Jakarta (Independensi.com)- Suharso Monoarfa terus bekerja keras dalam mengangkat dan menjaga eksistensi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kancah perpolitikan Tanah Air. Apalagi, pesta demokrasi pada 2024, juga semakin dekat.
Sayangnya, upaya nyata tersebut justru mendapatkan serangan tidak bertanggungjawab. Bahkan, gencar menyerang secara pribadi Monoarfa, sebagai bentuk propaganda untuk mengganggu upaya penegakan program kerja partai berlambang Ka’bah tersebut. Padahal seharusnya,
kinerja luar biasa dalam membuat terobosan, patut diapresiasi tinggi dan bukan menambah tantangan menjadi kompleks.
Serangan-serangan itu diduga untuk mendelegitimasi upaya Suharso yang gencar menginjak gas dalam demi kebangkitan PPP di masa mendatang.
“Petinggi partai memang kerap mendapatkan ujian seperti ini. Tentu tidak lepas dari urusan di internal atau eksternal partai yang harus segera diberesi. Apa yang menjadi tuduhan, harus dibuktikan, diuji kebenarannya atau tidak. Ini sangat penting agar publik mengetahui kebenarannya dan tidak termakan opini buruk atau hoax dari si pembuat informasi itu,” kata pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, Jumat (22/7/2022).
“Ini menjadi tantangan tersendiri bukan hanya bagi Suharso tapi semua kader dan pengurus dalam menjadi soliditas partai, dalam menyelesaikan serangan-serangan ini. Sejauh ini sudah dibuktikan, dibuka dan diklarifikasi, itu menjadi langkah yang sangat sangat bagus. Di sisi lain, Suharso juga tetap harus bisa menjaga stabilitas di segala lini. Sebelumnya sudah diklarifikasi dan membuat tuduhan tidak benar, maka akan berdampak menaikan derajat Suharso,” sambungnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP Syarifah Amelia mengungkapkan bahwa ada oknum yang sengaja melakukan fitnah terkait kejanggalan kenaikan harta kekayaan Suharso Monoarfa.
“Bahwa ketua umum kami (Suharso Monoarfa) jelas tanpa adanya catatan dari KPK, tetapi dengan fakta bahwa hal ini telah berulang kali diangkat ke media. Tentu dapat dipastikan motif di balik fitnahan ini tidak lain sebagai whistle blowing untuk merusak kondusifitas dan soliditas PPP yang saat ini terus melakukan konsolidasi menyongsong jalan kemenangan 2024,” ungkap Amel sapaan akrabnya.
Amel menjelaskan pada 2018, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Suharso memuat laporan harta dari tahun-tahun sebelumnya termasuk harta dari pasangan senilai sekitar 14,5M. Namun, karena harta tersebut bukan atas nama Suharso, melainkan berkaitan dengan pernikahan pertamanya.
“Kemudian dikarenakan pada saat itu Beliau telah berpisah dengan Isteri pertama, sehingga dicatat sebagai penghapusan lainnya. Oleh karenanya, yang dianggap murni harta Ketum Suharso hanya berupa saldo tabungan atas nama Suharso Monoarfa senilai Rp84 juta,” jelas Amel.
Selanjutnya Amel menjelaskan terdapat harta atas nama isteri kedua Suharso namun dikarenakan adanya perjanjian pisah harta, maka harta tersebut pun dinyatakan tidak perlu dicatatkan pada LHKPN Suharso.
“Sedang pendapatan tahunan Ketum Suharso dari gaji senilai hampir 1M sebanding dengan pengeluaran rutin bulanan, tahunan beliau,” tegasnya.
Kemudian, kata Amel, pada tahun 2019 KPK merubah aturan mengenai Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Pejabat Negara. Jika pada aturan 2016 mengakui perjanjian pisah harta, kemudian dirubah menjadi tidak mengakui perjanjian pisah harta pasangan/isteri pada aturan yang terbaru.
“Hal ini menyebabkan harta kas/setara kas isteri Ketum yang pada saat itu juga menjabat sebagai Anggota DPR RI senilai sekitar Rp84 miliar di mana yang paling signifikan misalnya aset tanah dan bangunan sekolahan di daerah Kebayoran Lama senilai Rp60 miliar serta beberapa unit apartment ini juga diakui sebagai harta Ketum. Kemudian jumlah ini dikurangi hutang konsumtif seperti cicilan dan lainnya senilai Rp24 miliar, menjadikan harta Ketum Suharso yang diakui menjadi senilai sekitar Rp61 miliar,” paparnya.
Pada pelaporan tahun-tahun selanjutnya, masih dirinci Amel, LHKPN Ketum naik wajar menjadi sekitar Rp69 M di 2020 serta Rp73 M pada 2021. Perubahan ini utamanya dikarenakan kenaikan NJOP.
“Perlu ditekankan, semua harta tak bergerak diperoleh dari tahun 1990-2016, tidak ada penambahan aset tak bergerak setelah itu. Harta bergerak Ketum Suharso berubah semata karena menjual yang lama, sedang yang baru dibeli sebagian besar dengan cara mencicil. LHKPN Ketum dipastikan secara substantial tidak ada kejanggalan,” pungkasnya.
Dikatakannya, LHKPN Suharso Monoarafa yang dilaporkan secara berkala ini sebetulnya tentu telah melalui proses pemeriksaan yang seksama termasuk oleh KPK, yang mana dikarenakan Suharso merupakan Pejabat Negara selama beberapa periode (Anggota DPR RI 2004-2009, Menpera 2009-2011, Wantimpres 2015-2019, hingga saat ini Menteri Bappenas 2019-selesai).