- Oleh: Bachtiar Sitanggang SH
JAKARTA – SETAHU saya, setelah kepergian Dr. Albert Hasibuan SH dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH menghadap Sang Khalik, tinggal beberapa orang lagi Advokat Senior di Jakarta, yaitu Denny Kailimang SH, Prof. Dr. Frans Hendra Winarta SH MH. Agus Takarbobir SH dan Rudy Lontoh SH serta Prof. Dr. OC Kaligis SH MH.
Mereka ini saya kenal sejak tahun akhir 1970-an sebagai advokat yang tangguh mengikuti jejak yang lebih senior dari mereka seperti Lukman Widyadinata SH. Suardi Tasrif, Datuk Singomangkuto, Amartiwi Saleh, Dr. Yap Thian Hien SH, Sukardjo Adidjojo SH, Talas Sianturi, dan lapis berikutnya Harjono Tjitrosubono SH, Abu Bakar SH dan Nani Razak SH, Adnan Buyung Nasution, RO Tambunan, Maruli Simorangkir SH dan lain-lain.
Berhubungan dengan para advokat tahun 1980-an ini, kita sebagai wartawan harus memiliki pengetahuan hukum atau paling tidak harus menguasai “kasus” bila bertanya, sebab para advokat “gaek” jaman dulu ini selalu bicara fakta dan data serta pasal-pasal.
Di mata masyarakat, advokat saat itu memiliki integritas pribadi, dekat dengan masalah kemasyarakatan serta negarawan.
Oleh karenanya, para advokat itu walaupun kritis kepada pemerintah atau pejabat tidak asal bunyi, tetapi tetap untuk kepentingan hukum masyarakat dan negara.
Walaupun ada perbedaan pandangan dan pendapat dengan pihak lain, tidak mengganggu hubungan pribadi dan institusi, bahkan selalu mencari titik temu untuk kebaikan apa yang diperjuangkan.
Suatu saat saya bertanya tentang satu hal ke Dr. Yap Thiam Hien, dia jawab; “kalau mau tahu hadir di sidang, bila ada yang kurang jelas baru tanya”. Itulah salah satu beda Advokat era milenial ini dengan era 80-an”.
Sekarang sudah ada advokat yang mengomentari perkara yang bukan tanggungjawabnya dan sudah ada wartawan yang memuat keterangan seseorang yang tidak berkompeten secara hukum.
Kelihatannya, kalau Advokat atau Pengacara jaman itu bukan memperjuangkan memenangkan perkara melainkan memperjuangkan tegaknya hukum dan keadilan.
Tidak seperti era berikutnya, menghalalkan segala cara termasuk memutar balikkan fakta untuk memenangkan klien.
Maka terkenal ungkapan Dr. Yap Thian Hien, “kalau anda mau menang jangan jangan datang je saya, tetapi kalau anda mencari keadilan cari saya”.
Kalau advokat tahun 1980-an dalam setiap gerak-langkah dan ucapannya, kelihatannya mencerminkan sebagai pengemban profesi terhormat (officium nobile) tidak seperti era sekarang, hampir lebih sering advokat mendapat celaan dan cemohan daripada pujian dan cercaan.
Memang era itu sepertinya belum ada “makelar kasus”, “mafia peradilan”, “pengacara hitam” dan lain-lain. Hidup mereka juga kelihatannya masih sesuai era-nya tertib dan tidak jor-joran apalagi hedonis.
Albert Hasibuan termasuk Angkatan Adnan Buyung Nasution, generasi yang dibesarkan sebelum Orde Baru dan ikut memperjuangkannya.
Maka Albert Hasibuan lah Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dengan Ketuanya Adnan Buyung Nasution era Letjen TNI (AL) Ali Sadikin Gubernur DKI.
Albert Kelahiran Bandung dan besar di Jakarta dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia ini sejak di bangku kuliah sudah jadi aktifis yang diawali dari Ketua Senat fakultas kemudian Ketua Dewan Mahasiswa UKI, dilanjukan dengan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD), kemudian bergabung ke Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) setelah G-30-S/PKI dan menjadi Komandan Laskar Arief Rachman Hakim Wilayah Menteng dengan Batalyon Achmad Yani (Yon-Yani).
