuhi pasal 55 Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan.

Disebutkannya sanksi kepada perusahaan yaitu hukuman maksimal pidana penjara delapan tahun atau denda sebesar Rp1 Milyar.

Selain itu, tutur dia, izin-izin perusahaan juga bisa dicabut, termasuk izin tender sebagaimana diatur PP Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial.

Mantan Aspidum Kejati Jawa Timur mengakui jumlah tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta yang mencapai Rp1,1 triliun tergolong sangat besar sekali.
Apalagi, kata Fathor, ini menyangkut masalah kemanusiaan yaitu masalah hak asasi manusia. Soalnya, kata dia, jika pekerja tidak didaftarkan dalam BPJS, nanti kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan kerja dan lainnya, mereka tidak bisa mendapat santunan.

Deputi Direktur BPJS Ketenagakerjaan DKI Jakarta Ahmad Hafiz mengatakan penyuluhan yang dilakukan terhadap perusahaan adalah sekedar untuk mengingatkan kewajiban mereka soal iuran BPJS Ketenagakerjaan.

“Memang biasa perusahaan lupa untuk membayarnya. Karena itu hari ini kita ingatkan. Kalau kami tidak bisa maka kami serahkan ke jaksa,” kata Hafiz. (MJ Riyadi)

 

2 comments

Comments are closed.