Denpasar (Independensi.com) – Ada sejumlah aspirasi menarik dari masyarakat yang menjadi catatan penting dari Anggota DPD RI Gede Ngurah Ambara Putra saat Kegiatan di Daerah (Reses) terutama untuk menyerap aspirasi dan menginventarisasi permasalahan yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tugas kewenangannya untuk kemudian akan dibahas dan diagregasikan dalam sidang-sidang di Ibu Kota Negara.
Diantaranya penyerapan aspirasi Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah dibuat terakhirkalinya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terkait Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2024; Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian; Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia; Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara; dan Inventarisasi Materi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.
“Seluruh aspirasi yang didapat akan ditampung dan menjadi bahan kajian pembahasan penting Komite 1 DPD RI,” kata Anggota DPD RI Perwakilan Bali, Gede Ngurah Ambara, SH saat berdiskusi dengan PJ Gubernur Bali yang diwakili Asisten Pemerintahan dan Kesra I Dewa Gede Mahendra Putra, Kepala Dinas Kominfo Gede Pramana dan Kepala Badan Kesbangpol AA Ngurah Wiryanata di Wiswa Sabha Denpasar, Jum’at 9 Agustus 2024.
Sampai sejauh ini semua koordinasi dan pelaksanaan terkait jalannya persiapan pilkada serentak 2024 berjalan dengan lancar, baik KPU dan Bawaslu Bali sebelumya telah menyatakan kesiapannya dalam mengikuti tahapan proses. “Maksud dan tujuan Reses oleh Anggota Komite I DPD RI adalah memperoleh masukan dari para pemangku kepentingan di daerah mengenai isu dan permasalahan terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024,” terang Ambara.
Namun dilain hal terkait Inventarisasi Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ada beberapa catatan penting terutama bagaimana mencarikan solusi terutama berkenaan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang memiliki kelebihan daya tampung penghuni lapas di Bali disumbang oleh tahanan dan narapidana kejahatan narkotika. Padahal sehingga kapasitas hunian Lapas sudah ‘over crowded’.
Secara sosiologis, lonjakan kejahatan narkotika menjadi fakta-fakta tersebut tentu saja memberatkan sistem pemasyarakatan kita. Keberadaan lapas berada dalam tekanan, kualtas hidup tahanan/napi menurun, kesehatan mereka berada dalam ancaman, ruangan penjara menjadi sesak dan minim kebersihan. Bahkan, sampai ada yang tidur sambil duduk atau berganti-gantian antar napi seruangan, sangat jauh dari nilai-nilai humanisme. Selain itu, beban negara untuk memenuhi bahan makanan bagi tahanan/napi juga tidak sedikit.
“Penyalahgunaan narkoba yang sedemikian masif dan terorganisir di Bali bahkan membuat masyarakat apatis, Sebagai wakil perwakilan Daerah (DPD RI) yang bertanggung jawab atas pemantauan penerapan dan menginventarisasi pengawasan pelaksanaan Undang-undang no 35 tahun 2009 Narkotika, saya mengakui urgensi dan kompleksitas masalah narkotika yang merupakan ancaman serius bagi masyarakat. Saya mendengar dengan seksama ketidaksenangan dan kekhawatiran masyarakat terhadap keterbatasan langkah-langkah yang perlu diambil dalam mengatasi peredaran narkoba. Tantangan yang dihadapi memang besar, namun kami sepenuhnya berkomitmen untuk terus mengambil tindakan konkret. Tindakan penegakkan hukum yang tegas terhadap pelaku-pelaku kejahatan narkotika, pembaharuan sistem pemantauan yang lebih efektif, serta upaya preventif dan edukatif kepada masyarakat, khususnya,” terang Ambara.
Terkait dengan pemidanaan terhadap kejahatan narkotika, diperlukan optimalisasi alternatif hukuman selain pidana penjara seperti misalnya penguatan jalur rehabilitasi, restorative justice, kerja sosial (social pardon) ataupun bentuk- bentuk hukuman lainnya. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi over crowded lapas yang terjadi saat ini.
Pihaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan kesinergian antara instansi terkait terutama BNN untuk mencari solusi agar menekan angka penyalahgunaan narkoba di Bali. “Sebab Bali bukan hanya dijadikan transit tapi sudah menjadi target tujuan penjualan dari bandar narkoba, upaya pembentukan Desa Bersinar (Bersih Narkoba) yang baru mencapai 30 Desa dari 750 Desa yang ada di Bali seharusnya dapat segera diperluas cakupannya, peran serta pemda sangat diharapkan khususnya anggaran, begitu usulan anggota DPD atau DPRD dari bali ke pusat baik ke Mendagri, Kemendes dan Menkeu,” kata Ambara.
Dirinya juga mengapresiasi penyusunan Pararem Anti Narkoba di Desa yang merupakan gagasan BNNP Bali yangmemanfaatkan kearifan lokal yang mengatur tentang hukum adat bagi penyalahguna dan pelaku peredaran gelap narkoba di masing-masing desa adat. Diketahui baru ada 139 Desa Adat yang udah memiliki Pararem Anti Narkoba dan secara umum bentuk sanksi yang diberikan kepada krama/warga desa yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika diantaranya: sanksi ngayah atau bersih-bersih di pura, sanksi denda berupa beras dan sanksi harus menjalani rehabilitasi yang diawasi aparat desa Baru 139 dari 1500 desa adat yang ada di Bali.
“Tentu ini menjadi perhatian penting agar semua desa adat membuat perarem tentang Narkotika, jangan lagi sampai ada pabrik narkoba diwilayah desa adat,” kata Ambara.
Namun ironisnya, justru anggaran penanganan pencegahan narkoba untuk BNNP Bali justru turun drastis hampir sekitar 50 persen. “Kasus narkoba meningkat tapi anggaran malah menurun, seharusnya sebaliknya, sebaiknya di BNN ada beberapa lembaga/instansi, seperti pemerintah daerah yang berhubungan langsung dengan gubernur, bupati, walikota dan desa, begitu juga ada unsur TNI karena mereka mempunyai tugas intelijen. Untuk itu pihaknya mendorong Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa untuk memberikan atensi dalam permasalahan ini.
Sebelumnya dalam kunjungan resmi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Wilayah Bali Gede Ngurah Ambara, SH. ke berbagai instansi seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian, dan Pemerintah Daerah Bali dalam rangka reses pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Narkotika, disoroti relevansi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terkait pencegahan dan pemberantasan narkotika. Dalam pertemuan tersebut, ditemukan bahwa koordinasi antar instansi belum optimal, menyebabkan keterlambatan dalam respons dan penanganan kasus narkotika.
Data yang dihimpun menunjukkan bahwa penanganan kasus narkotika terus meningkat, sementara anggaran BNN Bali cenderung menurun, menyoroti perlunya penyesuaian prioritas anggaran. Usulan bermunculan, termasuk pentingnya BNN Bali bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti pemerintah daerah, TNI, dan desa adat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika, bahkan diperlukan suatu landasan hukum kepada pemerintah daerah untuk mendukung langkah BNNP
Juga didalam konteks desa adat, baru 139 dari 1500 desa adat memiliki perarem untuk pencegahan narkotika. Sehingga, diusulkan agar setiap desa memiliki perarem atau aturan terkait masalah narkotika. Terkait program Desa Bersinar, baru 30 desa yang mengikutinya dari 750 desa di Bali. Ada kebutuhan untuk semua desa dinas di Bali untuk berpartisipasi dalam program ini dan alokasi anggaran desa perlu diarahkan ke upaya ini.
Usulan penting yang muncul dalam reses ini adalah untuk merevisi Undang-Undang Narkotika, yang antara lain mencakup Penegasan perlunya koordinasi yang baik antara BNN, Pemda, POLRI, dan TNI dalam pencegahan narkotika, Mendukung alokasi dana desa untuk program Desa Bersinar oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Kementerian Keuangan dan Menekankan penggunaan jerat pidana hanya untuk mereka yang terlibat dalam jaringan narkotika, sementara para korban harus diberikan rehabilitasi, kerja sosial, atau pendekatan restorative justice.
Semua usulan ini disusun untuk mengatasi kekhawatiran dan skeptisisme masyarakat serta memberikan langkah-langkah konkret dalam menghadapi masalah narkotika di Bali dan secara nasional. (hd)