Independensi.com – Aroma masakan yang mengundang selera menebar seiring dengan uap yang membumbung lepas dari kuah mendidih di panci. Bagi penjaja kuliner, kepulan uap atau asap makanan bagian dari trik menarik perhatian pelanggan atau menggoda selera agar mereka singgah.
Atraksi asap biasa dilakukan penjual sate padang dengan mencipratkan minyak sayur (makan) di pembakaran sate atau memanggang bawang merah di atas bara, lalu dikipas.
Asapnya akan menarik perhatian pelanggan. Aroma bawang panggang akan “menyeret” penikmat kuliner untuk singgah. Bawang merah adalah bumbu utama pada sebagian besar masakan nusantara.
Atraksi uap dan sebaran aroma masakan ini pula yang dijaga oleh penjual soto di Pasar Rakyat di desa nelayan Pujut, Mandalika, Lombok Tengah. Bahan makanan yang disajikan relatif sederhana.
Bahan utama adalah ketupat, bihun, tauge, daun bawang, kacang, telur, bawang goreng dan kuah soto. Namun, seperti galibnya semua penjaja kuliner, bahan makanan boleh sama.
Artinya, siapa pun bisa menyediakannya. Pembedanya adalah bagaimana meracik, memasak dan menyajikannya.
Abang penjual soto agaknya paham tentang itu, tetapi tak paham meracik dan memasak unsur utama sebuah, soto, yakni kuahnya “Isteri saya yang masak,” ujarnya ketika ditanya bumbu yang direbus di kuah soto berwarna cokelat kehijau-hijaun itu.
Yang dia tahu, bawang merah, bawang putih, daun sereh dan garam. Sisanya, dia tidak tahu karena masih ada rempah-rempah lain yang dimasukkan isterinya.
Meski dengan bahan yang sederhana, soto ini sudah memenuhi lima unsur utama pemenuh rasa, yakni, asin, manis, pedas, asam dan panas. Asin dari garam, manis dari kecap, pedas (Lombok terkenal dengan cabenya yang pedas), asam dari jeruk nipis dan panas benar-benar “fresh from the oven”.
Eits, tak hanya itu. Soto ini jadi istimewa karena kuah berempah-rempah yang jadi rahasia sang isteri.
Mangkok berisi ketupat atau nasi (tergantung selera), bihun, setengah potong telur, tauge, ditaburi daun bawang, kacang, dan bawang goreng lalu disiram kuah panas-panas, diberi tetesan potongan jeruk nipis yang membuatnya wangi, sesendok kecil cabe dan kecap manis secukupnya. Sempurna.
“Soto apa namanya, Bang?” Pertanyaan sederhana karena tak ada plang nama di atas meja dan atapnya.
“Soto Telur,” ucap si abang. Sederhana banget?? “Bagaimana kalo Soto Mandalika saja.” Dia tersenyum. Deal!! Maka resmilah namanya menjadi Soto Mandalika yang dapat ditemui di Pasar Rakyat di desa nelayan, Pujut, di KEK Mandalika.
Tak hanya soto, si Abang pendiam juga menjual bubur ketan hitam, bubur sumsum plus kuah santan berdaun pandan ditemani gula aren cair untuk sarapan.
Penggerak wisata Kekayaan kuliner Indonesia sudah terkenal di manca negara. Kulinari merupakan salah satu unsur utama penggerak pariwisata.
Dia seperti mutiara yang akan dicari meski di laut dalam. Bahasa serampangannya, di gang kecil tersembunyi sekali pun, jika ada masakan lezat dengan racikan istimewa, maka pemburu kuliner, turis dalam negeri dan manca negara akan mencarinya.
Satu lagi yang juga tak pernah sepi di KEK Mandalika, adalah Rumah Makan Doa Ibu di perempatan Jalan Pariwisata dan Jalan Raya Kuta. Turis bule dan Asia tampak memenuhi meja di setiap jam makan, terutama di siang hari.
Mereka menikmati gulai ikan, tunjang, ayam bakar/goreng serta rendang. Yang terakhir menjadi salah satu favorit karena memang sudah kondang sebagai makanan terenak di dunia.
