Askiman, Wakil Bupati Sintang yang juga Deputi Presiden International Dayak Justice Council (IDJC).

Resolusi PBB, Legal Standing Borneo Jadi Pulau Dayak

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Deputi Presiden International Dayak Justice Council (IDJC) Askiman, mengatakan, wacana Kalimantan atau Borneo jadi Pulau Dayak, legal standing-nya adalah Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4 Tahun 1967, tentang Toponimi atau teknik penamaan wilayah yang sekarang di Indonesia disebut Pembakuan Nama Rupabumi.

“Karena itulah pada International Dayak Justice Congres di Queen Hotel, Keningau, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, Sabtu, 14 Juni 2019, saya mengeluarkan wacana, demi identitas Suku Dayak, minimal di kalangan internal orang Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Kalimantan atau Borneo, mulai mensosialisasikan Borneo diubah menjadi Pulau Dayak,” kata Askiman, Wakil Bupati Sintang, Provinsi Kalimantan Barat kepada Independensi.com, Selasa, 18 Juni 2019.

International Dayak Justice Congress di Distrik Keningau, menunjuk Benedict Topin sebagai Presiden IDJC, Askiman sebagai Deputi, Thadeus Yus, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, Kalimantan Barat, sebagai Sekretaris Jenderal, kemudian dilengkapi personil kepengurusan harian lainnya.

Sebagai deputi, untuk di Indonesia, Askiman, langsung ditetapkan sebagai Presiden Majelis Hakim Adat Nasional (MHADN), dengan hak preogratif menyusun kepengurusan selama lima tahun. Cornelius Kimha (Pendekar Laokang), didaulat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MHADN.

Duet Cornelius Kimha dan Askiman, nantinya, merekomendasikan sejumlah nama yang integritas dan keteladanan moralnya teruji, untuk membentuk personil kepengurusan MHADN di Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Utara.

Selaku Presiden MHADN, Askiman, diberi mandat membentuk kepengurusan serupa di tingkat provinsi, dan kabupaten/kota, lengkap dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), sebagaimana tindaklanjut dari Musyawarah Besar (Mubes) Temenggung Adat Dayak se Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak tahun 2008, Rekomendasi Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat ke-XXXII Tahun 2017, Senin, 22 Mei 2017, serta Temenggung International Conference (TIC) di Sintang, Ibukota Kabupaten Sintang, 28 – 30 Nopember 2018.

Dalam lima tahun pertama, IDJC atau Hakim Adat Dayak Internasional, berkantor di Kota Kinabalu, Ibu Kota Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia. Pertimbangannya, karena satu-satunya di dunia Hakim Adat Dayak masuk di dalam struktur pemerintahan di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.

Nama Hakim Adat Dayak di Sabah adalah Anak Negeri, di Sarawak dinamakan Pamanca, di Provinsi Kalimantan Barat dinamakan Temenggung dan di Provinsi Kalimantan Tengah dinamakan Damang.

Kearifan lokal

Wacana Kalimantan atau Borneo diubah menjadi Pulau Dayak, tidak terlalu memperhitungkan reaksi otoritas yang berwenang untuk melegalkannya. Tapi paling penting adalah sebuah penghargaan terhadap kearifan lokal dari sebuah komunitas.

Karena di dalam teknik pembakuan nama rupabumi digariskan, penyebutan dan atau penulisan nama wilayah, harus sesuai kearifan lokal, sesuai bahasa daerah lokal, sesuai legenda suci lokal, sesuai mitos suci lokal, dalam bentuk kesepakatan tertulis yang kemudian diproses sesuai ketentuan yang berlaku di masing-masing negara.

Di Indonesia, Resolusi PBB Nomor 4 Tahun 1967, ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2006, dimana digariskan, Pemerintah Provinsi, Kabupaten, Kota, agar memfasilitasi pembentukan dan atau perubahan nama wilayah, dimana harus sesuai dengan kearifan lokal.

Itulah yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat, tentang perubahan nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah berkedudukan di Mempawah, dan Kecamatan Batu Datu di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu diubah menjadi Kecamatan Pengkadan.

Masih di Provinsi Kalimantan Barat, di Kabupaten Kapuas Hulu, nama Taman Nasional Bentuang Karimun kemudian diubah menjadi Taman Nasional Betung Kerihun, dimana diambil dari nama dua bukit yang berhadap-hadapan, yaitu Bukit Betung dan Bukit Kerihun.

