Oleh Aju
JAKARTA (Independensi.com) – Masyarakat dari berbagai Suku Bangsa di Benua Asia, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan masyarakat di Benua Asia dimaksud, telah membentuk karakter dan jatidiri masyarakat Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat dimaksud, lahir dari sistem religi Dayak bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai simbol dan sumber peradaban.
Dalam kaitan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban, di dalam religi Dayak, maka gunung, bukit, lembah, sumber resapan air, terutama situs pemukiman dan situs pemujaan di dalam Hutan Adat Dayak, sebagai tempat bersemadi arwah para leluhur (Aju: 2020).
Arwah para leluhur yang bersemadi di hutan adat inilah yang selalu membantu manusia Suku Dayak di alam nyata, setiap kali terjadi kerusuhan rasial di Kalimantan, terutama saat terjadi kerusuhan Tionghoa – Dayak dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) di Kalimantan Barat, September – Desember 1967 dan konflik Dayak – Madura di Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, 18 – 21 Februari 2001.
Konflik terjadi, karena aparat penegak hukum dan Pemerintah Republik Indonesia, tidak mampu memahami bahwa pemicunya adalah pelecehan dan penistaan terhadap jenis, sistem, simbol, dan tempat religi Dayak.
Kerusuhan Sampit, misalnya, tiba-tiba meledak sebagai dampak perkelahian personal sebelumnya, disertai pelecehan terhadap simbol religi Dayak, dimana pihak lain sebelumnya menyebut nama Panglima Burung dengan nada penistaan di tengah kerumunan manusia ramai yang tidak pada tempatnya (Aju & Yulius Yohanes, 2020).
Karakter dan Jatidiri
Bahwa sistem religi Dayak sebagai jantung peradaban Kebudayan Dayak, dimana dalam aplikasinya, kaya akan substansi nilai-nilai kehidupan, jalan menuju kedamaian di dalam hati, keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Sistem religi Dayak, sebagai filosofi etika berperilaku bagi orang Dayak. Sistem religi Dayak, sebagai sumber utama pembentukan karakter dan jatidiri Suku Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.
Itulah sebabnya, perampasan Hutan Adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah oleh PT Sawit Mandiri Lestari (SML), mengundang kemarahan meluas masyarakat Suku Dayak, karena telah mengusik jantung peradaban Kebudayaan Dayak, telah melecehkan dan menista tempat dan simbol religi Dayak Tomun di Laman Kinipan.
Perampasan Tanah Adat Dayak Tomun di Desa Laman Kinipan seluas 2.600 hektar yang sudah dideklarasikan pada Sabtu, 16 April 2016, telah mengusik tempat, simbol dan sumber pembentuk karakter dan jatidiri manusia Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.
Tindakan Polisi Republik Indonesia (Polri) menangkap pemuka Adat Dayak Tomun di Laman Kinipan, Efendy Buhing, Rabu, 26 Agustus 2020, dan kemudian dilepas setelah mendapat kecaman meluas bersama 5 tersangka lainnya, Kamis, 27 Agustus 2020, tidak akan menyelesaikan masalah, kalau aparat penegak hukum dan Pemerintah Republik Indonesia, tidak mampu memahami Kebudayaan Dayak yang melahirkan sistem religi Dayak
Sejarah Panjang
Peradaban Kebudayaan Dayak telah melalui perjalanan panjang. Hasil Pertemuan Damai Tumbang Anoi, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, 22 Mei – 24 Juli 1894, menghasilkan 9 kesepakatan yang dijabarkan di dalam 96 hukum adat.
Tumbang Anoi 1894 di antaranya menghentikan perbudakan dan potong kepala manusia, sebagai pengukuhan kembali keberadaan Masyarakat Adat Suku Dayak dalam skala lebih luas dan mengikat, dari sudut pandang sosiologi dan anthropologi.
Dari sudut pandang sosiologi, Adat Dayak sebagai sistem untuk mengatur komunitas dan masyarakat Adat Suku Dayak, berupa interaksi melahirkan adat berupa norma-norma, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, tata susila/etika, budaya, sistem nilai, dan hukum.
Dalam Mitos Suci, Masyarakat Adat Dayak, telah ada sejak penciptaan alam semesta, telah tinggal di Pulau Kalimantan/Borneo, sebelum adanya Kerajaan Hindu-Budha, Islam, Belanda, Jepang, Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam.
