JAKARTA (Independensi com) – Pengamat politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Yulius Yohanes, dan pegiat media sosial, Erizely Bandaro, menilai, isu kudeta kepengurusan Partai Demokrat karena faktor historis dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Hal itu dikemukakan Yulius Yohanes dan Erizely Bandaro, Rabu, 3 Februari 2021, menanggapi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Senin, 1 Februari 2021, bahwa ada orang lingkaran Istana Kepresidenan Indonesia di balik upaya kudeta terhadap kepemimpinan Partai Demokrat.
Dalam perkembangan, nama Jenderal Purn Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, ada di balik upaya merebut kepemimpinan Partai Demokrat dari AHY, anak kandung Susilo Bambang Yudhoyono, salah satu pendiri Partai Demokrat dan Presiden Indonesia, 20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014.
“Tidak bisa dilihat secara parsial. Orang lain mungkin bisa melihat AHY, Ketua Umum Partai Demokrat, terlalu bawa perasaan atau baper dan cari perhatian atau caper. Harus dilihat dari historis,” ujar Yulius Yohanes.
Faktor historis yaitu posisi Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP dan SBY saat menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamaman. Ketika Presiden Megawati Soekarno mengumumkan operasi militer di dalam penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Rabu, 3 Juli 2002, SBY, mengundurkan diri, Kamis,11 Maret 2002.
Pengumuman pendunduran diri SBY, karena untuk maju sebagai calon Presiden tahun 2004. Saat Pemilu Presiden 2004, SBY menang mudah mengalahkan Megawati Soekarnoputri, setelah memperalat para ulama dari Jawa Timur, bahwa haram hukumnya memilih Presiden Indonesia berjenis kelamin perempuan.
Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Fauzan Al-Anshari menyatakan Presiden wanita haram hukumnya. “Keputusan ini kami ambil berdasarkan Al-quran, sunnah dan pendapat para ulama,” kata Fauzan Al-Anshri, Senin, 7 Juni 2004.
Berkat metode kampanya diskriminatif dan tidak mendidik, ini, membuat SBY dan Jusuf Kalla (JK) mengantongi 69.266.350 suara (60,62%) dan pasangan Megawati Soekarnoputri – KH. Hasyim Muzadi hanya mengantongi 44.990.704 suara (39,38%).
Menurut Yulius Yohanes, Megawati Soekarnoputri memang berupaya merangkul SBY, selama menjadi Presiden Indonesia, 2001 – 2004. SBY ditetapkan sebagai Menteri Koordinator Bidang Polisi dan Keamanan.
Megawati Soekarnoputri, selama menjadi Presiden Indnesia (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004) berupaya mengubur masa lalu, saat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Brigadir Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan penyerbuan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro 58, Jakarta, Sabtu, 27 Juni 1996.
Brigadir Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, memerintahkan penyerbuan Kantor DPP PDI di Jakan Diponegoro 58, Sabtu, 27 Juli 1996, untuk mempososikan kembali Soerjadi (hasil Kongres Medan) sebagai Ketua Umum PDI setelah sebelumnya dikuasai Megawati Soekarnoputri (hasil Kongres Surabaya).
Karena itulah, SBY ditunjuk Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik. Tapi banyak pengamat menilai SBY menikam dari belakang, saat Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan penumpasan secara militer terhadap GAM.
SBY melepas tanggungjawab sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan demi nafsu politiknya memenangi Pemilu Presiden tahun 2004.
Dikatakan Yulius Yohanes, setelah Joko Widodo menjadi Presiden Indonesia (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024), Partai Demokrat, mulai dari SBY, AHY dan elit lainya, tampak gerah terhadap PDIP.
Karena Joko Widodo adalah kader PDIP yang diketahui Megawati Soekarnoputri. Ketika Presiden Joko Widodo, mengeluarkan sejumlah produk hukum dan politik di dalam memberangus kelompok radikal, Partai Demokrat selalu mengeluarkan kritik yang tidak substantif, seperti mempersoalkan influenzzer, dan tidak melihat demi masa depan ideology Pancasila.
Yulius Yohanes, mengatakan, tidak menutup kemungkinan isu kudeta dilontarkan AHY karena berkaca kepada pengalaman ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, Sabtu, 27 Juli 1996.
Erizely Bandaro mengatakan, manuver AHY tidak lebih dari mencoba membeli dukungan para pimpinan dan kader Partai Demokrat dengan harga tinggi sebagai syarat melancarkan upaya lanjutan, yaitu Kongres Luar Biasa (KLB).
“Saya membaca berita tersebut sangat merasakan suasana hati Agus Harimurti Yudhoyono. Betapa tidak? Dia sangat paham bahwa kekuasaan bisa melakukan rekayasa mengambil alih kemimpinan partai. Peristiwa, 27 Juli 1996, Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah,” kata Erizelly Bandaro.
Ketua Umum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi dan beberapa prajurit Tentara Nasional Indonesia menyerbu dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta. Tujuannya menendang Megawati hasil kongres Surabaya.
Dijelaskan Erizely Bandaro, dalam sebuah laporan akhir yang diperoleh Majalah Minggu Tempo, menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kepala Staf Komando Daerah Militer Jaya Brigadir Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono.
Rapat dihadiri juga Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, disebutkan bahwa SBY memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
“Sebegitu besarnya penguasa dan militer ingin mengkudeta PDIP, apakah Megawati tersingkir? Tidak. Mengapa ? Walau pemerintah melegitimasi Partai, namun secara de fakto keberadaan partai itu berkat loyalitas kader dan anggota.”
“Mereka terikat karena idiologi dan nilai kepemimpinan Partai. AHY tidak perlu kawatir dengan prasangka buruk bahwa pemerintah akan kudeta Partai lewat KLB. Ingat dan belajarlah dari kepemimpinan Megawati Soekarnoputri,” ujar Megawati Soekarnoputri.
PDIP berkali menghadapi serangan penguasa agar Megawati tersingkir. Namun Megawati tetap eksis dan tak pernah mengeluh seperti anak baru gede alias ABG yang baper atau bawa perasaan. Megawati tetap fokus konsolidasi ke dalam dan karena itu dia semakin matang, PDIP semakin solid.
“Semua tahu. Partai itu rentan dikudeta oleh kader dan anggota. Terutama bila mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh elite partai. Dalam sistem demokrasi itu sah saja. Karenanya AHY harus bijak,” ujar Erizely Bandaro.
Erizely Bandaro mengingatkan AHY, untuk hadapi persoalan partai itu dengan focus kepada proses konsolidasi internal. Perkuat rasa persaudaran di antara kader.
“Tegakkan keadilan, demokrasi, dalam sistem kepemimpinan Partai. Saya yakin, apapun persoalan yang melanda PD, akan membuat AHY semakin matang sebagai politisi dan Partai Demokrat semakin solid,” ujar Erizeli Bandaro.(aju)