Politik Santun dan Beretika

Loading

Independensi.com – Di tengah masa kampanye menjelang pemilihan pasangan Presiden/Wakil Presiden dan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kota/Kabupaten tanggal 19 April 2019, keinginan akan hadirnya politik santun dan beretika muncul kembali.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2004-2014 dan juga sebagai Ketua Umum Partai Demokrat ada upaya dan seruan berpolitik santun, bersih, dan cerdas. Pada periode itu, Presiden SBY dan keluarga, serta Partai Demokrat tidak sepi dari isu miring dan tuduhan-tuduhan dari berbagai kalangan.

Presiden Joko Widodo juga tidak terbebas dari macam-macam tudingan serta isu miring, mulai dari yang tidak masuk akal sampai yang tidak benar atau bahkan terbalik dari kenyataan.

Kita tidak ingin mencampuri isu miring atau tuduhan-tuduhan tersebut. Yang ingin kita coba kemukakan adalah pentingnya politik santun dan beretika.

Sholehudin Abdul Aziz dalam tulisannya di Kompas.com 26 Mei 2011 berjudul: “Adakah Politik Santun dan Beretika?”, kelihatannya juga sulit menjawab pertanyaan itu. Sholehudin dengan segala kegusarannya menuliskan: “Para politisi dari partai politik siap melakukan kompromi politik apa saja, dengan siapa pun, dan melalui langkah apa pun, tak peduli apa pun hingga akhirnya harus mengorbankan nilai-nilai agama, etika dan ideologi partai itu sendiri”.

Dia juga mengatakan, “wajar bila Presiden Soekarno pernah mengilustrasikan kekecewaannya terhadap sikap politik dan peran partai-partai, dalam pidato peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956 yang berjudul: “Kuburkan Partai Politik”. “Kita semua diserang penyakit. Penyakit yang lebih berbahaya daripada sentimen etnik dan kedaerahan. Anda barangkali bertanya, penyakit apa itu? Dengan terus terang, saya katakan: Penyakit partai politik….”

Di akhir tulisan tersebut, Sholehudin mengatakan, “Maka dari itu, jangan sekali-kali bicara etika dan kesantunan dalam berpolitik karena politik memang bukan wilayah etika dan kesantunan”.

Setuju atau tidak setuju dengan pendapat tersebut adalah wajar, sama dengan pendapat politik itu kotor atau tidak, bergantung pada siapa, mengapa, bagaimana, serta kapan penilaian itu dibutuhkan atau dikemukakan.

Politik itu secara sederhana dapat kita artikan sebagai suatu upaya memperoleh, merebut atau meraih, memelihara, serta mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian setiap langkah atau gerak untuk mencapai suatu kedudukan atau posisi pada hakikatnya sudah masuk ranah politik.

Tetapi, tidak semua upaya untuk memperoleh posisi yang lebih tinggi dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik. Misalnya, seorang Joko Widodo sebagai pengusaha mebel menjadi Wali Kota Solo, kemudian Gubernur DKI dan sekarang Presiden RI secara sah dan hukum adalah sesuai aturan dan rambu-rambu demokrasi.

Memang sejarah dunia memberikan berbagai pelajaran dalam berpolitik seperti “bumi hangus” Kota Roma yang dilakukan pihak yang tidak dikenal dan dijadikan Kaisar Nero Caludius Caesar Augustus Germanicus sebagai alasan untuk “membersihkan” lawan politiknya.

Kemudian bagaimana Adolf Hitler dengan Nazi-nya serta Benito Amilcare Andrea Mussolini dengan Partai Fasis Nasional-nya, ada kecenderungan politik membabi-buta, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Kita di Indonesia tidak mungkin lagi mengalami hal-hal seperti di atas, karena politik kita sudah memasuki era demokrasi modern, walaupun tidak bisa dilupakan peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September/PKI tahun 1965.

Pada era Orde Baru, peserta pemilu pertama tahun 1973 terdiri dari sembilan partai dan satu Golongan Karya. Kemudian terjadi penyederhanaan jumlah partai menjadi dua: Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia (PPP dan PDI) dan satu kekuatan sosial politik Golongan Karya.

Di era Bung Karno perlu dicatat, bagaimana Drs. Mohammad Hatta sebagai dwitunggal dengan Bung Karno memproklamirkan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi Wakil Presiden, walaupun dwitunggal pecah dan Bung Hatta tidak lagi Wakil Presiden, dia tidak mengganggu pemerintahan Bung Karno.

Demikian juga Kepala Staf Angkatan Perang RI, Jenderal Mayor TB Simatupang, yang jabatannya dihapus Bung Karno dan TB Simatupang tidak memiliki status, namun yang bersangkutan tidak mengggunakan pengaruhnya untuk mencari posisi atau mengganggu Bung Karno dalam memerintah serta mengisi Kemerdekaan RI.

Mungkin belajar dari Drs. Moh. Hatta dan Mayor Jenderal TB Simatupang dapat kita melihat bahwa kepentingan nusa dan bangsa serta Negara Kesatuan RI jauh lebih penting dari kepentingan pribadi. Sepanjang yang dapat ditelusuri, Moh. Hatta dan TB Simatupang tidak pernah menjelek-jelekkan kepribadian dan kepemimpinan Bung Karno.

TB Simatupang berupaya memperbaiki keadaan melalui tulisan dan ceramah-ceramahnya justru setelah Orde Baru dengan mendorong Pemerintah Soeharto untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Belajar dari kedua tokoh tersebut, barangkali dapat dilihat bahwa politik santun, bersih dan beretika itu ada, bergantung pada waktu, tempat dan orangnya. Apakah masih ada sifat dan sikap seperti itu pada politisi kita dan dalam praktik perpolitikan kita, mari kita lihat, sejarah akan mencatat. (Bch)

One comment

Comments are closed.