JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung ternyata sudah meningkatkan penanganan kasus dugaan korupsi dalam pembelian LNG dari Mozambik oleh PT Pertamina dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.
Namun untuk penanganan selanjutnya kasus yang diduga merugikan keuangan negara tersebut, Kejaksaan Agung menyerahkan dan mempercayakannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Pertimbangannya agar tidak tumpang tindih. Karena KPK juga telah melakukan penyidikan terhadap kasus yang sama,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Senin (4/10) malam.
Leo demikian biasa disapa menyebutkan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Supardi sebelumnya telah memerintahkan penyelidikan kasus tersebut sejak 22 Maret 2021.
“Kasusnya terkait adanya dugaan indikasi Fraud dan penyalahgunaan kewenangan dalam Kebijakan Pengelolaan LNG Portofolio di PT Pertamina,” tuturnya seraya menyebutkan dari hasil penyelidikan disimpulkan untuk selanjutnya kasus tersebut dinaikan ke tahap penyidikan.
Namun, tutur Leo, berdasarkan koordinasi dengan KPK ternyata penyidik KPK juga telah melakukan penyidikan kasus yang sama. “Sehingga Kejagung mempersilahkan dan tidak keberatan KPK menindaklanjuti penyidikan kasus tersebut,” ucap Leo.
Sebelumnya Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejagung untuk meningkatkan penanganan kasus dugaan korupsi terkait pembelian LNG dari Mozambik oleh PT Pertamina dari penyelidikan menjadi penyidikan.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman beralasan dari informasi yang diterimanya, pihak Kejagung telah menyelidiki kasus tersebut setelah melakukan pengumpulan bahan dan keterangan atau pulbaket.
“Karena itu MAKI mendesak Kejagung untuk segera meningkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan tersangkanya jika telah terpenuhi unsur dugaan korupsi dan minimal dua alat bukti,” tuturnya.
Kasus tersebut sebagaimana pemberitaan media massa pada tahun 2013/2014 berawal ketika Pertamina telah melakukan Kontrak pembelian LNG dari Mozambik yang rencananya untuk kebutuhan dalam negeri.
Negosiasi kontrak diawali pada tahun 2013, di mana Pertamina dan Mozambique LNG1 Company Pte Ltd mulai melakukan pembicaraan terkait potensi suplai LNG. Kemudian, pada 8 Agustus 2014, kedua belah pihak menandatangani Head of Agreement( (HoA) dengan volume 1 MTPA selama 20 tahun dengan harga DES 13,5 persen JCC.
Dalam perjalanannya hingga tahun 2019 kontrak pembelian LNG diduga merugikan Pertamina sekitar Rp2 trilun. “Karena harga pembelian lebih tinggi daripada harga penjualan alias tekor,” ujarnya.
Selain itu Pertamina diduga melakukan kesalahan dengan melakukan kontrak panjang selama 20 tahun dengan harga flat. “Sehingga ketika harga pasar turun namun pihak Pertamina tetap harus membeli dengan harga tinggi,” ucapnya.
Dugaan kesalahan lain dari Pertamia yaitu melakukan analisa kebutuhan dalam negeri seakan-akan akan membutuhkan LNG dalam jumlah besar. “Tapi ternyata persediaan dalam negeri mencukupi dan bahkan berlebih,” ujarnya.
Sehingga, tutur Boyamin, LNG dari Mozambik akhirnya dijual lagi di pasar internasional melalui anak perusahaan Pertamina (PT XYZ) dengan harga murah yang kemudian menimbulkan kerugian Pertamina.
“Meskipun merugi perdagangan LNG dari Mozambik namun Direksi PT XYZ diduga menerima pembayaran bonus produksi sekitar Rp. 200 Milyar. Sehingga atas pencairan bonus tersebut patut diduga telah merugikan Pertamina sebagai induk perusahaan,” ungkapnya.(muj)