PALANGKA RAYA (Independensi.com) – Komunitas masyarakat Suku Dayak, mengakui, memang ada tengkorak manusia Dayak di pemakaman kuno di lereng bukit batu, pada tiga tempat berbeda di Pulau Borneo.
Lokasinya hanya bisa dijangkau berjalan jalan kaki, menelusuri jalan setapak, menembus hutan belantara selama 5 jam dari Desa Tongka, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia.
Wakil Sekretaris Jenderal I Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), Esau A Tambang, Senin pagi, 2 Desember 2019, menjelaskan, tengkorak manusia Suku Dayak ada di dalam peti mati pada lereng bukit batu bernama Liang Tanyir Nyeloi.
Penemuan kedua, ada tengkorak manusia di dalam peti mati terbuat dari kuyu ulin, di Gunung Oke, ditemukan tujuh buah peti mati terbuat dari kayu ulin yang diperkirakan berusia ratusan tahun, dengan 7 tengkorak manusia di dalamnya.
Penemuan ketiga, di Liang Daong, ditemukan pemakaman kuno, berupa peti mati diletakkan di dalam lubang terbuka lereng bukit batu yang disebut Batu Gadur.
Kecamatan Gunung Timang memiliki luas wilayah 890 kilometer persegi, dimana pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Teweh Tengah dan Teweh timur, sebelah timur dengan Kecamatan Teweh timur dan Gunung Perei, sebelah selatan dengan Kabupaten Barito Selatan dan sebelah barat dengan Kecamatan Montallat.
Kabupaten Barito Utara memiliki luas 8.300 kilometer persegi, mencakup Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, berada pada ketinggian sekitar 200-1.730 meter dari permukaan laut. Bagian selatan merupakan dataran rendah dan bagian utara merupakan dataran tinggi dan pegunungan.
Menurut Esau A Tambang, lokasi ditemukan pemakaman kuno Suku Dayak pada lereng bukit di tiga tempat berbeda di Desa Tongka, masuk di dalam kawasan Hutan Lindung
Lampeong – Gunung Lumut, seluas 28.548 hektare, dimana telah diusulkan Pemerintah Kabupaten Barito Utara, menjadi taman nasional cagar biosfer, sejak tahun 2016.
Bupati Barito Utara, Nadalsyah, mengatakan, rumusan manajemen pengelolaannya tetap memprioritaskan kearifan dan budaya lokal.
Nadalsyah, mengatakan Gunung Lumut meliputi rangkaian tiga bukit yakni Gunung Lumut, Gunung Peyuyan, dan Gunung Penyetau.
Menjelajah kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut di Kabupaten Barito Utara yang masih alami, memang menjanjikan sensasi tersendiri. Di kawasan hutan lindung terdapat barisan pegunungan yang alami.
Di antaranya Gunung Tangur dengan bukit batu kapur sebagai tempat berkembangnya 83 sarang lebah madu, juga Bukit Sowai, yang memiliki keindahan Sungai Semeluang dan danau atau lubuk di atasnya, yaitu Lubuk Lemuong Pantak.
Sesuai dengan namanya, Gunung Lumut merupakan surga lumut dunia. Hampir semua kawasan, baik pepohonan maupun daratan, tertutup dengan berbagai jenis lumut. Gunung ini memiliki tujuh puncak dan menjadi ekologi yang penting di Kalimantan Tengah, dengan puncak tertinggi 1.269 kilometer dari permukaan laut.
Hutan lindung Lampeong-Gunung Lumut memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan flora dan fauna endemis Kalimantan, serta memiliki keunikan ekosistem. Flora didominasi famili depterocarpaceae (dipterocarpus sp dan shorea sp), tumbuhan bawah rhododendron sp, nephenthes sp dan phyllocladus sp, eurycoma langifolia dan Ixora sp, juga ditemukan sekitar 51 jenis anggrek.
Fauna terdapat 75 spesies burung, antara lain rangkong badak (buceros rhinoceros), sikatan Kalimantan (cyiomis superbus), dan puyung gonggong (aborophila hyperytha). Hutan ini juga menjadi rumah bagi 15 mamalia, seperti babi jenggot (sus barbatus), owa (hylobates mulleri), dan macan dahan (neofelis nebulosa).
Terdapat 44 jenis ikan penghuni danau antara lain sapan (tor tambroides), lomi (tordouronensis), salap (barbode scollingwoodii), dan tapah (wallago leeri). Kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut juga dikenal sebagai penyangga sistem hidrologi bagi 27 desa di bagian hilir di tepian Daerah Aliran Sungai (DAS) Teweh, 16 desa di tepian DAS Montallat, dan puluhan desa di tepian DAS Ayoh Kabupaten Barito Selatan.
Perang Tongka
Berbicara Desa Tongka, dalam catatan sejarah, pernah meletus peperangan sengit kalangan Suku Dayak melawan penjajah Belanda. Namanya Perang Tongka.
Benteng Suku Dayak dalam perang melawan Belanda, dinamakan Benteng Bungut Inai. Lokasi Benteng Bungut Inai berada di pehuluan Sungai Montallat, DAS Barito.
Di Benteng Bungut Inai, pernah terjadi peperangan sengit Suku Dayak melawan Belanda, pada 27 Mei – 1 Juni 1861 dan 8 Nopember 1861, dinamakan Perang Tongka.
Perangka Tongka, merupakan rangkaian Perang Barito, merupakan perlawanan Suku Dayak, pimpinan Damang Surapati, berhasil menenggelamkan Kapal Perang Onrust pada 26 Desember 1859 di sekitar 2,2 kilometer arah hilir atau selatan kota Muara Teweh, Ibu Kota Kabupaten Barito Utara.
Damang Surapati, tangan kanan Pangeran Antasari. Pangeran Antasari, Sultan Banjar, dari Kalimantan Selatan, ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 06/TK/1968, tanggal 27 Maret 1968.
Perang Barito merupakan rangkaian Perang Banjar, meletus sejak tahun 1859, dan berakhir dengan meninggalnya Gusti Berakit bin Sultan Muhammad Seman pada 6 Agustus 1906 (keturunan Pangeran Antasari). Rangkaiannya sebagai berikut: Perang Tongka, rangkaian Perang Barito dan Perang Berito rangkaian Perang Banjar (1859 – 1906).
Jika ditilik sejarahnya, maka Perang Tongka, meletus, sebelum Pertemuan Damai Suku Dayak se Pulau Borneo di Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 24 Juli 1894.
Pertemuan ribuan tokoh Dayak se Pulau Borneo di Tumbang Anoi, 1894, menelurkan 9 kesepakatan mengikat, mencakup 96 pasal, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan mengayau (potong kepala manusia). (Aju)
ini baru penemuan di Kalimantan Tengah, karena kuburan kuno di lereng bukit batu ada juga di hutan belantara Taman Nasional Betung Kerihun, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat