APBN: Ini Soal Keberpihakan, Bung!

Loading

Oleh Edy Mulyadi*

IndependensI.com – Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti Rabu (6/9/2017) membuat tulisan berjudul Darurat Utang? Tentu Tidak. Tulisan ini menanggapi artikel saya berjudul Harta Cuma Rp2.188 Triliun, Utang Rp3,780 Triliun yang dimuat Senin (4/9/2017).

Dalam artikelnya itu, Nufransa memberi kuliah tentang harta negara yang antara lain terdiri atas Barang Milik Negara (BMN), Aset Lancar (Kas, Piutang Jangka Pendek dan Persediaan), Investasi Jangka Panjang (Penyertaan Modal Negara/PMN), Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang, dan Aset Lainnya. Semua itu belum termasuk aset yang dikuasai Pemerintah Daerah. Semua aset Pemerintah pusat tersebut, tidak termasuk kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Negara.

Dia juga menulis, kewajiban pelunasan utang masa depan ditunjukkan oleh potensi menghasilkan pendapatan yaitu penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak, termasuk dari pemanfaatan aset.

Jika membandingkan utang dengan PDB, sampai dengan akhir 2016 rasio utang per PDB kita sebesar 28,3% yang masih jauh dari batas maksimum yang diizinkan UU nomor 17/2013 tentang Keuangan Negara yang 60%. Dengan nilai PDB Indonesia sebesar Rp12.407 T dan pertumbuhan tiap tahun diatas 5%, maka ekonomi Indonesia mampu menutup lebih dari tiga kali lipat dari jumlah utang.

Okelah penjelasannya. Tapi apakah dengan kalimat-kalimat itu sama artinya dengan aman-aman saja kalau Indonesia berutang ribuan triliun rupiah? Juga, artinya, Indonesia akan tetap aman jika terus berutang ribuan triliun rupiah lagi dan lagi?

Sebelum terlalu jauh, saya inging mengingatkan Nufransa, bahwa penerimaan pajak yang berkontribusi pada APBN 2017 sebesar 85,6% sudah lama membuat khawatir. Angkanya terus turun saja. Target memang dipasang tinggi. Tapi dalam perjalanannya sering dikoreksi di APBNP jadi lebih rendah. Itu pun realisasinya tetap saja di bawah target. Sebagai pejabat Eselon II Kemenkeu mosok harus diingatkan lagi soal ini, sih?

Utang versus PDB

Seperti halnya si bosnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI), Nufransa juga getol mengklaim utang Indonesia masih sangat aman karena rasionnya terhadap PDB hanya 28,3%. Angka ini jauh di bawah batas maksimal yang diizinkan nomo 17/2013 tentang Keuangan Negara yang 60%. Angka di bawah 30% itu kian terlihat moncer ketika dibandingkan rasio utang terhadap PDB milik negara-negara anggota G-20. Lalu, karena itu, apa artinya mari kita terus berutang? Jangan khawatir, rasio terhadap PBD masih jauh dari batas UU! Begitu?

Menyebut aman-tidaknya utang luar negeri (ULN) berdasarkan rasio terhadap PDB sepertinya sudah lama menjadi mantra pelelap tidur. Bekal para perapal mantra tadi adalah Maastricht Treaty. Jampi-jampinya berbunyi begini; rasio utang terhadap GDP masih bisa dianggap sangat aman bila angkanya di bawah 33%. Jika rasionya bergerak di kisaran 33%-60%, pemerintah kudu mulai hati-hati. Sedangkan bila telah menembus 60% artinya utang luar negeri sudah masuk lampu merah. Bahaya!

Kaum neolib memang sangat memegang teguh ajian ini. Itulah sebabnya orang-orang seperti SMI, Nufransa dan gerombolannya bisa tetap tidur nyenyak kendati utang yang mereka buat sudah amat menjulang. Alasannya, ya itu tadi, rasionya terhadap PDB masih aman, sangat aman. Ditambah dengan harta dan sumber daya alam yang masih sangat melimpah, utang yang menggunung tadi di mata mereka bak lalat di ujung hidung.

Melulu membandingkan rasio utang kita terhadap PDB dengan para tetangga yang punya utang lebih jumbo jelas bukan sikap bijak. Ini sama saja anak sekolah yang ditegur ibunya karena nilai ulangannya cuma dapat 50. “Ga apa-apa, lah, ma. Temen-temen aja malah banyak dapat nilai 30 dan 40. Aku masih lebih baik daripada mereka, kan, ma?” kilah si bocah.

Orang-orang ini tidak peduli, bahwa karena utang tersebut anggaran negara tersedot gila-gilaan. Pada 2017 saja, APBN kita mengalokasikan anggaran Rp486 triliun hanya untuk membayar utang. Ini adalah porsi terbesar anggaran kita dalam APBN, jauh mengalahkan anggaran pendidikan yang Rp416 triliun dan infrastruktur yang ‘cuma’ Rp387 triliun.

