Rulli Nasrullah

Gunakan Medsos untuk Menyebarkan Ide Positif

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Media sosial selama ini telah membongkar batas-batas pergaulan yang sebelumnya masih menyisakan sekat norma dan etika. Medsos juga melabrak batas usia dalam berinteraksi. Satu sisi kita sedang menikmati proses demokratisasi, kekebasan dan kesetaraan dalam ruang maya. Namun tanpa disadari kebebasan ini telah mendorong tumbuhnya budaya baru bernama kekerasan dan perpecahan virtual.

Tidak hanya visualisasi kekerasan yang bertebaran, tetapi pola dan sikap mendorong kekerasan dan pepercahan melalui teks, narasi, dan kata-kata menjadi hidangan di medsos. Para netizen pengguna medsos harus bisa bersikap cerdas dengan gawainya dalam menggunakan medsos untuk menutup ruang-ruang kekerasan dan perpecahan.

Pengamat Media Sosial, Dr Rulli Nasrullah, MSi, mengakui bahwa, perkembangan teknologi melalui dunia maya (internet) dewasa ini tidak bisa dihindari. Dimana proses perkembangan teknologi itu kurvanya cenderung sangat cepat dan sangat tinggi. Perspektifnya pun juga balance, bahwa ada hal-hal positif dan ada hal-hal yang negatf.

“Teknologi seperti internet, medsos sekarang ini bisa dikatakan menjadi pasar bebas ide. Siapapun dengan keinginan ataupun tujuan, baik negatif dan positif bisa masuk di situ untuk memasarkan ide-ide mereka. Ini menjadi persoalan yang serius kalau seandainya ide yang ditawarkan itu adalah ide-ide tentang kekerasan atas nama agama, pelanggaran HAM ataupun tentang terorisme dan segala macamnya. Sementara literasi digital di masyarakat sendiri sangat pelan” ujar Rulli di Jakarta, Selasa (18/6/2019).

Pria yang juga dosen Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan, kehadiran teknologi dan medsos sekarang ini cenderung bebas tanpa batasan geografis, sehingga target penjualan ide-ide di pasar bebas virtual ini siapa pun bisa dapat. Yang menjadi masalah adalah ketika yang menjual ide itu adalah orang yang ‘ahli’ untuk mengacaukan pikiran seseorang atau keinginan negatif  lainnya. Mereka juga akan mempelajari psikologi para pengguna digital.

“Dimana mereka akan melihat para netizen ini statusnya seperti apa, teman-temannya seperti apa. Jadi cara masuknya itu seperti teman biasa yang sudah akrab dengan segala macam disesuaikan dengan keinginan netizen seperti apa. Maka nanti pelan-pelan ide-ide negatif itu akan  dimasukkin ke situ. Nah itu yang menjadi persoalan,” kata pria kelahiran Bandung, 18 Maret 1975 ini.

Menurutnya, pengguna medsos harus bisa menahan diri jika memperoleh informasi yang didapat dari medsos. Karena ketika bermain di medsos, ada satu kalimat yang sering dikatakannya dengan sebutan Berhenti Sejenak.

“Berhenti Sejenak di sini artinya adalah, ketika kita menerima sebuah informasi maka kita harus berhenti dulu sejenak untuk berfikir jernih. Jangan buru-buru ditelan, jangan buru-buru di share dan juga jangan buru-buru diakui sebagai sebuah kebenaran ataupun sebagai sebuah kesalahan,”  kata pria yang juga Pengurus Pusat Forum Dosen Indonesia bidang Publikasi ini.

Upaya Bersama

Perlu ada upaya bersama untuk mengajak para netizen ini menggelorakan semangat persatuan dan kesatuan di Medsos dengan memperbanyak konten positif di medsos. Karena medsos ini adalah pasar ide. Artinya ketika orang-orang baik, orang yang punya ilmu atau orang yang punya latar belakang pendidikan ataupun pengalaman di lapangan jika tidak bermain di medsos, maka pasar ide ini akan kalah dengan konten-konten yang negatif.

“Apa yang dilakukan pemerintah dengan memblokir, men-take down konten negatif, itu adalah suatu langkah yang benar. Sangat benar ketika orang tua, membatasi aplikasi yang memiliki konten konten yang bisa diakses oleh anaknya. Tetapi ketika orang-orang baik, siapapun mereka ketika dia tidak bermain di medsos dan juga  tidak masuk ke dalam pasar bebas ide seperti ini, maka kontennya akan kalah. Untuk itulah para pengguna medsos harus memperbanyak membikin counter konten,” ujarnya.