Dan di situlah dia sama-sama sebagai aktivis dengan Louise Walewangko, mahasiswa Sastra Inggris yang mengurusi logistik saat pergerakan setelah peristiwa G-30-S/PKI tersebut, yang kemudian menjadi pasangan hidupnya.
Achmad Yani adalah Letjen TNI (anumerta) Kepala Staf TNI-AD (KSAD) korban pembunuhan G-30-S/PKI di Lobang Buaya Jakarta Timur bersama 5 perwira tinggi TNI-AD bersama seorang perwira pertama.
Setamat SMA PSKD (Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta) sebelum masuk FH UKI Jakarta, Albert memang ikut pertukaran pelajar ke Amerika Serikat atas penunjukan Tunggul P. Siagian sebagai Ketua YMCA (Young Men’s Christian Association) selama setahun.
Setelah menjadi Sarjana Hukum Albert pada tahun 1970 mendirikan kantor Advokat bersama sahabatnya Iskandar Yusuf SH, Kadir Yusuf seorang analis, pencinta dan tokoh sepak bola nasional PSSI. Kantor mereka ketika itu dipinjamkan lengkap dengan perlengkapan untuk berpraktek sebagai advokat/pengacara muda.
Sebagai Sekretaris LBH Jakarta, dia sudah ikut mendampingi senior-seniornya tokoh Advokat dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) membela tokoh-tokoh PKI Rewang dan Oei Tjoei Tat.
Dan nama Albert sempat menghiasi media, saat dia membela anak Letjen Ali Murtopo yang terkenal dengan “penembakan SMA di Jalan Batu”, Jakarta Pusat.
Sebagai kelanjutan dari pengalamannya berorganisasi dan berpolitik itu mungkin membuat dia tertarik ke bidang politik dan kenegaraan secara formal, kebetulan teman-temannya anggota/pengurus KAMI sudah ada yang masuk di DPR Senayan.
Diapun menyalurkan aspirasi tertarik dan masuk organisasi sosial Golongan Karya (Golkar- belum Partai seperti sekarang).
Tahun 1972 Albert menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) waktu itu mewakili cendekiawan (belum seperti sekarang semua anggota MPR harus anggota DPR RI dan DPD RI-hasil Pemilu).
Kemudian menjadi anggota DPR dari Fraksi Golkar dan selalu di Komisi III, sekaligus Ketua Bidang Cendekiawan di DPP Golkar.
Selama menjadi anggota DPR yang membidangi hukum itulah Albert menjadi sumber berita media yang waktu itu sangat terbatas jumlahnya membuatnya dekat dengan kuli tinta.
Kebetulan Albert adalah pribadi yang kalam dan tidak meledak-ledak mengomentari suatu permasalahan dan atau kasus.
Kritiknya sering pedas tetapi memberikan jalan keluar (solusi), artinya integritas pribadi dan keberpihakannya kepada masyarakat tidak menghilangkan jiwa kenegarawanannya.
Walaupun dia Golkar sebagai pendukung Pemerintah (bersama ABRI dan Birokrasi (ABG) dia mengeritik pemerintah bahkan Golkar sendiri, tidak seperti anggota DPR “jaman now” sering mempertontonkan “ketidak tahuannya”.
Memang Albert sungguh berbeda dari politisi atau anggota Golkar yang lain. Saya “rasanya” tidak pernah lihat Albert pakai baju atau jaket kuning (Golkar) mungkin saya lebih sering memakainya karena sering ikut kampanye ketika ketua Umum Mensesneg Sudarmono dan Menteri Penerangan Harmoko di mana saya ikut meliput ke daerah-daerah.