Dalam pembakuan nama rupabumi, dianut sebuah pemahaman universal, yaitu, kesalahan penyebutan nama wilayah, dalam arti tidak sesuai kearifan lokal, tidak sesuai bahasa daerah lokal, tidak sesuai mitos suci lokal, tidak sesuai legenda suci lokal, adalah bentuk tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara.

Selagi tidak ada inisiatif masyarakat lokal mengambil inisitif untuk mengusulkan dilakukan perubahan nama wilayah yang salah, maka selama itu pula, terjadi tindak pembiaran terhadap tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara.

Faktor penyebab terjadinya kesalahan penyebutan dan atau penulisan nama wilayah di Pulau Borneo, di antaranya karena nama wilayah hanya ditentukan oleh oknum elit tingkat atas, termasuk hanya ditentukan oknum elit orang Dayak yang kurang memahami akan karakteristik masyarakat Dayak di wilayah yang akan ditentukan nama wilayahnya itu.

Padahal di dalam program pembakuan nama rupabumi, nama wilayah harus ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat (disesuaikan kearifan lokal), kemudian kesepakatan tertulis disampaikan ke tingkat kecamatan untuk ditindaklanjuti di bagian pemerintahan kesekretariatan pemerintahan otonom.

Deklarasi PBB

Prinsip utama ilmu pembakuan nama rupabumi atau ilmu toponimi atau ilmu teknik penamaan wilayah geografi (termasuk nama fasilitas umum bentukan manusia: gedung, jalan dan jembatan) adalah menghargai keberagaman dan kearifan lokal, menghargai identitas lokal dalam integrasi regional, nasional dan internasional.

Karena melakukan perubahan terhadap nama wilayah yang salah, artinya tidak sesuai sebutan lokal, bukan berarti menggugurkan fakta sejarah yang menyertainya, tapi justru melengkapi fakta sejarah yang pernah terjadi di wilayah itu.

Karena nama wilayah atau nama komunitas hal yang prinsip di dalam identitas seseorang dan komunitas masyarakat. Seseorang bisa kehilangan segala-galanya, tapi tidak dengan identitas diri, yaitu nama.

Nama akan melekat di dalam diri seseorang, mulai dari masa kecil, beranjak remaja, dewasa, mencari pasangan hidup, menjadi orangtua, menjadi kakek dan nenek. Sampai ke liang lahat sekalipun pun, nama seseorang akan melekat di batu nisan.

Wacana perubahan nama Kalimantan atau Borneo menjadi Pulau Dayak, bukan hal baru, sehingga bukan juga hal tabu (pamali) di Indonesia. Karena sebelumnya sudah ada Pulau Jawa yang dihuni Suku Jawa, dan perubahan nama Pulau Irian singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland menjadi Pulau Papua di Tanah Papua.

Wacana perubahan Kalimantan atau Borneo sebagai Pulau Dayak, sesuai dengan Deklarasi Hak-Hak Penduduk Pribumi PBB Nomor 52/295, tanggal 13 September 2007, dimana digariskan penduduk pribumi atau masyarakat adat, berhak mempertahankan identitas budaya, berhak mempertahankan tanah adat dan berhak menentukan haluan atau atau sikap politiknya.

Karena sebagai salah satu dari anggota PBB, maka Republik Indonesia, wajib untuk mematuhi 46 pasal yang adat di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi PBB Nomor 65/295, tanggal 13 September 2007.

Bukti akeologis Suku Dayak sebagai penduduk pribumi, adalah ditemukan puing-puing Kerajaan Nan Sarunai, milik Dayak Maanyan di Amungtai, Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai kerajaan pra sejarah, yaitu tahun 244 – 226 Sebelum Masehi (SM) dan Kerajaan Kutai di Provinsi Kalimantan Timur, milik Suku Dayak Kutai tahun 600 Masehi.

IDJC dan Tugas

Ketua Dewan Pertimbangan MHADN, Cornelius Kimha, mengatakan, tugas IDJC di tataran internasional dan MHADN di tataran Indonesia, adalah seratus persen melakukan pembenahan di dalam merevitalisasi jatidi diri Suku Dayak, yakni membentuk karakter manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, serta berdamai dan serasi dengan sesama.

