JAKARTA (Independensi.com).- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana akan menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau kebijakan jalan berbayar di sejumlah ruas di kawasan metropolitan.
Tujuannya adalah agar bisa mengurangi kemacetan lalu lintas di ibu kota,
Namun, kebijakan penerapan ERP ini diprotes para pengemudi angkutan online, baik taksi maupun ojek online.
Sekretaris Jenderal perkumpulan Armada Sewa Indonesia (PAS Indonesia), Wiwit Sudarsono, menyampaikan keberatannya atas kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta terkait rencana penerapan jalan berbayar atau ERP.
Penolakan OJOL ini mendapat sorotan pemerhati sosial sekaligus Ketua NU PC Jakpus, Syaifuddin, ME. “Penolakan dan keberatan itu dianggap wajar karena sangat merugikan pengemudi angkutan online,” katanya.
Saat ini angkutan online sudah dirugikan dengan kebijakan ganjil genap, serta belum adanya penyesuaian tarif angkutan online terdampak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak).
“Sekarang akan dibatasi lagi dengan kebijakan jalan berbayar atau ERP,” kata Syaifuddin yang juga pembina paguyuban pengemudi ojol GS-One di Jakarta, Jumat (3/2).
Dengan adanya kebijakan tersebut, lanjut Syaifuddin, otomatis pendapatan para pengemudi angkutan online akan menurun drastis, karena berkurangnya pengguna transportasi online, baik ojek online maupun taksi online, dikarenakan ada beban biaya yang mereka keluarkan.
Bila pengguna tidak mau mengeluarkan biaya tambahan untuk jalan berbayar dan dibebankan kepada pengemudi, tentu hal itu akan mengurangi pendapatan pengemudi.
Untuk itu, Syaifuddin meminta agar kebijakan tersebut dibatalkan oleh Pemprov DKI Jakarta sekaligus memohon agar Pemprov DKI mau mencari cara lain untuk menanggulangi kemacetan di ibu kota.
” Atas dasar empati kepada segenap para pengemudi Angkutan online, baik ojek online dan taksi online , tentubya saya mengharapkan agar Pemprov membatalkan kebijakan yang tidak populer tersebut, dan mencari cara lain untuk menanggulangi kemacetan di DKI,” tandasnya.
Terdapat empat kriteria kawasan yang dapat diterapkan ERP, di antaranya memiliki tingkat kepadatan atau perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 pada jam puncak/sibuk.
Kedua, pada kawasan yang memiliki dua jalur jalan dan setiap jalur memiliki paling sedikit dua lajur.
Ketiga, pada kawasan yang hanya dapat dilalui kendaraan bermotor dengan kecepatan rata-rata kurang dari 30 km/jam pada jam puncak.
Keempat atau terakhir, tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum dalam trayek yang sesuai dengan standar pelayanan minimal dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kecaman terhadap rencana kebijakan ERP juga datang dari pengamat Amir Hamzah yang menilai kebijakan ERP ini hanya melahirkan diskriminasi karena jalan – jalan itu nantinya hanya bisa dilalui mereka yang mampu bayar.
Orang yang tidak mampu bayar tidak bisa melintas di jalan jalan umum itu. Ini betul-betul diskriminasi ekonomi.
Padahal, lanjut Amir, jalan itu untuk publik, untuk umum bukan untuk orang kaya dan bukan pula untuk orang mampu.
Amir menambahkan, masyarakat pemilik kendaraan sudah membayar pajak, membayar kalau mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM). Artinya mereka mempunyai hak untuk melintasi jalan – jalan yang dibangun dengan uang rakyat, pajak.
“Kenapa rakyat harus bayar lagi ketika melintas di jalan – jalan itu’,” tanya Amir. (hpr)
thanks alot of information goodjobs