Selain tidak pernah atau jarang menggunakan jaket Golkar, Albert juga seingat saya tidak pernah ikut kampanye rame-rame di lapangan terbuka. Tetapi dengan kapasitas dia sebagai Advokat dan anggota Komisi III dia turun ke daerah menyelidiki langsung kasus-kasus yang ada di masyarakat, baik ke masyarakat, pejabat hukum maupun pemerintah termasuk ke lembaga-lembaga pemasyarakatan.
Saya ingat diajak ke Padang, dari Padang naik mobil ke Padang Sidempuan, menemui para pejabat di sana kemudian ke Tarutung lalu di Binjei Sumatra Utara. Lupa saya tahun berapa, waktu itu LP masih dengan kawat duri yang mengelilingi, dalam hati kok baik bangat para narapidana tidak ada yang kabur.
Ternyata kurang lebih, para warga binaan itu sadar atas kesalahannya artinya walaupun dihukum hukuman itu karena perbuatannya.
Mungkin era itu tidak ada pengaruh di luar hukum dengan istilah sekarang rekayasa, penzoliman dan sebagainya. Pada hal waktu itu belum semua terdakwa didampingi pengacara seperti sekarang.
Saya juga pernah meliput kunjungan kerja Albert ke Palangkaraya (Kalimantan Tengah) tentang kasus pembunuhan yang sempat heboh, begitu juga ke Ketapang Kalbar, kasus terkenal Lingah-Pacah, ke Cirebon dan kuningan Jawa Barat.
Juga pernah ke LP di Lampung, di kaget menemui beberapa orang ibu-ibu polos dan lugu yang berasal dari Sumatera Utara di LP itu.
Setelah berdialog dengan para napi ibu-ibu itu ternyata kebanyakan dari mereka adalah yang mau mengunjungi anak-cucu atau kerabatnya di Jakarta dengan naik bis.
Dengan polosnya mereka menerima titipan dari kenalan atau tetangga untuk disampaikan oleh-oleh ke saudaranya di Jakarta atau tempat lainnya, yang ternyata isinya “rumput iblis” (ramba ni sibolis-ganja).
Dalam razia di Lampung, tertangkap dan mau tidak mau harus dipertanggung jawabkan.
Perkenalan saya dengan Abert adalah ketika dia “mengurus” kasus Sengkon-Karta di Mahkamah Agung.
Albert sebagai anggota Komisi III DPR waktu itu mau menemui Ketua MA Prof. Oemar Senoadjie di Lapangan Banteng.
Tidak ada wartawan yang siap untuk meliputnya. Saya sebagai Sekretaris Redaksi yang selalu siap di kantor, diminta meliput, sebelum Akbert dan Prof Senoadjie tiba saya sudah menunggu.
Pertemuan sebentar itu saya potret dan isi pembicaraan saya dengar dan catat langsung. Setelah itu, saya kantor mengolahnya jadi berita dan foto (hitam-putih) dicetak.
Ternyata berita utama (head line) yang sudah direncanakan dari hasil liputan rekan Sarwoto dari DPR (kalau tidak salah mengenai partai) diminta oleh Kopkamtib (?-Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) untuk tidak disiarkan (dimuat koran).
Secara tak terduga, kunjungan Albert ke Ketua MA itu menjadi berita utama harian umum Sinar Harapan otomatis membuat heboh, yang akhirnya dijuluki sebagai “peradilan sesat” sekaligus sebagai bahan penting dalam penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sekarang sempat juga disebut sebagai “Karya Agung” bangsa Indonesia.
Albert sebagai anggota Komisi III mendapat informasi dari wartawan harian Kompas Oemar Samsuri (Os) bahwa ada dua orang yang tidak bersalah menjalani hukuman di LP Cipinang, dan itulah yang diklarifikasi Aber ke Ketua MA.
Tindak lanjut pembicaraan Albert dengan Ketua MA tersebut, iapun menjenguk Sengkon dan Karta ke LP Cipinang dan saya juga yang meliput.
Atas kunjungan itu Ketua MA, Menteri Kehakiman Mudjono SH dan Ali Said SH membuat suatu kesimpulan sesuai dengan fakta yang ada bahwa Sengkon Karta perlu keluar dari LP, dibebaskan sementara.