Sejumlah bule makan dengan tangan seperti penduduk lokal, tetapi ada juga yang masih kaku dengan menggunakan garpu seperti kebiasaan mereka makan steak atau salad.
Eva, pemilik restauran, sibuk melayani tamu-tamunya. “Ba’a rasonyo (bagaimana rasanya),” tanya Eva setelah berbasa- basi dan menanyakan asal usul. “Kurang manggigik, yo Da (kurang menggigit, ya Bang)?” ucapnya setelah pertanyaan pertama hanya dijawab senyum.
Ibu paro baya yang mengenakan baju kurung khas Minang itu lalu memberi tahu alasannya. Secara penampilan, gulai, cincang, rendang dan lauk pauk lainnya persis sama dengan masakan Padang lainnya.
Soal rasa, dia harus bertoleransi dengan lidah bule yang tidak terlalu tahan dengan pedas dan bumbu khas Minang. Hasilnya? “Sepasang bule itu sudah tiga-empat kali kemari,” ujar isteri pensiuan pegawai tambang di Sumbawa itu.
Memang 60-70 persen pelanggannya adalah turis asing. Terutama di bulan Juni, Juli dan Agustus, kala banyak turis Eropa dan Australia datang ke Mandalika.
Jelang akhir tahun, seperti Oktober, November dan Desember, komposisi tamunya berimbang, antara bule, Asia dan turis lokal. Istimewanya lagi, anak kecil bule juga melahap masakannya. Indahnya toleransi rasa.
Tak pernah libur Jalan Pariwisata dan Jalan Raya Kuta merupakan urat nadi KEK Mandalika. Jalan ini menjadi pusat kuliner, hotel, hostel daan penginapan.
Pada malam hari, Sabtu, Minggu, Senin, Selasa dan seterusnya selalu meriah. Mereka tidak mengenal hari libur, karena mereka memang sedang berlibur. Di jalan ini, kafe dan restoran berjejer silih berganti dengan kekhasan masing-masing.
Sebut saja Kenza, Food Coffe Love yang mendiami rumah tinggal yang dicat putih bernuansa hijau pada pintu dan jendelanya.
Menu utamanya beragam racikan kopi dan penganannya, juga makan berat dan ringan serta musik irama latin mengalun tak putus-putus.
Manajer Kenza, Hernan Regiardo, asal Argentina, menyatakan bisnis pariwisata di Kuta Mandalika semakin menggeliat setelah pemerintah kembali mencanangkan daerah itu menjadi kawasan ekonomi khusus.
Investor hotel, kuliner dan biro perjalanan banyak berdatangan. Mandalika kembali ke mitos dahulu kala, yakni seperti Puteri Cantik jelita.
Nadhif Rusdi, pemilik Dapoer Roti Bakar di Condet, Jakarta Timur, juga sedang berancang-ancang untuk ekspansi ke sana. “Dalam waktu dekat kami akan buka outlet di Malang. Mungkin berikutnya ke KEK Mandalika,” ujar pengusaha belia itu.
Dia optimistis menu-menu andalannya, seperti aneka Selimut Hijau, roti yang dibakar dalam balutan daun pisang, roti bakar toping es krim tiga rasa dan menu-menu lainnya, bisa bersaing menaklukkan selera turis Mandalika.
“Resep yang original, bahan baku buatan rumah dan cara penyajian merupakan kunci keberhasilan kami selama ini,” ujar Nafhif.
Malam itu, Rabu malam Kamis, deretan motor dan mobil memenuhi tempat parkir di depan resto dan kafe. Turis bule, Asia dan lokal berbaur, berbincang dan bersosialisasi.
KEK Mandalika memang masih terbuka. Sangat lebar. Masih banyak potensi yang perlu dikembangkan. Masih banyak investor yang perlu diundang untuk datang.
Seperti lazim industri wisata, bisnis kuliner selalu menjadi bagian utama. Di tangan-tangan chef dan peramu makanan tradisionallah wisatawan akan datang dan datang lagi, dituntun oleh lidah yang tak pernah bohong. Karena rasa tak pernah dusta. (ant/kbn)