Independensi.com – Dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), tersangka kasus penerima suap dari Harun Masiku (Caleg PDI-P Sumsel I), Agustiani Tio Fridelina (mantan Bawaslu) dan Saeful (swasta), Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlid) menjadi populer di kalangan politisi dan praktisi hukum.
Walaupun disebut OTT ternyata Harun Masiku sebagai tersangka pemberi suap sudah kabur ke Singapura dua hari sebelumnya.
Sprinlid itu ditunjukkan anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu (Fraksi PDI-P) di Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa malam (14/1) dan Sprinlid tersebut dipertanyakan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, asli atau tidak, karena Sprinlid tidak hanya diberikan kepada yang berkepentingan, artinya bagaimana itu sampai di tangan Masinton.
Dalam polemik kasus pengusulan Harun Masiku sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) dengan wafatnya Nazaruddin Kiemas, terjadi kesimpang-siuran antara putusan MA dan Keputusan KPU, sampai terjadi upaya suap menyuap, sampai muncul Sprinlid yang berujung OTT.
Bermodalkan Sprinlid, petugas lapangan bekerja dengan penyadapan dan pengintaian. Sebenarnya tidak sulit bagi KPK untuk mengungkap siapa, mengapa dan bagaimana serta kapan dan di mana orang yang berperan dalam suatu kasus yang sedang diselidiki. Sebab semua telah terekam berdasarkan hasil sadapan.
Atas dasar keyakinan atau bukti-bukti itulah maka aparat penyelidik melakukan OTT, penggeledahan dan penyitaan seperti yang dilakukan selama ini. Tetapi, dengan UU yang baru penyadapan harus seizin Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Mengapa OTT terhadap Wahyu Setiawan dkk menjadi ramai? Ada dugaan bahwa Sprinlid itu tidak memperoleh izin dari Dewas, karena Sprinlid dikeluarkan tanggal 20 Desember 2019 oleh Agus Rahardjo (Ketua KPK lama) di hari terakhir masa tugas dan serah terima jabatannya.
Besar kemungkinan Sprinlid (termasuk penyadapan, penggeledahan dan penyitaan) yang dilakukan KPK terhadap Wahyu Setiawan (mungkin juga Bupati Sidoarjo) tidak memiliki izin dari Dewas, maka petugas KPK tidak jadi menggeledah ruangan di Kantor DPP PDIP Jl. Diponegoro serta “tertahan” di PTIK saat mau menangkap seseorang di sana, yang menurut Saor Siagian “disandera” sampai dijemput pimpinan KPK.
Kesimpang-siuran kasus ini bertambah dengan keterangan Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, yang membantah Dewas memperlambat penggeledahan. Dalam 1 x 24 jam permintaan penggeledahan dari penyidik ke Pimpinan KPK dan kalau sampai ke Dewas segera akan dipertimbangkan Dewas disetujui atau tidak.
Namun, Tumpak Hatorangan tidak menyinggung apakah ada izin dari Dewas untuk OTT terhadap Wahyu Setiawan dan tersangka lainnya? Memang Dewas tidak ikut campur dalam teknis operasional di lapangan, tetapi bagaimana dengan OTT yang di luar pengetahuan Dewas?
Dalam situasi sudah hiruk-pikuk Ketua KPK Firli Bahuri dan komisioner lainnya belum memberi klarifikasi? Ketika Komisioner Lili Pintauli mengumumkan OTT tersebut kepada pers, dia tidak menjelaskan, kapan, di mana penyerahan uang Rp 600 juta dari Harun Masiku atau dari Saeful ke Wahyu Setiawan?
Korupsi harus diberantas sesuai dengan hukum yang berlaku, karena ada ketidakjelasan, maka muncul pertanyaan-pertanyaan, ada apa antara petugas di lapangan dengan Pimpinan KPK serta kewenangan Dewas KPK?
Ini tugas berat bagi Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli, Ali Gufron dan Nawawi Pamolango, yang akan lebih mudah ke depan dengan belajar dari masa tugas belum sebulan ini. Komisioner yang baru harus berupaya mengubah pola pikir dan pola kerja tim supaya sinkron antara peraturan undang-undang, kebijakan serta operasi di lapangan.
Dengan demikian akan terjawab, apakah KPK menghadapi “tembok” sehingga tidak jadi menggeledah ruangan di DPP PDI-P dan petugas KPK sempat “tertahan” di PTIK, atau memang karena pelaksana di lapangan tidak memiliki izin dari Dewas? Proses persidangan akan mengungkapkannya kemudian.
Dengan klarifikasi secara jujur, apa adanya, maka apa yang dikemukakan Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat bahwa kasus suap yang melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan adalah upaya framing terhadap partainya dan Sekjen PDI-P Hasto Kristianto.
Nasi sudah jadi bubur, apa yang terjadi dalam masa bakti baru sebulan ini hendaknya menguatkan tekad bangsa ini memberantas korupsi sesuai aturan dan peraturan, sehingga tidak timbul lagi kesan ugal-ugalan seperti selama ini. (Bch)