Jumlah kewajiban kita terhadap utang tahun depan makin mengerikan saja. Di APBN 2018 ada duit sebanyak Rp399,2 triliun untuk membayar pokok dan cicilan utang. Jumlah itu di luar Rp247,6 triliun yang hanya untuk membayar bunga utang. Total jenderal, untuk urusan utang ini Indonesia harus merogoh kocek dalam-dalam hingga Rp646,8 triliun!

Negarawan

Mungkin Nufransa dan kelompoknya yang paham akuntansi akan membela diri lewat serenceng rasio yang dijadikan parameter. Di antaranya rasio pembayaran bunga utang terhadap total Pendapatan dan Hibah Indonesia, rasio terhadap belanja, dan rasio beban bunga terhadap total utang outstanding. Semuanya masih aman ketimbang sejumlah negara yang dijadikan pembanding. Menurut rasio-rasio ini, utang Indonesia masih aman. Tenaaang…

Tapi, cobalah kaum neolib ini berpikir sebentar sebagai negarawan yang peduli akan nasib rakyat yang kian termehek-mehek dihimpit beban hidup. Jika di hati mereka ada sedikit saja empati, maka negara tidak bakal mati-matian mempertahankan alokasi anggaran untuk utang.

Jika ada darah konstitusi mengalir di tubuh mereka, Menkeu Ani tidak akan rajin memangkas anggaran, terutama anggaran belanja sosial untuk rakyatnya. Subisidi ini itu dipangkas. Akibatnya, listrik naik, gas naik, BBM naik, dan seterusnya. Alasannya, subsidi membebani APBN dan mendistorsi ekonomi.

Kini, mari kita berandai-andai. Seandainya, sekali lagi; seandainya, para pejuang neolib yang mendasain APBN menggeser anggaran untuk bayar utang digunakan memompa ekonomi dalam negeri. Bayangkanlah, betapa dahsyatnya geliat ekonomi kita.

Tempo hari, ketika menanggapi artikel Irmawati Oemar, Nufransa juga menulis uang Rp1 triliun bisa dipakai untuk membangun 3.451 m jembatan, 155 km jalan, 11.900 rumah prajurit TNI, 50 rumah sakit, 6.765 ruang kelas dan lain-lain. Jadi, dengan Rp1 triliun banyak sekali yang bisa digunakan untuk infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Itu semua disiapkan untuk memperoleh generasi bangsa yang sehat, cerdas dan produktif untuk menyongsong Indonesia gemilang di tahun 2045, katanya.

Berdasarkan angka-angka versi Nufransa itu, bayangkan kalau Menkeu Ani menambah anggaran infrastruktur menjadi dua kali dari yang sekarang. Maka, Indonesia bisa membangun 9.221.428 rumah prajurit TNI, atau 120.064 km jalan, atau 62.673.144 m jembatan, atau 38.730 rumah sakit, atau 5.240.170 ruang kelas. Sungguh amat sangat luar biasa.

Silakan pemerintah membagi duit yang Rp774,6 triliun anggaran itu untuk keperluan pembangunan infrastruktur apa saja berdasarkan prioritas dan proporsional. Anda bisa membayangkan, betapa hiruk pikuknya pembangunan yang terjadi untuk menghabiskan anggaran infrastruktur yang naik dua kali lipat itu.

Jadi, bung Nufransa, perkara APBN bukan semata-mata soal akuntansi. Saya memandang lebih pada soal keberpihakan. Seberapa besar keberpihakan si pendesain terhadap rakyatnya sendiri. Tentu saja, para majikan asingnya yang jadi kreditor bakal mencak-mencak kalau Pemerintah mengurangi alokasi untk membayar utang. Tapi tu memang risiko Pemerintah yang berpihak dan berkomitmen menyejahterakan rakyatnya.

Itulah yang dilakukan Presiden Argentina Nestor Kirchner. Saat itu, utang negara menyentuh US$178 miliar, dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 142%. Dia minta penjadwalan kembali pembayaran utang dan bunga senilai hingga US$84 miliar selama tiga tahun ke depan.

Sedangkan dana yang selama ini untuk membayar utang digeser ke dalam negeri. Ditambah dengan berbagai kebijakan revolusioner dalam hukum, perpajakan dan ekonomi kerakyatan, Kirchner mampu menerbangkan ekonomi Argentina.

Pertumbuhan ekonomi mencetak angka rata-rata 9% selama kurun 2003-2007.
Tapi, sudahlah. Argentina pernah punya Kirchner yang anti IMF, Bank Dunia, ADB dan konco-konconya.

Dia menganggap mereka telah menyebabkan kehancuran negara-negara kaya di Amerika Latin. Presiden yang ini juga menilai sebagian besar utang itu adalah utang najis (odious debt) yang tidak akan membangkitkan sosio-ekonomi rakyat Argentina. Justru utang-utang itu menjadi candu yang menyengsarakan rakyat Argentina.

Sebaliknya Indonesia dikungkungi para penganut dan pejuang neolib. Mereka adalah hamba para majikan asingnya. Itulah yang tampak dari APBN kita. Itu pula yang lahir dalam bentuk berbagai kebijakan yang justru memiskinkan negara dan rakyatnya. (*)

Jakarta, 8 September 2017
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)