Karena menurutnya, harus ada orang-orang baik yang peduli dengan membuat konten tandingan juga. Karena nanti pasar ide virtual itu akan menjadi menarik dan bahkan orang pasti akan belajar.

“Orang nantinya akan berpikir mungkin awalnya dia terkena hoax atau terkena paham radikal dan segala macam, tetapi nanti lama lama jika sudah banyak konten bagus di internet, akhirnya orang akan berfikir ternyata yang kemarin-kemarin itu tidak benar dan yang sekarang ini ternyata benar,” kata Rulli

Diakui Rulli, sudah banyak riset yang mengatakan bahwa medsos telah dijadikan saluran untuk perekrutan atau juga digunakan untuk penanaman konsep konsep kekerasan atas nama agama dan juga atas nama identitas apapun. Untuk itulah dirinya meminta agar para pengguna medsos juga bersikap kritis agar  tidak mudah terprovokasi dengan ajakan kekerasan yang dapat menimbulkan perpecahan melalui medsos.

“Persoalannya, sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan tidak terlalu banyak memengaruhi literasi digital.  Ternyata ada juga yang biarpun sudah menempuh pendidikan tinggi, bahkan pejabat dan segala macam ternyata mereka menyebarkan hoax (berita bohong) juga,”  katanya.

Literasi Digital

Ketika hoax itu diributkan, maka hoax itu nanti akan menjadi besar atau viral sendiri. Tetapi kalau masyarakat atau netizen itu tidak menanggapi atau bersikap biasa saja terhadap hoax tersebut, maka pada akhirnya pasar ide hoax itu tidak akan laku dimata digital.

“Apa yang harus dilakukan oleh Netizen? Pertama, ada fungsi dan peran dari lingkungan terdekatnya. Kedua, lagi lagi adalah literasi digital yang dilakukan oleh pemerintah, keluarga, sekolah dan segala macam. Tetapi yang paling adalah memproduksi konten-konten yang baik dan meng-counter konten negatif sebanyak-banyaknya,” kata pria yang juga dosen Magister Ilmu Komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik  (IISIP) Jakarta ini.

Selain itu dirinya juga menyoroti pemilik platform medsos seperti Youtube, Facebook dan sebagainya untuk ikut turun tangan memonitor isi konten-konten yang bersifat provokasi ajakan kekerasan yang bisa merusak persatuan. Menurutnya ketika perusahaan pemilik platform tersebut telah masuk dan beroperasi secara komersial di sebuah negara, maka dia harus mengikuti regulasi yang ada di negara tersebut.

“Perlu adanya regulasi khusus antara perusahaan medsos dengan pihak pemerintah untuk mengatur banyak hal seperti itu. Karena ini teknologi, saya pikir dari pihak medsos sebenarnya sangat mudah, tinggal memasukkan kata kunci, maka konten-konten seperti pornografi, radikalisme, kekerasan tidak akan muncul,” kata pria yang telah banyak menulis buku tentang Media Sosial ini.

Untuk itu dirinya berharap pemerintah berperan aktif untuk bekerjasama dengan pihak penyedia layanan medsos untuk men-take down konten-konten yang mengandung unsur kekerasam, radikalisme-terorisme, pornografi dan sebagainya. “Diperlukan tindakan tegas dari pihak-pihak terkait.Tentunya mencegah itu lebih baik, daripada ketika sudah menyebar dan paham itu sudah masuk ke dalam jiwa seseorang, maka agak susah untuk diperbaiki,” kata peraih gelar doktor bidang Kajian Budaya dan Media dari Universitas Gadjah Mada ini.

Pemerintah sendiri dalam melakukan tindakan menurutnya sudah cukup tegas. Yang menjadi persoalan adalah teknologi internet itu kurvanya juga  naik dengan sangat cepat,  namun regulasinya satu demi satu baru dibuat. Tentunya tetap dicari perangkat hukumnya.

“Karena ini dunia digital, apakah undang-undang digital itu mencakup itu semuanya seperti di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) itu kan juga belum masuk ke ranah ranah seperti itu. Hanya beberapa bagian saja. Kita perlu regulasi-regulasi yang sifatnya mikro, yang secara teknis mengatur poin-poin terkecil dari pelanggaran-pelanggaran bentuk kejahatan apapun yang ada di internet. Itu yang saya katakan perlu kontinyuitas regulasi yang sangat luar biasa,” ucapnya mengakhiri.