Menurut Cornelius Kimha, secara kelembagaan IDJC dan MHADN melakukan program peningkatan kapasitas para Hakim Adat Dayak di seluruh wilayah. Di Indonesia, tengah disusun program untuk bekerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk melakukan peningkatan pengetahuan para Hakim Adat Dayak.

“Karena para Hakim Adat Dayak, merupakan benteng terakhir pertahanan Kebudayaan Suku Dayak. Dulu, sebelum negara lahir, para Temenggung, Damang, Pemanca, Anak Negeri, bertindak sebagai Panglima Perang, Pewarta Agama Dayak, Hakim Adat, dan Kepala Pemerintahan. Sekarang kita sesuaikan melalui Program Revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak,” kata Cornelius Kimha.

Kalimantan Harus Jadi Pulau Dayak

Cornelis Kimha, menegaskan, keberadaan IDJC dan MHADN, tindaklanjut dari Musyawarah Besar Adat Dayak se Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak tahun 2008, Rekomendasi Seminar Nasional Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat ke-XXXII Tahun 2017, Senin, 22 Mei 2017, Temenggung International Conference (TIC) di Sintang, Ibukota Kabupaten Sintang, 28 – 30 Nopember 2018, dan International Dayak Justice Congress di Keningau, Sabah, Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.

Diungkapkan Kimha, kelembagaan IDJC dan MADN sebagai wadah berhimpun para Hakim Adat Dayak. Kendati sebagai pengurus, personil IDJC dan MADN, tidak berwenang menggelar Peradilan Adat Dayak, jika bukan berkapasitas sebagai Temenggung atau Damang atau Pamanca atau Anak Negeri.

Tujuannya, menurut Cornelius Kimha, agar tidak terulang kembali praktik Peradilan Adat Dayak jalanan atau praktik premanisme berbungkuskan Kebudayaan Dayak. Orang Dayak atau elit Dayak, sama sekali tidak mememiliki kewenangan apapun menggelar Peradilan Adat Dayak, kalau bukan berkapasitas sebagai Hakim Adat Dayak.

Demikian pula, lanjut Cornelius Kima, Hakim Adat Dayak, harus dihukum adat Dayak, jika menggelar Peradilan Adat Dayak di luar yurisdiksinya. Ini pula berlaku bagi elit Dayak, kalau bukan berstatus Hakim Adat Dayak, harus dihukum Adat Dayak, jika terbukti menggelar Peradilan Adat Dayak.

“Hakim Adat Dayak, diangkat dan diberhentikan oleh komunitas masyarakat Adat Dayak setempat. Tugas IDJC dan MDADN, sebatas melakukan peningkatan kapasitas dan meregistrasi para Hakim Adat Dayak, serta mengeksekusi Program Revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak secara lebih luas, dengan menjadi hutan adat sebagai sumber peradaban Suku Dayak,” ujar Cornelius Kimha. (Aju)

6 comments

  1. PEMBETULAN,Sabah adalah Negeri di bawah Negara Malaysia,Bukan Negara bahagian Sabah.DI sabah tidak ada Negara buat masa ini..Sabah tidak ada Raja atau presiden,yg ada hanya ketua Menteri…Harap maklum

  2. Sebelum jadi nama negara australia apa ya nama yang di diami penduduk asli aborigin,atau amerika yang dengan suku
    Indiannya.

  3. Saya Semiun Ujek, Temenggung Adat Dayak Kab. Melawi Kalimantan Barat, menyampaikn Ucapan syukur yg sebesar2nya, Kpd Tuhan yg Maha Esa dan mengucapkn Selamat serta mengaprisiasi, atas terbentuknya dan terpilih, Bpk Dr. Benedict Topin Presiden Hakim Adat Internasional Atau IDJC, dan Presiden Mahkamah Hakim Adat Dayak Nasional ( MHADN) DRS. ASKIMAN, M. M. beserta Parangkatnya, smga semua kita Parangkat Hakim Adat di Semua Wilayah dapat menjalankn tugas dgn Sukses, Adil dan Bijaksana, Amin. Ttd Tmg. Kab. Melawi Semiun Ujek. Salam sukses Semua.

    1. Terima kasih atas tanggapannya. IndependensI.com selalu peduli dengan pelestarian budaya nusantara. Salam dari redaksi.

Comments are closed.