JAKARTA (Independensi.com) – Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali menunjukkan sikap tegas terhadap praktik penangkapan ikan ilegal yang merugikan negara. Kali ini, sorotan utama tertuju pada ulah nelayan Filipina yang diduga menyebar rumpon-rumpon ilegal di wilayah perairan Sulawesi, mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp18 miliar.
Pung Nugroho Saksono yang akrab disapa Ipunk selaku Dirjen PSDKP, menyatakan bahwa praktik illegal fishing masih marak terjadi dan didominasi oleh kapal-kapal asing, terutama dari Filipina, Cina, dan Vietnam. Dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (20/5/2025), Ipunk menegaskan bahwa pemberantasan penangkapan ikan ilegal merupakan bentuk nyata perlindungan kedaulatan negara dan kesejahteraan nelayan lokal.
“Tindakan illegal fishing ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga merusak ekosistem laut dan mengancam kedaulatan bangsa. Karena itu, kami tidak akan memberikan ruang sedikit pun bagi aktivitas semacam ini di perairan Indonesia,” tegasnya.
Menurut Ipunk, sejak awal tahun 2025 hingga pertengahan Mei, PSDKP telah menangkap 32 kapal pelaku illegal fishing, terdiri dari 9 kapal asing dan 23 kapal berbendera Indonesia. Selain itu, sebanyak 21 rumpon ilegal milik nelayan Filipina berhasil diamankan dari perairan Indonesia.
Canggih dan Terorganisir: Modus Baru Penjarahan Laut Indonesia
Tanggal 9 Mei 2025, dua kapal berbendera Filipina ditangkap di perairan Papua atau Samudera Pasifik. Salah satunya merupakan kapal angkut, sementara yang lain kapal penangkap ikan berteknologi tinggi, lengkap dengan radar yang memungkinkan mereka mendeteksi kedatangan aparat dari kejauhan.
Ipunk mengungkapkan, sebelum penangkapan terjadi, para nelayan Filipina telah berhasil memindahkan sekitar 60 ton ikan tuna ke negaranya melalui metode hit and run. Kapal ditukar setelah satu kali operasi, sehingga menyulitkan identifikasi pelaku utama.
“Ini bukan kejadian pertama. Modusnya jelas terorganisir. Begitu satu kapal selesai mengangkut hasil tangkapan, kapal lainnya standby untuk menggantikan. Ini bentuk penjarahan modern atas sumber daya laut kita,” jelasnya.
Rumpon: Alat Sederhana, Dampak Luar Biasa
Salah satu alat utama dalam modus ini adalah rumpon. Alat ini tampak seperti benda mati di permukaan laut, tetapi di bawahnya dilengkapi daun-daunan untuk menarik plankton dan ikan-ikan pelagis seperti tuna dan cakalang. Ketika ikan berkumpul, nelayan asing menggunakan jaring melingkar yang mengurung ikan dan menariknya dari bawah permukaan.
Setiap satu rumpon mampu menghasilkan tangkapan ikan sekitar 5 hingga 10 ton. Dalam operasi terbaru, kerugian akibat 21 rumpon ilegal tersebut diperkirakan mencapai Rp18 miliar.
“Kami sudah tertibkan semuanya di perairan Sulawesi. Pelaku penebar rumpon adalah pihak yang sudah berpengalaman dan menggunakan kapal-kapal baru. Ini jelas bukan aksi nelayan biasa, tapi kegiatan terorganisir yang memanfaatkan celah pengawasan,” ujar Ipunk.
Selain dampak ekonomi, rumpon juga mengganggu ekosistem dan jalur migrasi ikan. Dengan keberadaan alat ini di wilayah perbatasan, ikan-ikan tidak sempat masuk ke perairan dalam Indonesia dan langsung dijebak nelayan asing.
PSDKP Siaga, KKP Tegas Tanpa Kompromi
Ipunk menambahkan bahwa pihaknya bekerja sesuai amanat Menteri Kelautan dan Perikanan yang menekankan pentingnya pengawasan ekstra ketat dan tindakan hukum tanpa kompromi terhadap pelaku illegal fishing.
“Kedaulatan negara adalah harga mati. Setiap pelanggaran akan kami sikat habis. Kami tidak hanya ingin menegakkan hukum, tapi juga melindungi masa depan nelayan kita dan ekosistem laut Indonesia,” tutupnya.
Dengan semakin kompleksnya modus operandi nelayan asing, Ditjen PSDKP berkomitmen memperkuat teknologi pengawasan dan meningkatkan patroli laut secara intensif di wilayah-wilayah rawan, seperti Laut Natuna, Laut Sulawesi, Selat Malaka, Arafura, dan Laut Jawa.