Oleh: Bachtiar Sitanggang
WACANA masa jabatan Presiden Ir. Joko Widodo ditambah setelah periode ke-2 selesai Oktober 2024, menggema mengisi ruang publik belakangan ini, menyusul berita kader PDI-P Ganjar Pranowo, yang Gubernur Jawa Tengah, tidak diundang Bambang Wuryanto (Pacul) Ketua DPD PDI Jateng pada acara Konsolidasi PDI-P Jawa Tengah di Semarang.
Teori Wakil Presiden RI ke-3 Adam Malik: “semua bisa diatur”, mungkin mau dimainkan para politisi dan elite partai politik, sehingga dengan mudahnya melontarkan gagasan walaupun harus melabrak konstitusi. Karena jelas bahwa Jokowi, sesuai UUD 1945, hanya dua periode sebagaimana ditentukan di Pasal Pasal 7 : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. *)
Masa jabatan Presiden adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali, lima tambah lima, dua periode, sepuluh tahun.
Tiga periode itu dimungkinkan kalau ada yang menghendaki dengan syarat ketentuan Pasal 7 di atas harus diamendemen terlebih dahulu oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Anggap saja suara terbanyak dari Anggota MPR 711 orang setuju, namun mereka baru bersidang dan hasilnya baru dapat diterapkan untuk masa jabatan setelah dua periode Jokowi sesuai UUD 1945 Pasal 2 ayat (2) “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.”
Perlu diingat bahwa Presiden Joko Widodo dalam sumpahnya di Pasal 9: (1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaikbaiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya dengan seluruslurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”.
Dengan kata lain, kalau seandainya Jokowi mau “dipaksa rakyat” melalui parpol dan MPR, dengan menggunakan alasan “dipaksa atau dikehendaki rakyat” (gaya Orde Baru), beliau sama dengan mengingkari sumpahnya yang diucapkannya: “Demi Allah…….memegang teguh Undang Undang Dasar….”, di mana dalam Pasal 7 UUD 1945, ditetapkan masa jabatan hanya 5 tahun dan dapat diperpajang satu kali masa jabatan, ternyata mau dipaksa menjadi tiga periode.
Kalau seandainya benar “rakyat” menghendaki Jokowi tiga periode, apakah MPR yang 711 orang itu semua mau? Anggaplah MPR dengan musyawarah untuk mufakat mengamendemen Pasal 7, masa jabatan Presiden itu bisa tiga periode atau lebih, UUD hasil amendemen yang memuat masa jabatan Presiden tiga atau lebih itu tetap tidak bisa berlaku bagi Presiden 2014-2019, 2019-2024. Mengapa? Karena Peraturan Perundang-undangan (termasuk UUD) tidak boleh berlaku surut sebagaimana dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 28 I : (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. **)
Seandainya ada yang berargumentasi bahwa pencalonan Jokowi untuk ketiga kalinya tidak diatur oleh UUD 1945 yang mengatur masa jabatan 2 periode, tetapi diatur oleh UUD setelah amendemen masa jabatan 3 periode, artinya tidak berlaku surut. Memang bisa saja, tetapi dapat ditafsirkan kalau demikian halnya, itu bukan lagi masa jabatan ketiga, malahan sama sebagai tidak pernah menjabat sebagai Presiden atau pencalonan pertama.
Karena masih wacana, tentu polemik pasti akan berkepanjangan, walaupun argumentasi yang pro dan kontra masih simpang-siur dan bahkan sering “emosional”. Kesimpulannya tetap ada di tangan Presiden Joko Widodo, apa mau melabrak UUD 1945 atau tidak, sebab sumpah telah dilafalkan, untuk taat dan berpegang teguh pada UUD 1945.
Wacana yang membisingkan itu perlu diakhiri, lebih baik memusatkan perhatian mengatasi kemelut akibat Covid-19 daripada berwacana menghabiskan enerji.
Ketika Harian Umum Sinar Harapan dibatalkan Surat Izin Usaha Penerbitannya oleh Departemen Penerangan RI, Pdt. Dr. Sutarno STh, mantan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan kemudian Pemimpin Redaksi Harian Umum Suara Pembaruan pernah berkata, “kalau seseorang itu duduk dalam suatu posisi lebih dari sepuluh tahun, dia tidak bisa lagi membedakan mana urusan pribadi dan urusan umum”.
Masa sepuluh tahun berbakti itu sudah cukup dan maksimal, sebab regenerasi juga perlu.
Bung Karno bilang, “jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Jas merah) perlu direnungkan elite politik bagaimana masyarakat dan bangsa Indonesia selama Presiden Seumur Hidup yang disematkan ke Ir. Soekarno. Demikian juga selama Orde Baru yang katanya mengoreksi secara total Orde Lama ternyata malah lebih lama, dengan dalih “Bapak Pembangunan” dan “dirindukan rakyat” dengan segala ramuannya, keduanya meninggalkan luka yang mendalam bagi generasi penerus. Apa kita masih belum “kapok?”.
Namanya politik, “semua bisa diatur” dan ada yang bilang perpolitikan hampir sama dengan dunia intelijen, “melirik ke kiri, tapi tujuannya ke kanan”. Oleh karena itu kita menunggu saja bagaimana simpul dari wacana tersebut.
Apakah Presiden Joko Widodo bisa Presiden tiga periode? Masih lama 2024. Mari bersabar. (*)
Penulis, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Jakarta