Marko Mahin (2018), mengatakan, dalam Agama Kaharingan, manusia Suku Dayak terikat Hadat, berupa perintah-perintah atau tuntunan-tuntunan yang bersumber dari peristiwa-peristiwa suci yang dialami oleh para leluluhur pada awal mula zaman.
Misalnya hadat kawin bersumber dari peristiwa perkawinan manusia pertama Manyamei Tunggal Garing Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau Janjuel Karangan Limut Batu Kamasan Tambun, tokoh suci sebagai nenek-moyang manusia Suku Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah.
Schärer (1963) dalam Marko (Mahin: 2018), mengatakan, dari sudut pandang anthropologi, Adat Dayak berasal dari Tuhan, sebagaimana penuturan Imam di dalam Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak disebut Basir, dimana Hukum Adat Dayak berasal dari Ranying Hatalla Langit. Hadat telah ada sejak penciptaan.
Liang Jeriji Saleh
Jadi, secara sudut pandang anthropologi dan sosiologi, jauh sebelum Pertemuan Damai Tumbang Anoi tahun 1894, adat Dayak sebagai sistem atau hukum yang lahir atau berasal, dipelihara atau dijaga keputusan-keputusan masyarakat adat.
Terutama keputusan-keputusan berwibawa (berotoritas) para Ketua Adat yang bertugas memimpin dan melaksanakan Peradilan Adat untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang senafas-seirama dengan keyakinan dan kesadaran masyarakat adat.
Penemuan ilmiah terbaru (2018) di Liang Jeriji Saleh, Provinsi Kalimantan Timur, ditemukan “Lukisan Binatang Tertua di Dunia” berusia 40.000 tahun. Itu berarti komunitas Adat Suku Dayak di Kalimantan sudah ada sejak 40.000 tahun silam.
Keseluruhan sistem atau hukum atau peraturan yang terwujud dalam bentuk peraturan para fungsionaris adat. Karena inti dari adat adalah hidup harmoni secara vertikal, hidup harmoni secara horizontal, dimana manusia beradat adalah manusia yang hidup harmoni secara vertikal dan horizontal.
Masyarakat Dayak beradat adalah masyarakat Dayak yang mampu berdamai, hidup rukun dan tentram dengan sesama, leluhur dan alam sekitar, di mana legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Suku Dayak, sebagai sumber utama dari materi kitab suci agama asli Suku Dayak.
Wilayah Adat Dayak adalah ruang hidup Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak, adalah tempat harta-kekayaan Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah kehidupan Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah eksistensi Suku Dayak. Wilayah Adat Dayak adalah identitas Suku Dayak (Marko Mahin, 2018).
Kriteria masyarakat Adat Dayak ada 4, sebagai berikut. Pertama, ada anggota masyarakat adat Dayak. Kedua, ada wilayah adat Dayak sebagai konsekuensi adanya masyarakat adat Dayak, melalui penelusuran dari legenda suci, mitos suci yang diformulasikan ke dalam adat istiadat dan hukum adat Dayak setempat tentang silsilah keberadaan kawasan hutan adat Dayak setempat.
Ketiga, ada pranata adat Dayak, seperti hukum adat Dayak, di antaranya hasil Pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, menghasilkan 9 point kesepakatan yang dijabarkan di dalam 96 pasal Hukum Adat Dayak. Keempat, adanya harta kekayaan masyarakat adat Dayak secara materiil dan immateriil (Marko Mahin, 2018; Cornelius Kimha, 2020; Tobias Ranggie, 2020, dan Salfius Seko, 2020).
Adanya kepengurusan komunitas adat Dayak di tingkat nasional, provinsi/negara bagian, kabupaten/kota/distrik, dan kecamatan/subdistrik, membuktikan pula di wilayah Kalimantan/Borneo sampai sekarang memang tetap ada Masyarakat Adat Suku Dayak yang sekaligus tetap ada wilayah adat Dayak, tetap ada masyarakat adat Dayak dan tetap ada pranata adat Dayak (Tobias Ranggie, 2020).
Pemerintah Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam, wajib menerbitkan regulasi, demi menjamin perlindungan keberadaan masyarakat adat Dayak, dengan merujuk kepada ketentuan nasional dan internasional.
Panduan Kembali Pada Jatidiri
Pemerintah Republik Indonesia, sudah menggariskan, panduan bagi masyarakat untuk kembali kepada karakter dan jatidirinya di dalam pengalaman ideologi Pancasila.
Karena Pancasila adalah produk kebudayaan asli berbagai suku Bangsa di Indonesia, maka pengamalan ideologi Pancasila dari sudut pandang kebudayaan, adalah mencintai dan merawat kebudayaan sendiri.
Langkah dan putusan yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia. Pertama, hasil Seminar Nasional Kantor Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Selasa, 4 April 2017, bahwa pembangunan di Indonesia di masa mendatang harus melalui akselerasi kapitalisasi modernisasi kebudayaan, mengingat hal yang sama menjadi kunci utama kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi inovasi di China, Jepang, dan Korea Selatan.
Kedua, penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan.
Ketiga, terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 7 Nopember 2017, yang dimaknai pengakuan terhadap keberadaan agama asli Bangsa Indonesia yang lahir dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.
Keempat, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menerima naskah kajian akademis strategi pembangunan pemajuan kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, Minggu, 9 Desember 2018.
Pemerintah Republik Indonesia, sekarang, menegaskan, kekayaan dan keragaman budaya Indonesia dijadikan soft power kepada masyarakat internasional tentang karakter manusia Indonesia yang santun, ramah, gotong-royong, yang berakar pada budaya tradisi bangsa.
Secara ideologi, menjadikan berkarakter dalam budaya sebagai salah satu pilar strategis dalam Konsepsi Trisakti (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter secara budaya).
Dengan Trisakti, kebudayaan tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sebagai proses nation-building. Tapi juga penting sebagai pilar menuju Indonesia maju dengan sumber daya manusia yang unggul berkarakter kebangsaan, bukan hanya pintar dan piawai dalam teknologi (Eko Sulistyo, 2019).
Radikalisme Suku Dayak
Bagi masyarakat Suku Dayak, langkah kembali kepada karakter dan jatidiri, menjadi sangat penting, untuk mengantisipasi potensi paham radikalisme anti Pancasila di kalangan Suku Dayak.
Ini dalam konteks pengalaman ideologi Pancasila, dengan menghargai keberagamaan dan kebhinekaan. Anti keberagamaan dan anti kebhinekaan, berarti anti Pancasila.
Ada empat potensi radikalisme anti Pancasila di kalangan Suku Dayak. Pertama, apabila Suku Dayak memaksakan diri melihat kebudayaan Suku Dayak dari sumber keyakinan imannya (agama yang dianutnya).
Orang Dayak harus bisa melihat kebudayaan Suku Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat. Karena orang Dayak yang sudah memeluk Agama Katolik sebagai sumber keyakinan imannya, misalnya, tidak semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik berurat-berakar dari Kebudayaan Suku Yahudi.
Sementara status kedayakan orang Dayak, akan melekat di dalam diri orang Dayak sampai akhir hayat. Karena itulah, bagi orang Dayak, agama sebagai sumber keyakinan iman, tapi kebudayaan Dayak yang melahirkan agama asli orang Dayak sebagai filosofi etika berperilaku, sehingga antar keduanya harus dimaknai di dalam konteks yang berbeda.
Kedua, apabila orang Dayak sudah tidak mengakui lagi dirinya sebagai orang Dayak setelah memeluk agama yang lahir dari kebudayaan luar sebagai sumber keyakinan imannya, sehingga berbagi aplikasi kebudayaan Dayak, dimana ada sistem religi di dalamnya dengan mudah dicap praktik menyembah berhala dan lain sebagainya.
Ini sebuah pamahaman kontroduktif dari filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274) dengan teologi adikodrati atau teologi naturalis alamiah, bahwa seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Itu berarti, sejak abad ke-13 orang Dayak sudah diakui, mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.
Ketiga, apabila orang Dayak hanya mampu memiliki kesalehan individu, dengan menganggap diri dan kelompoknya saja paling benar, dan orang lain dianggap sebagai musuh.
Karena hakekat berkebudayaan Dayak, mengharuskan orang Dayak, memiliki kesalehan sosial, yaitu menghargai keberagamaan, serta menunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian universal.
Itu hakekat dari pengamalan ideologi Pancasila, sehingga orang Dayak harus kembali kepada karakter dan jatidirinya (Aju & Yulius Yohanes, 2020). (*)
Aju, Penulis adalah Wartawan dan Sekretariat Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN) di Pontianak.