LOMBOK (IndependensI.com) – Kementerian Pertanian melepas pengiriman perdana jagung rendah aflatoksin (substitusi impor) dari Koperasi Dinamika Juara Agrobisnis ke PT Greenfields Surabaya serta melepas ekspor corn cobs (janggel jagung) ke Korea Selatan. Pelepasan dilakukan oleh Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) dan Wakil Bupati Lombok Timur di Gudang Koperasi Dinamika Nusra Agrobisnis, Kamis (28/3/2019).
Direktur PPHTP, Gatut Sumbogodjati dalam sambutannya memaparkan jagung merupakan komoditas strategis utama terpenting setelah padi. Jagung juga merupakan salah satu komoditas tanaman palawija utama di Indonesia yang kegunaannya relatif luas, terutama untuk konsumsi manusia dan kebutuhan bahan pakan ternak. Menurutnya, agrobisnis jagung memiliki berbagai keuntungan diantaranya sebagai pakan untuk unggas, dan usaha taninya mudah.
“Berdasarkan data ARAM I (angka ramalan) produksi jagung Indonesia pada 2018 seberat 30,56 juta ton dengan luas lahan panen 5,73 juta hektare (ha). Alhasil, produktivitas jagung nasional tahun lalu seberat 52,41 kuintal/ha. Dari total Produksi Jagung Nasional tersebut Provinsi Nusa Tenggara Barat pada ARAM I produksinya mencapai 2.058 juta ton dengan luas lahan panen 306.000 ha. Dari Total produksi tersebut, untuk kebutuhan pakan peternak dalam negeri dipekirakan 2,92 juta ton per tahun,” ujar Gatut.
Dikatakan Gatut, meningkatnya produksi jagung dalam negeri tersebut membuat petani jagung dalam negeri semakin bergairah dalam melakukan usaha budidaya pertanaman jagung di lapangan. Akan tetapi, lonjakan produksi jagung nasional tenyata masih belum dimbangi dengan peningkatan kualitas/ mutu dari jagung karena kadar aflatoksinnya masih tinggi.
“Untuk memproduksi jagung rendah aflatoksin memerlukan penanganan khusus mulai dari budidaya, penanganan pasca panen sampai distribusi kepada peternak, disamping itu perlu insentif harga yang memadai” ujar Gatut.
“Jagung rendah aflatoksin digunakan sebagai bahan pakan sapi perah agar dapat menghasilkan susu segar dengan persyaratan flatoksin maksimal 0,5 ppb” lanjut Gatut.
Tingginya kebutuhan akan jagung rendah aflatoksin (dibawah 20 ppb) didalam negeri setiap tahunnya yang diperkirakan sebesar 15.000 ton, telah mendorong Koperasi Dinamika Nusra Agrobisnis untuk berinovasi sehingga mampu menyediakan jagung rendah aflatoksin dengan kapasitas produksi sebesar 30 ton per hari.
“Kemampuan Koperasi Dinamika Nusra Agrobisnis untuk menyediakan jagung rendah aflatoksin yang dibutuhkan oleh industri seperti PT. Greenfilds patut kita dukung dan kita dorong untuk dapat meningkatkan kapasitas produksinya sehingga mampu mensuplai kebutuhan industry dalam negeri” ujar Gatut.
Selain menghasilkan jagung rendah aflatoksin, Koperasi Dinamika Nusra Agrobisnis juga telah mampu meningkatkan nilai tambah dengan inovasinya untuk menghasilkan Corn Cob (janggel).
Corn Cobs (janggel) merupakan produk samping produksi jagung rendah aflatoksi dengan pemipilan tersentralisasi menggunakan corn sheller yang diolah dalam bentuk compact dan digunakan sebagai salah satu media untuk budidaya jamur merang. Korea Selatan telah meminta Corn Cobs sebanyak 300 ton/ bulan, namun Koperasi NA baru bisa merealisasikan 150 ton dan sisanya 150 ton dalam tahap produksi.
Secara umum dapat diindikasikan bahwa pengembangan agrobisnis jagung masih mempunyai prospek, ditinjau dari prospek harga, ekspor dan pengembangan produk. Secara internal, pengembangan agrobisnis jagung didukung potensi kesesuaian dan ketersediaan lahan, produktivitas yang masih dapat meningkat dan semakin berkembangnya industri hilir. Dengan prospek dan potensi ini, arah pengembangan agrobisnis jagung adalah pemberdayaan di hulu dan penguatan di hilir.
Sementara itu, Wakil Bupati Lombok Timur, Rumaksi mengatakan sebagai bahan pakan ternak, cemaran aflatoksin pada jagung merupakan salah satu masalah utama pada kegiatan pascapanen jagung. Selain kadar air, aflatoksin cukup signifikan dalam meningkatkan posisi tawar sehingga jagung bisa diterima oleh pabrik pakan.
“Saat ini, pabrik pakan menetapkan standar mutu jagung yang dapat diterima dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI). Salah satu persyaratan mutu jagung yang sangat penting adalah kandungan mikotoksin terutama aflatoksin. Selain mempengaruhi mutu hal tersebut juga berkaitan dengan kemananan pangan. Dalam SNI dipersyaratkan kandungan aflatoksin maksimum untuk jagung sebagai pakan ternak Mutu I dan Mutu II, masing-masing 100 ppb dan 150 ppb,” kata Rumaksi.
Harapannya launching pengiriman perdana jagung rendah aflatoksin dari Koperasi Produksi Syariah Dinamika Nusa Agribisnis (DNA) ke PT. Greenfields dan ekspor Corn Cobs (Janggel Jagung) ke Korea Selatan tersebut akan berkelanjutan dan diikuti pengiriman berikutnya dengan kapasitas yang lebih besar dan tentu saja kualitas yang terus mengalami peningkatan. Hal tersebut untuk menjaga kepercayaan dunia industri terhadap jagung asal Lombok Timur.
“Produksi jagung nasional dalam lima tahun terakhir meningkat 12,49% per tahun. Pada periode 2018 produksi jagung mencapai 30 juta pipilan kering (PK). Sementara itu untuk luas panen per tahun naik 11,06% dan produktivitas rata-rata meningkat 1,42%.
Di Lombok Timur, berdasarkan data capaian RPJMD 2013-2018 produksi jagung tahun 2017 mencapai 185.432 ton,” imbuhnya.
Pringgabaya menjadi kecamatan dengan luas lahan jagung terbesar. Angka tersebut terus meningkat dibanding tahun sebelumnya, seiring adanya upaya khusus terkait peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai (upsus pajale) yang telah berlangsung sejak 2016 lalu.
“Meningkatnya produksi pajale saat ini sudah dapat dinikmati petani dengan meningkatnya kesejahteraan petani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) pada Desember 2018 naik sebesar 0,04 persen menjadi 103,16 dibanding bulan sebelumnya,” pungkas Rumaksi.