Belum Termasuk Retribusi Daerah, Setoran Pajak Pemakaian Air Permukaan Perusahaan AMDK dan PDAM ke Pemprov Bali Capai Rp 30 – 36 Juta Per Bulan

Loading

Bali (Independensi.com) – Pajak air permukaan menjadi salah satu sumber pendapatan daerah (PAD) bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Hasil penerimaan pajak ini akan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan pembangunan daerah di Bali.

Kabid Pengelolaan Pendapatan Daerah Bapenda Bali, Ida Ayu Putriani mengutarakan kontribusi pajak pemakaian air permukaan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) ke Pemprov Bali mencapai Rp 30 – 36 juta per bulan. Itu belum termasuk kontribusi mereka dari retribusi daerah yang dibayarkan ke Pemprov Bali melalui Dinas PU. “Pajak air pemanfaatan permukaan baik dari PDAM dan AMDK itu besarnya mencapai Rp 30 – 36 juta per bulan,” ujarnya.

Menurutnya, itu belum termasuk kontribusi dari retribusi daerah perusahaan air minum itu ke Pemprov Bali yang disetorkan melalui Dinas PU Pemprov Bali. Awal April lalu, Gubernur Bali, I Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang melarang produsen memproduksi air minum kemasan termasuk AMDK berukuran di bawah satu liter. Itu artinya, Pemprov Bali juga siap kehilangan penerimaan daerahnya dari sektor air minum kemasan ini sebesar ratusan juta rupiah per tahun.

Sebelumnya, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE., MM, ekonom yang juga Dekan Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB) Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Bali menegaskan SE Gubernur Koster ini jelas akan memberikan dampak langsung terhadap struktur ekonomi lokal. Dampak paling besar dirasakan para pelaku industri kecil dan menengah yang selama ini mengandalkan produksi dan distribusi AMDK ukuran kecil sebagai sumber pendapatan utama.

Dia menyebutkan data dari Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan menunjukkan bahwa segmen AMDK ukuran di bawah satu liter menyumbang lebih dari 60% volume penjualan, terutama di sektor ritel, pariwisata, dan transportasi. “Jadi, kebijakan pelarangan untuk memproduksi AMDK ukuran kecil itu jelas akan menyebabkan produsen skala kecil kesulitan bertahan karena harus berinvestasi ulang pada kemasan besar. Sementara, pangsa pasar mereka sebagian besar ada di produk berukuran kecil,” ujar Ida Bagus Raka yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Kadin Bali ini.

Tidak hanya itu, menurutnya, pedagang kecil seperti warung tradisional hingga penjual di objek wisata juga akan terimbas dengan kebijakan Gubernur Koster ini karena kehilangan barang dagangan yang laris dan bernilai ekonomis tinggi.

Lanjutnya, kebijakan ini memang bertujuan untuk mengurangi sampah plastik, namun data menunjukkan bahwa sebenarnya AMDK bukan satu-satunya kontributor utama limbah plastik di Bali. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bali, timbulan sampah plastik di Bali mencapai 13% dari total 4.281 ton sampah per hari. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 18% yang berasal dari kemasan minuman. “Artinya, pelarangan AMDK kecil sebenarnya belum tentu menyelesaikan akar persoalan sampah jika tidak diikuti dengan peningkatan sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi dan teknologi pengolahan yang efisien,” katanya.

Dia mengatakan fokus pada pelarangan produksi semata tanpa memperbaiki sistem pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang sampah justru bisa menimbulkan ketidakseimbangan antara tujuan lingkungan dan realitas ekonomi masyarakat.

Selain itu, menurutnya, SE ini menimbulkan kekhawatiran terhadap daya tarik pariwisata Bali karena air minum dalam kemasan kecil adalah kebutuhan penting wisatawan, terutama di lokasi terbuka, pantai, dan tempat umum yang tidak memiliki akses air isi ulang. “Kesulitan memperoleh air minum praktis dapat menurunkan kenyamanan wisatawan dan berpotensi mempengaruhi keputusan kunjungan ke Bali,” ucapnya.

Jika kebijakan ini tidak dikaji ulang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, menurutnya, bukan tidak mungkin akan terjadi penurunan pendapatan pada ribuan pelaku UMKM, serta gangguan pada rantai pasok ekonomi lokal. “Dampaknya, bisa terjadinya efek domino terhadap pelaku usaha, pedagang kecil, hingga persepsi wisatawan yang bisa melemahkan stabilitas ekonomi daerah,” pungkasnya. (hd)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *