JAKARTA (IndependensI.com) – Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli meminta Front Pembela Islam yang tersinggung atas pemuatan kartun pada edisi 26 Februari 2018 mengadukannya ke Dewan Pers. “Dewan Pers adalah lembaga yang tepat menyelesaikan tafsir atas kerja jurnalistik yang menjadi produk berita,” kata Arif di Jakarta pada Jumat, (16/03/2018).
Para pengurus FPI membawa massa ke gedung Tempo di Jalan Palmerah Barat memprotes kartun yang membuat mereka tersinggung. Kartun itu menggambarkan seorang bersorban yang mengabarkan tak jadi pulang kepada seorang perempuan yang menjadi lawan bicaranya.
FPI menuduh kartun itu melecehkan umat Islam karena menafsirkan orang berjubah tersebut adalah Rizieq Syihab, pemimpin FPI yang kini bermukim di Arab Saudi.
Setelah orasi di halaman gedung Tempo, beberapa perwakilan FPI berdialog dengan Arif yang didampingi Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso dan Kepala Komunikasi Korporat Wahyu Muryadi. Dalam dialog selama satu jam itu disepakati bahwa FPI mengajukan somasi atas kartun itu dan akan dimuat sebagai hak jawab pada majalah Tempo edisi pekan depan.
Selesai diskusi Arif dan Budi naik ke mobil mimbar untuk menyampaikan hasil pertemuan. Menurut Arif, di negara hukum Indonesia, sengketa pemberitaan oleh pembaca dan media diselesaikan di Dewan Pers sesuai Undang-Undang Pers. “Kerja jurnalistik itu menyimpan daif (kekurangan), dan lembaga yang berwenang menilai kekurangan itu adalah Dewan Pers,” katanya.
Tak puas dengan pernyataan itu, pemimpin FPI meminta Arif menyatakan minta maaf atas pemuatan kartun itu. “Terhadap dampak yang diakibatkan atas pemuatan kartun itu, saya meminta maaf,” kata Arif. Demonstrasi selama dua-setengah jam itu bubar pada pukul 16.30 WIB.
Arif menegaskan dalam kerja jurnalistik tak ada intensi merendahkan, melecehkan, atau beritikad tidak baik terhadap narasumber, organisasi, atau tokoh yang sedang diberitakan. “Kerja jurnalistik itu semata-mata menyandarkan pada fakta, tak kurang dan tak lebih,” kata dia. Namun, jika pencarian fakta-fakta itu dianggap keliru, Dewan Pers yang berwenang menilainya.