Kemudian untuk membebaskan Sengkon-Karta secara hukum, MA memberlakukan kembali Herziening (peninjauan Kembali-PK) dan atas dasar itulah keduanya bebas karena tidak bersalah membunuh Sulaeman dan isterinya Siti Haya sebagaimana pengakuan pelaku yang sebenarnya Gunel.
Sejak penanganan kasus Sengkon-Karta inilah seolah ada “hubungn batin” di antara kami.
Suatu saat Agustus 1985 dia ajak saya ke Dilli, Timor Timur, waktu itu masih “daerah tertutup” bagi pers.
Albert memberitahukan kepada saya apa alasannya mengajak saya.
Setibanya di bandara Ngurah Rai, Albert sibuk ke sana kemari bolak-balik, maklum daerah tertutup masih, berselang beberapa lama saya yang sudah bosan menunggu diajak melewati tangga dengan ruangan sempit ke atas baru ke ruang tunggu.
Sesampainya di bandara Dili kami dijemput, menuju hotel dan seolah penjemput tersebut “diperhatikan” para petugas, artinya yang dijemput itu tamu khusus, dan hampir selama lima hari di sana perasaan itu ada.
Acaranya padat, ke rumah tahanan, ketemu Gubernur Timtim Mario Viegas Carrascalao, menemui Panglima Komando Operasi (Pangkoops), Danrem dan berbagai pihak.
Mengunjungi tempat-tempat yang dianggap rawan seperti Lospalos dengan menggunakan helikopter sekaligus drop personil dan logistik ke pegunungan di tengah pulau, menemui Bupati Manatuto.
Mengunjungi Pulau Kambing tempat penampungan (pengungsi) pulau di lepas pantai kota Dili.
Dalam pembicaraan Albert dan Carrascalao mungkin lebih jam, saya merasa ada kehebatan sang gubernur. Mengapa? Karena apa yang dikemukakan itu hampir bertolak belakang dengan apa yang dilakukan sebagai pemimpin rakayatnya. Memang akhirnya Timor Timur menjadi Timor Leste, lepasi RI.
Di tahun 1986 Harian Umum Sinar Harapan dilarang terbit oleh Pemerintah Orde Baru, kemudian diganti dengan Suara Pembaruan dengan misi yang sama namun Pengelola dan manajemen berbeda.
Albert Hasibuan menjadi Pemimpin Umum dan Setyadi Triman sebagai Pemred walau dalam praktek dilakukan oleh Dr. Sutarno, mantan Rektor Universitas Satya Wacana Salatiga.
Saya tetap bertugas di Istana meliput kegiatan Kepresidenan sekaligus Redaktur Pelaksana bidang Politik Hukum dan Keamanan serta ditugaskan juga meliput kegiatan Ketua Umum DPP Golkar.
Hubungan saya dengan Albert menjadi formal, antara atasan dan bawahan serta majikan dengan karyawan.
Kelihatannya dia juga memaklumi itu, hubungan batin kami tetap dan saya tidak mau merepotkan dia untuk hal yang remeh temeh.
Ketika Albert menjadi anggota Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) ada peristiwa penyanderaan 24 orang peneliti Belanda, Inggris, Jerman dan Indonesia yang tergabung dalam Tim Lorentz 1995 dan World Wildlife Fund (WWF) yang sedang mengadakan penelitian di Mapnduma.
Dua anggota Komnas HAM Albert Hasibuan dan Asmara Nababan meninjau ke sana, dan saya diajak.
Dari Sentani Jayapura ke Wamena naik pesawat komersial, dari Wamena ke Mapnduma naik helikopter muat 4 orang.
Saya disamping pilot, di belakang Albert dan Asmara, karena Mapnduma di balik gunung yang tinggi, heli harus menaiki dengan mengambil dari jauh.
Dapat dibayangkan bagaimana muka kami bertiga pucat-pasi tanpa ada diskusi apalagi suara heli yang mengglegar.
