Mantan Bupati Sintang Rancang Agama Dayak Iban

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Mantan Bupati Sintang periode 2000 – 2005, Elyakim Simon Djalil, memimpin tim penyusunan materi infrastruktur agama asli masyarakat Suku Dayak Iban di Provinsi Kalimantan Barat dan Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia.

“Kita tengah diskusikan dengan sejumlah pihak, tentang penentuan nama agama, nama kitab suci dan nama tempat ibadat bagi masyarakat Suku Dayak Iban, sebagai komunitas sub suku Dayak terbesar di Provinsi Kalimantan Barat,” kata Elyakim Simon Djalil, Kamis, 21 Februari 2019.

Masyarakat Suku Dayak Iban di Provinsi Kalimantan Barat, tersebar di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, Kabupaten Kapuas Hulu, Kota Pontianak, dan sebagian besar masyarakat Dayak di Negara Bagian Sarawak, berasal dari komunitas Suku Dayak Iban.

Elyakim Simon Djalil dalam merancang infrastruktur agama asli Suku Dayak Iban, dibantu Dr Clarry Sada (staf pengajar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura, Pontianak), dan Tobias Ranggi SH (Pangalima Jambul), seorang praktisi hukum di Pontianak.

Langkah kelompok Dayak Ibanic, menyusun infrastruktur agama asli setelah diputuskan nama agama asli Suku Dayak Kanayatn di Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak, bernama Karimawatn, kitab suci bernama Putih Suri dan tempat ibadat bernama Padagi.

Cornelius Kimha, mantan Bupati Pontianak, 1999 – 2004 dan sekarang sebagai Deputi Pertahanan dan Fungsi-Fungsi Khusus Borneo Dayak Forum Internasional (BDFI) memimpin penyusunan materi Kitab Suci Putih Suri, beranggotakan Pendeta Alifius, Yohanes Laon dan Mastur Tutu.

Jauh sebelumnya, masyarakat Suku Dayak Uud Danum di Provinsi Kalimantan Barat, sudah memiliki agama asli yang berurat berakar dari legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak Uud Danum, bernama Agama Kaharingan, kitab suci bernama Panaturan dan tempat ibadat bernama Balai Basarah.

Agama Kaharingan dikenal, melalui ritual tiwah, sebagai ritual terbesar di dalam Agama Kaharingan, berupa ritual menghantarkan arwah famili yang sudah meninggal dunia ke surga (lobuk lio), alam atas.

Kiblat Agama Kaharingan di kalangan masyarakat Suku Dayak Uud Danum di Kecamatan Monday, Kabupaten Kapuas Hulu, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kecamatan Sorabai (Serawai), Kabupaten Sintang), serta Kecamatan Menukung dan Kecamatan Ella Hilir, Kabupaten Melawi, mengacu kepada dokumen buku yang ditulis Theresia Nila Riwut, 2003, dari karya tulis legenda suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak yang ditinggalkan Tjilik Riwut.

Menurut Simon Djalil, pembangunan infrastruktur agama asli Suku Dayak, termasuk agama asli Suku Dayak Ibanic, menjadi penting untuk menjaga keseimbangan alam, karena agama asli Suku Dayak, sejatinya akrab dengan alam.

Diungkapkan Simon Djalil, agama asli Suku Dayak, merupakan roh peradaban Suku Dayak. Melalui upaya mendalami agama asli, orang Dayak akan semakin mengenal dirinya, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh derasnya peradaban luar yang bisa menggerus Kebudayaan Suku Dayak.

“Bahwa sebagian besar orang Dayak sudah memeluk agma impor, itu, tidak masalah. Saya juga sebagai salah satu pemeluk agama impor. Tapi agama impor sebagai sarana keyakinan iman, tapi agama asli sebagai upaya memperkaya ideologi dan filosofi orang Dayak di dalam etika berperilaku, karena status kedayakan seorang Dayak akan melekat di dalam diri orang Dayak sampai akhir hayat,” ujar Simon Djalil.

Karena itulah, menurut Simon Djalil, antara agama impor sebagai sarana keyakinan iman, dengan agama asli yang melekat di dalam diri orang Dayak, harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, sehingga terbebas dari anggapan mencampur-adukkan ajaran agama.

Simon Djalil, mencontohkan kalangan Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat yang sudah memeluk agama impor, seperti Agama Katolik atau Agama Kristen, mereka tetap merayakan Imlek, karena mereka tidak mau tercerabut dari akar budayanya. (Aju)