INDRAMAYU (IndependensI.com) – Menjelang Pilpres 2014, lima tahun silam, Jokowi berkunjung ke Pondok Pesantren Darul Ma’arif, Kaplongan, Indramayu, Jawa Barat. Dalam perjalanan menuju tempat acara, H Dedi Wahidi, Pengasuh Pesantren yang juga Anggpta F-PKB DPR RI menyempatkan diri bertanya, kira kira begini : “Bagamana Pak Jokowi akan memimpin nanti dengan peta dukungan minoritas parlemen jika terpilih menjadi presiden RI”? Sebuah pertanyaan yang relevan oleh karena pilpres tahun 2014, pasca Pemilu Legislatif dimana peta dukungan partai koalisi Jokowi- JK saat itu miinoritas di parlemen dibanding koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta Radjasa. Jokowi yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI, menjawab datar ” Saya di DKI juga didukung minoritas parlemen, ternyata berjalan efektif. Kuncinya bekerja untuk rakyat dan berpihak pada kehendak mayoritas rakyat. Insyallah rakyat akan memberikan dukungan kuat pada pemerintah”.
Dialog faktual diatas selain menggambarkan keakraban Jokowi dan H. Dedi Wahidi, yang empat tahun kemudian, pada tahun 2018, dalam posisinya sebagai Presiden RI kembali berkunjung ke pesantren yang sama, juga secara substansi dialog di atas pada pokoknya relatif sama dengan apa yang disampaikan K.H.Maman Imanulhaq, Direktur Relawan TKN Pasangan Jokowi-KH Ma’ruf Amin dalam pilpres 2019. Kh Maman Imanulhaq yang cukup sering berinteraksi secara langsung dengan Presiden Jokowi dalam suatu kesempatan acara diskusi menyampaikan pada penulis, bahwa inti dari kekuatan kepemimpinan Jokowi adalah “public trust“. Sebuah kepemimpinan yang dibangun di atas kepercayaan publik sebagau instrument hulu dalam bangunan kerja dan kebijakan politiknya.
Dari konstruksi dialog dan testimoni di atas itulah penulis baru “ngeh” akan arti pentingnya Jokowi melibatkan KPK dalam menelusuri rekam jejak menteri-menterinya saat rekruitmen Kabinet Kerja I, lima tahun silam. Pointnya adalah nafas panjang rezim berkuasa (Pemerintah) hanya akan bertahan, bahkan akan mendapat limpahan “nutrisi” dukungan publik yang kuat manakala dibangun dalam konstruksi politik yang pro secara tegas terhadap pemberantasan anasir-anasir korupsi, kolusi dan nepotisme baik dalam tataran regulatif maupun tindakan aktif.
Mayoritas oposisi parlemen tidak berdaya “menguliti” kebijakan politiknya yang dibangun di atas “public trust”. Sebaliknya,rezim orba, misalnya, yang dikonstruksi semi militeristik, oligarkhi mayoritas dukungan parlemen dan terstruktur rapi secara sistemik berakhir tragis, tak kuasa melawan gerakan kolektif publik akan pentingnya perlawanan terhadap praktek KKN, yang dalam logika “puclic trust” diyakini sebagai hulu dari rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertanyaannya, bagaimana desain pola rekruitmen Jokowi dalam mengisi struktur Kabinet Kerja II di tengah melimpahnya dukungan parlemen di satu pihak dan gejolak publik yang meluas di pihak lain terkait revisi undang undang KPK yang disinyalir “mengamputasi” pisau tajam KPK yang selama ini sangat tinggi peringkat “public trust“nya di mata publik?
Tantangan inilah yang kini dihadapi Jokowi untuknperiode kepemiminannya lima tahun ke depan. Jika tidak tepat membaca “dept felling“, suasana kolektif kebhatinan publik terkait pola rekruitmen menteri dalam struktur Kabinet Kerja II, betapa pun diback up mayoritas dukungan parlemen, akan menghadapi problem-problem sosial yang menyulitkan Jokowi dalam “membumikan” visi misi pemerintahannya.
Dalam timbangan penulis, pola rekruitmen Kabinet Kerja II di bawah kepemimpinan Jokowi-KH Ma’ruf Amin untuk lima tahun ke depan haruslah tetap dalam pendekatan awal saat pertama kalinya Jokowi tahun 2014, membentuk Kabinet Kerja yang melibatkan “catatan kaki” KPK untuk menjamin terjaganya “public trust” terhadap Kabinet Kerja yang merupakan instrument teknis untuk mewujudkan visi misi besar Jokowi dalam pemerintahannya.
Pendekatan “bersih” dari hulu kabinet sejatinya secara substansial sama dengan pendekatan yang dirumuskan dalam khazanah kitab kitab klasik “fiqih syiasah“, bahwa rekruitmen pejabat publik parameter dasarnya secara berurutan adalah “Siddiq” (jujur, integritas, rekam jejak bersih). “Amanah” (responsible, public trust). “Tabligh” (komunikatif, hamble, acceptable) dan “Fathonah” (kualified, kompeten, taktis).
Tentu kita percaya atas penegasan Jokowi secara berulang-ulang dalam berbagai kesempatan bahwa urusan Kabinet sepenuhnya hak prerogatif Presiden. Dengan kata lain, pertimbangan koalisi partai pendukung dan variabel timbangan lain tidak mereduksi hak hak prerogatif Jokowi sebagai Presiden RI, penentu akhir dalam menyusun struktur Kabinet Kerja II, yang kita harapkan tetap dalam pendekatan mendahulukan aspek “Siddiq”, yakni aspek integritas dan bersih sebagai pendulum awal untuk membentuk formasi Kabinet Kerja II yang amanah, tabligh dan fathonah.
Dengan pendekatan inilah sinergitas mayoritas dukungan parlemen yang dimiliki akan bertemu dalam satu titik power point dengan “public trust” sebagai mesin dukungan sosialnya. Dari sinilah “jalan tol” untuk melewati tahap-tahap realisasi janji-janji kampanye dan visi misi besar pemerintahannya untuk lima tahun ke depan dapat mengurai ‘kemacetan” politis dan ‘hambatan”‘ sosial untuk selanjutnya kita kenang ‘legacy” nya dengan khusnul khotimah, semoga.