JAKARTA (Independensi.com) – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian diminta untuk tetap melantik pasangan Erdi Darbi dan John W Willi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua.
Menurut Suhardi Somomoeljono selaku kuasa hukum Erdi Darbi bahwa kliennya bersama pasangannya tetap harus dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Yalimo terpilih karena telah menang di Pilkada tahun 2020 berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 117/PL.01.8-Kpt/9122/KPU-Kab/V/2021.
“Berdasarkan keputusan KPU Kabupaten Yalimo tersebut, klien kami dan pasangannya meraih suara tertinggi dengan mengalahkan pasangan calon lainnya,” kata Suhardi kepada Independensi.com, Selasa (3/8).
Oleh karena itu dalam suratnya kepada Mendagri pada 27 Juli 2021, Suhardi meminta Mendagri untuk mengesampingkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No: 145/PHP.BUP-XIX/2021 yang mendiskualifikasi kliennya dan pasangannya sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Yalimo serta menyatakan batal keputusan KPU tentang penetapan rekapitulasi hasil perhitungan suara.
Masalahnya, tutur dia, yang dijadikan rujukan MK melakukan diskualifikasi adalah putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 500/Pid.Sus/2020/PN. Jap.tanggal 18 Maret 2021 yang menghukum kliennya empat bulan penjara dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korbannya meninggal.
Padahal, tegas Suhardi, dalam hukum pidana terdapat perbedaan antara perbuatan pidana yang terjadi berdasarkan pelanggaran dengan kejahatan.
Dia menyebutkan terkait pelanggaran lalin seperti dialami klien sama sekali tidak memiliki unsur motif dan unsur niat untuk dengan sengaja menghilangkan nyawa sesorang atau korban.
“Berbeda dengan bentuk perbuatan kejahatan yang selalu memiliki motif tertentu dan memiliki unsur kesengajaan,” kata mantan Ketua Umum DPP HAPI ini.
Dia menyebutkan juga kebiasaan di masyarakat Indonesia jika pelaku dan korban sudah saling memaafkan serta ada kompromi secara kekeluargaan, maka tidak secara mutlak harus berakhir dengan hukuman kurungan dalam bentuk putusan pidana.
“Seperti klien kami yang telah menyelesaikan secara damai dengan keluarga korban dan telah melaksanakan hukumannya berupa pidana kurungan empat bulan,” ungkap Suhardi
Selain itu, kata dia, didiskualifikasikan paslon jika merujuk pasal 90 ayat (1) huruf b Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 Tahun 2020 adalah jika paslon melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebelum hari pemungutan suara.
Preseden Buruk
Oleh karena itu, tegasnya, putusan Pengadilan Negeri Jayapura yang menghukum kliennya empat bulan penjara karena melakukan pelanggaran lalin sama sekali tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan kliennya sebagai calon Bupati Yalimo terpilih pada tahun 2020.
“Jika pun pencalonan klien kami sebagai calon Bupati Yalimo tetap didiskualifikasi berdasarkan putusan MK, maka bisa menjadi preseden buruk untuk pemilu di masa depan,” tuturnya.
Suhardi pun mengilustrasikan jika di kemudian hari terdapat calon Presiden Republik Indonesia terpilih yang melakukan pelanggaran lalu lintas dan didiskualifikasi.
“Tentu Putusan MK Nomor 145 tersebut akan menjadi preseden yang tidak efisien karena dapat membebani anggaran negara dengan nilai yang sangat besar untuk melakukan pemilihan suara ulang,” katanya.(muj)