JAKARTA (Independensi.com) – Setelah bertahun-tahun ditelan waktu dan konflik internal, grup band Oasis kembali memekikkan suara keras mereka di tengah sorak-sorai ribuan penggemar. Konser perdana bertajuk “Oasis Live’25” digelar di Cardiff, Wales, menjadi tanda kebangkitan band legendaris asal Inggris ini. Perjalanan konser mereka tidak berhenti di sana. Rangkaian tur akan menyambangi kota-kota besar di Inggris, termasuk Manchester yang juga kota kelahiran Oasis serta duo ikonik Noel dan Liam Gallagher. Sebuah langkah besar untuk mengulang kejayaan sekaligus mengukuhkan kembali posisi mereka di puncak jagat musik dunia.

Band yang lahir di awal dekade 1990-an dan bubar pada 2009 ini menjadi salah satu ikon terbesar dalam sejarah musik Britpop. Oasis bukan sekadar grup musik, mereka simbol sebuah perlawanan terhadap kejenuhan akan musik grunge dari Amerika Serikat yang kala itu mendominasi. Dengan musik berbasis gitar yang sederhana, ritme yang melekat, serta lirik yang membumi, Oasis menyuguhkan nafas baru yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Inggris.
Bukan hanya musik, Oasis juga memperkenalkan gaya hidup dan penampilan yang membentuk wajah generasi 1990-an. Dari jaket parka dan flanel tebal hingga sneakers dan jeans kusut—mereka tampil urakan tapi otentik. Jauh dari dandanan gelap atau nyentrik khas punk, Gallagher bersaudara justru mempopulerkan gaya sederhana yang justru terasa “berkelas”, membuat mereka jadi ikon budaya pop sekaligus mode.
Dalam kancah musik, Oasis tidak sendiri. Mereka berdiri sejajar dengan band-band Inggris legendaris seperti The Rolling Stones, The Stone Roses, Blur, Suede, hingga The Beatles. Tapi, Oasis memiliki sesuatu yang berbeda: bersikap kasar namun lirik lagunya bertutur kata jujur, aura percaya diri yang mencolok, dan kemampuan menyihir stadion hanya dengan petikan gitar dan lirik yang menggugah.
Perjalanan mereka bermula dari sebuah band bernama The Rain yang dibentuk di Manchester oleh Paul Arthurs, Paul McGuigan, dan Tony McCarroll. Masuknya Liam Gallagher sebagai vokalis membawa warna baru. Dan ketika sang kakak, Noel, bergabung tak lama kemudian, perubahan besar terjadi—termasuk pergantian nama menjadi Oasis, terinspirasi dari poster tur band Inspiral Carpets. Dari sanalah sejarah dimulai.
Debut mereka, Definitely Maybe (1994), meledak di pasaran dan menjadi album Britpop paling menjanjikan saat itu. Namun, sukses terbesar mereka datang lewat album (What’s the Story) Morning Glory?” (1995) yang melambungkan lagu-lagu seperti “Wonderwall” dan “Don’t Look Back in Anger” menjadi anthem lintas generasi. Selain itu, masih banyak album dan lagu-lagu terbaik mereka setelahnya. Bahkan, saat duet Gallagher tak lagi bersama.
Di tengah euforia dan tekanan ketenaran, pertikaian antar kakak-beradik pun membara. Dan pada 2009, perpecahan tak terhindarkan—Oasis bubar, meninggalkan catatan delapan album dan delapan single nomor satu di tangga lagu Inggris.
Meski era Britpop meredup setelah akhir 1990-an dan digantikan oleh gelombang post-Britpop seperti Coldplay dan Travis, pengaruh Oasis tidak pernah benar-benar hilang. Musik mereka tetap hidup dalam memori kolektif generasi yang tumbuh bersamanya.
Kini, dengan semangat baru dan panggung yang kembali menyala, Oasis tidak hanya merayakan reuni. Mereka menandai bahwa warisan Britpop, meski sempat meredup, belum selesai. Dan suara mereka, tetap relevan, tetap mengguncang.