Albert harus diakui orang yang serius, seolah bicara seperlunya, fokus. Sehingga selama puluhan tahun tokoh yang satu ini sungguh mempraktekkan dirinya sebagai orang Batak, seorang ayah dan suami.
Tidak pernah saya dengar dari dia merendahkan orang lain apalagi membicarakan wanita. Dia sebagai advokat selalu membicarakan masalah hukum dan keadilan apa adanya, dan tidak terdengar atau “nyeletuk” siapa yang salah dan benar, tetapi tetap analitis bagaimana hukumnya.
Sering saya tidak enak kalau dia ajak saya setelah dia jadi Pemimpin Umum Suara Pembaruan, sebagai atasan dan bos.
Hubungan batin kami tetap bicara, bagaimana perasaannya sebagai Pemimpin Umum yang idealis dan pejuang HAM harus berhadapan dengan para pebisnis sering dikemukakan ke saya.
Sehingga ketika saya mohon diri untuk keluar dari Suara Pembaruan, dia tidak berkomentar. Tetapi dia tanya, bagaimana nanti pekerjaanmu? Saya jawab saya akan buka kantor Advokat.
Bagaimana dengan rumah dan mobilmu? Karena rumah dan kendaraan memang adalah kredit yang dijamin kantor dengan cicilan dari gaji, saya jawab sudah lunas.
Kami berbicara di bandara Ambon, stop over di Hasanuddin Makassar, sampai ke Soekarno Hatta, tidak membahas lagi soal pengunduran diri itu.
Albert harus diakui orang yang serius, seolah bicara seperlunya, fokus. Sehingga selama puluhan tahun tokoh yang satu ini sungguh mempraktekkan dirinya sebagai orang Batak, seorang ayah dan suami. Tidak pernah saya dengar dari dia merendahkan orang lain apalagi membicarakan wanita.
Dia sebagai advokat selalu membicarakan masalah hukum dan keadilan apa adanya, dan tidak terdengar atau “nyeletuk” siapa yang salah dan benar, tetapi tetap analitis bagaimana hukumnya.
Sering saya tidak enak kalau dia ajak saya setelah dia jadi Pemimpin Umum Suara Pembaruan, sebagai atasan dan bos. Hubungan batin kami tetap bicara, bagaimana perasaannya sebagai Pemimpin Umum yang idealis dan pejuang HAM harus berhadapan dengan para pebisnis sering dikemukakan ke saya.
Albert sebagai Pemimpin Umum Suara Pembaruan, anggota Komisi III DPR juga sebagai Kuasa Hukum PT Pertamina (Pemerintah Indonesia) menuntut hasil komisi pembangunan PT Krkatau Steel (Cilegon) yang ada di rekening almarhum Haji A Thaher dengan Ny. Kartika Thaher, di Pengadilan Singapura.
Untuk meliput sidangnya ataupun kalau ada urusan atau pertemuan di sana saya sering diminta, kadang dua kali seminggu.
Sering meliput ke Singapura memang seolah wah, tetapi kalau setiap minggu juga jenuh dan bahkan berat bagi saya sebab sering mengkoordinir rekan-rekan pers, tahu sendirilah.
Terbitkan Buku
Ketika saya didorong teman-teman dari Naringgas Manjaha (Yang Rajin Membaca) Ir. Marodjahan Dolok Saribu MSc, Drs. Ronald M. Sihombing, Enderson Tambunan dan Djalan Sihombing SH untuk menerbitkan buku kumpulan tulisan, kami minta kata sambutan Bang Albert.
Setelah membaca draft buku tersebut, dia mengusulkan judulnya: Negara dan Hukum Di Mata Seorang Wartawan –Advokat, dan dia bersedia memberikan “Kesan dan Pandangan”.
Selamat jalan Bang Albert, pejuang yang humanis, nasionalis dan etis. (*)
Bachtiar Sitanggang SH,
Wartawan senior dan advokat berdomisi di Jakarta.