Lima kritikus seni rupa terkemuka Indonesia menyampaikan apresiasi tinggi terhadap karya-karya lukisan Denny JA yang melahirkan genre baru Imajinasi Nusantara di Jakarta, Jumat (18)7/2025).

Imajinasi Nusantara: Ketika Denny JA Memeluk Luka Global Lewat Lukisan Digital Berjiwa Batik

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Dalam sebuah peristiwa langka yang menyatukan seni tradisional, teknologi digital, dan renungan budaya yang dalam, lima kritikus seni rupa terkemuka Indonesia menyampaikan apresiasi tinggi terhadap karya-karya lukisan Denny JA yang melahirkan genre baru bernama Imajinasi Nusantara di Jakarta, Jumat (18)7/2025).

Genre ini bukan sekadar gaya melukis, melainkan sebuah paradigma visual kontemporer yang lahir dari persilangan antara batik sebagai simbol lokalitas, lanskap surealis sebagai ruang batin kolektif, realisme manusia, dan teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai medium ekspresi.

Lima nama besar seni rupa Indonesia Agus Dermawan T, Merwan Yusuf, Frigidanto Agung, Mayek Prayitno, dan Bambang Asrini Widjanarko memberikan tanggapan mendalam dan bernuansa terhadap karya Denny JA, khususnya yang terangkum dalam dua buku lukisan digital: Handphone, Kita Dekat Sekali dan Wonderland, Dunia Anak-Anak.

Lima kritikus seni rupa terkemuka Indonesia menyampaikan apresiasi tinggi terhadap karya-karya lukisan Denny JA yang melahirkan genre baru Imajinasi Nusantara di Jakarta, Jumat (18)7/2025).

Handphone, Kita Dekat Sekali Link Buku :(https://drive.google.com/file/d/1LWyASOTWTfC17xDjRPdKIrJFzaVPK2oW/view?usp=drivesdk)

Wonderland, Dunia Anak-Anak Link Buku : (https://drive.google.com/file/d/1WCsyZ65SYXeg6uUD-GXzlxtLEpvvGzbG/view?usp=drive_link.

Agus Dermawan T menilai lukisan Denny JA sebagai “upaya menyurealkan realitas sosial-politik melalui napas batik.” Ia menyebut bahwa genre ini menggugat estetika kolonial dan memosisikan simbol-simbol lokal sebagai bentuk perlawanan estetis yang lembut tapi dalam.

Merwan Yusuf menyebut genre ini sebagai irealitas konkret visual yang tampak mustahil, namun justru paling jujur dalam menangkap trauma dan realita. “Batik di lukisan Denny adalah seni yang bersujud, bukan bersolek,” tulisnya dalam esainya.

Frigidanto Agung melihat genre ini sebagai metafora atas realitas yang retak. Ia menyebut Denny JA sebagai seniman yang “memeluk luka global lewat bahasa visual,” menyandingkan emosi manusia dengan absurditas zaman secara halus dan penuh empati.

Mayek Prayitno memberikan pengakuan eksplisit, menyebut Imajinasi Nusantara sebagai “lompatan estetika”. Ia menyoroti bagaimana Denny JA menyulap teknologi AI bukan menjadi alat industri semata, tetapi sebagai alat kontemplasi dan refleksi artistik yang mendalam.

Bambang Asrini Widjanarko menggambarkan karya-karya Denny sebagai “doa yang diam” perpaduan antara keheningan, kedalaman psikologis, dan struktur algoritmik dalam satu ruang visual. “@AI adalah alat. Imajinasi adalah jiwa,” ungkapnya.

Seni Digital Bernapas Lokal

Genre Imajinasi Nusantara bukan sekadar gaya lukisan. Ia merupakan respons artistik atas benturan global pandemi, perang, dan krisis iklim dengan akar budaya lokal yang kokoh. Setiap lukisan menjadi ruang tafsir.

Dalam salah satu lukisan, digambarkan seorang anak kecil memakai kaus batik berdiri di tengah jalanan sepi, menatap langit penuh virus mahkota. Lampu merah menyala, dunia terhenti. Namun batik di tubuh sang anak berbicara: tentang identitas, rumah, dan ketahanan jiwa.

Genre ini menjawab pertanyaan:  Bagaimana cara merekam absurditas global tanpa tercerabut dari akar budaya?.

Lukisan Sebagai Doa di Era Algoritma

Di tengah dunia yang semakin bising oleh algoritma dan efisiensi, karya-karya Denny JA mengajak publik untuk diam, merenung, dan kembali pada spiritualitas seni. Genre ini tidak hadir untuk menjawab dunia, tapi justru mempertanyakannya.

Lukisan digital Denny bukan sekadar gambar, melainkan doa visual, dokumentasi batin, sekaligus manifestasi kebudayaan digital Nusantara.

Melalui Imajinasi Nusantara, publik tidak hanya melihat Indonesia yang baru, tetapi juga merasakannya dalam bentuk piksel, batik, dan harapan.

“Seni bukan hanya untuk ditatap. Ia adalah napas kolektif dari jiwa yang ingin dikenang.” Denny JA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *