JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Pertanian (Kementan) terus melakukan pengembangan lahan pertanian dengan memanfaatkan rawa sebagai lahan produktif.
Setidaknya ada 34,1 juta hektar yang yang saat ini masuk tahap proses garapan, dengan 9,2 juta hektare di antaranya dimanfaatkan untuk pertanian sawah dan hortikultura.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Dedi Nursyamsi, mengatakan lahan tersebut saat ini tersebar di tiga pulau besar, yakni Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
“Untuk padi atau sawah sudah mencapai 14,2 juta hektar, hortikultura mencapai 3,1 juta hektar dan tanaman tahunan mencapai 1,9 juta hektar,” kata Dedi, saat memberikan keterangan pada kegiatan Bincang Asyik Pertanian (BAKPIA) di Kampus Penelitian Cimanggu, Bogor, Jumat (14/12).
Menurut Dedi, sebagian besar lahan ini merupakan lahan potensial yang dulunya berbentuk semak belukar. Namun proses pengerjaan yang cepat mampu menghasilkan 7,5 juta hektar yang terdiri dari 5,1 sawah, 1,5 juta hortikultura dan 0,9 juta ha untuk tanaman tahunan.
“Keunggulan utama lahan rawa adalah airnya tersedia sepanjang tahun. Jadi, disaat wilayah lain kemarau dan kekeringan, lahan rawa justru dapat berproduksi optimal dan panen raya,” katanya.
Kendati demikian, pengerjaan lahan rawa bukan tanpa kendala. Awalnya, program ini sulit mengubah sikap atau pola pikir sebagian besar petani yang masih tradisional. Kemudian tantangan berikutnya adalah kelembagaan petani dan kelembagaan ekonomi yang belum sepenuhnya maju, serta masih terbatasnya implementasi teknologi sehingga produktivitasnya rendah.
“Tapi saat ini sudah ada program SERASI (Selamatkan Rawa, Sejahterakan Petani.red) yang merupakan implementasi dari inovasi teknologi pertanian yang berhasil mengubah dan membudidayakan lahan tandus menjadi produktif. Apalagi sudah terintegrasi dengan peternakan ikan dan itik,” katanya.
Program SERASI merupakan inisiasi pemerintah yang lebih luas dari demplot Jejangkit yang dilaksanakan pada lahan rawa pasang surut seluas 550.000 hektar yang tersebar di enam provinsi. Program ini bersifat sinergi dan lintas sektoral antara Kementan, Kementerian PUPR, Kementerian BUMN, dan Lembaga Keuangan (LK).
Program ini berhasil meningkatkan indeks pertanaman (IP) dari 100 menjadi 200 melalui normalisasi tata air, baik saluran air, pintu air, tanggul, pompa, dan lain-lain. Selain itu, produktivitas padi juga meningkat.
“Tadinya kan produktivitasnya 2 ton/hectare. Sekarang menjadi 6 ton/hektare. Peningkatan ini bisa terjadi karena adanya introduksi varietas unggul dan adaptif, perbaikan sistem budidaya, ameliorasi tanah seperti pemberian dolomit, fosfat alam, dan bahan organik. Lahan ini menjadi subur karena terus dilakukan pemupukan yang berimbang dengan spesifik lokasi,” katanya.
Peningkatan produksi pangan, kata Dedi, perlu didorong melalui diversifikasi komoditas serta membangun kelembagaan dan pemberdayaan melalui implementasi pertanian korporasi. Program ini juga penting mempertimbangkan jadwal tanam yang beradaptasi dengan pola curah hujan dan musim kering.
Dedi menambahkan, pelaksanaan program ini wajib didukung koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan stakeholder lainnya. Dukungan dari pemerintah pusat, terutama dari Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian PUPR terutama Balai Besar Wilayah Sungai (BWSS), Kementerian Desa PDTT, TNI AD, serta Pemerintah Provinsi dan Kabupaten.
“Selain itu kita juga perlu dukungan stakeholder lainnya seperti dari Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), perusahaan benih, pupuk dan lain lain,” pungkas Dedi.(adv/wasito)