BENGKAYANG (Independensi.com) – Orang Dayak, sebagai bagian integral dari berbagai suku Benua Asia, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan masyarakat di Benua Asia dimaksud, membentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat dimaksudkan, lahir dari sistem religi Dayak yang bersumber doktrin atau berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.
Keberadaan sistem religi Suku Dayak, ini, mengingatkan kita akan Filsuf Gereja Katolik, Pastor Thomas Aquinas, 1225 – 1274, dengan teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati, dimana menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.
Dengan demikian, melalui sistem religinya, membuktikan orang Dayak memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Bagi Suku Dayak, agama yang dianut sebagai sumber keyakinan iman, tapi sistem religi Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku.
Keduanya harus dimaknai di dalam konteks yang berbeda, agar tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama. Karena karakter dan jatidiri sebuah suku bangsa di negara manapun di dunia, tidak terkecuali Suku Dayak (di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam), selalu bersumber dari sistem religi dari suku bangsa yang bersangkutan.
Kemampuan di dalam memahami sistem religi Suku Dayak, menjadi sangat penting bagi orang Dayak, untuk menjawab berbagai penilaian negatif dari pihak luar tentang orang Dayak. Kemudian, dijadikan panduan di dalam menyusun konsep pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Suku Dayak.
Dalam konteks itulah, buku: “Hakim Adat Dayak, Agama Dayak dan Tumbang Anoi 1894 – 2019”, ini, diterbitkan.
Buku ini, mencakup VII Bab, mengulas, latar belakang pertemuan damai ribuan tokoh Suku Dayak di rumah betang milik Damang Batu di Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 Mei – 24 Juli 1894. Pertemuan damai menghasilkan 9 point kesepakatan dijabarkan di alam 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusia.
Pada 125 tahun kemudian (1894 – 2019) di tempat yang sama digelar Seminar International dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, menghasilkan Protokol Tumbang Anoi 2019, dua organisasi internasional Dayak, yaitu Dayak International Organization (DIO) dan Yayasan Damang Batu International.
Kegiatan Tumbang Anoi 2019, puncak dari digelarnya Temenggung International Conference (TIC) di Sintang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, 28 – 30 Nopember 2018, dan dilanjutkan International Dayak Justice Congress di Hotel Perkasa, Keningau, Sabah, Malaysia, 14 – 16 Juni 2019, menghasilkan International Dayak Justice Council dan di Indonesia, melahirkan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN).
Buku ini mengingatkan orang Dayak, betapa pentingnya kembali ke identitas, karakter, dan jatidiri orang Dayak, sebagai wujud pengalaman ideologi Pancasila. Karena menurut Presiden Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Karena Suku Dayak sebagai bagian integral Bangsa Indonesia, maka logikanya kebudayaan Suku Dayak turut andil melahirkan ideologi Pancasila. Itu berarti, mencintai, merawat kebudayaan Suku Dayak, termasuk memahami religi Suku Dayak, wujud nyata di dalam mengamalkan ideologi Pancasila.
Buku: “Hakim Adat Dayak, Agama Dayak dan Tumbang 1894 – 2019”, mencakup VII bab. Bab I, materinya sebagian besar terinspirasi hasil Temenggung International Conference di Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, 28 – 30 Nopember 2018 yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sintang Tahun Anggaran 2018.
Diulas, sebelum kelembagaan negara berdiri, seorang Hakim Adat Dayak bertindak sebagai pewarta agama Dayak, panglima perang, kepala pemerintahan dan hakim adat yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Bab II, mengulas sejarah pertemuan di Tumbang Anoi, 22 Mei- 24 Juli 1894, melahirkan 96 pasal hukum adat. Bab III, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu di Desa Tumbang Anoi, 22 – 24 Juli 2019.
Pada Bab IV, mengulas pentingnya memahami doktrin religi (agama) asli Suku Dayak, berurat berakar dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak, dan hukum adat Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku orang Dayak. Di antaranya Agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak Uud Danum dan Suku Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah.
Di bagiab Bab IV diulas pula, permainan tatung yang selalu memeriahkan Perayaan Cap Go Me (hari kelima belas setelah Imlek), berdasarkan legenda suci Dayak, adalah bagian dari sistem religi Dayak (Kebudayaan Dayak).
Di Bab VI, mengulas pentingnya keberadaan situs pemukiman dan situs pemujaan bagi orang Dayak, terutama situs pemujaan, sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan. Terakhir, Bab VII, point lengkap Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007.
Ditegaskan pula, kunci kemajuan sebuah negara, dimanapun berada, dalam penjabaran program pembangunan, harus selaras dengan kebudayaannya, harus sesuai dengan karakter, identitas dan jatidiri sebuah suku bangsa.
Bicara suku, bukan tindakan rasis, tapi merupakan hak sebuah suku bangsa, termasuk Suku Dayak, untuk mempertahankan identitas budaya, mempertahankan tanah adat, menentukan sikap politik, sebagaimana diatur di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007. **
Penerbit Derwati Press: Jalan Perdana, Kompleks Bali Agung 3 Nomor 11, Pontianak 78124, Kalimantan Barat.
Kontak pemesanan: 0561 – 583062, 085252520022 (Rizal Hamka).Tebal 900-an halaman (VII bab). Edisi revisi 2020. Penulis: Aju. Editor: Dr Yulius Yohanes, M.Si.
Bengkayang, 11 Maret 2020.
Terima kasih atas kehadiran buku: “Hakim Adat Dayak, Agama Dayak dan Tumbang Andi” ini, semoga bermanfaat bagi kemajuan & kejayaan komunitas suku Dayak.
Saya berharap agar semua warga Dayak terutama tokoh-tokoh Dayak bisa memiliki buku ini.