SLEMAN (IndependensI.com) – Ancaman Covid-19 memang belum selesai, tetapi ada harapan bahwa pandemi akan segera mereda dengan kabar hadirnya vaksin. Namun sayangnya hoax seputar vaksian Covid-19 juga sekencang ancaman virusnya. Karena itulah, di samping butuhnya vaksinasi untuk menjaga imunitas fisik, penting juga untuk melakukan vaksinasi nalar kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh hoax.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid mengatakan bahwa saat ini memang sulit untuk menghindari banjirnya informasi khususnya dari internet. Maka menurutnya yang harus dilakukan adalah mengelola informasi itu dari dalam diri kita sendiri, tidak bisa dari luar.
“Istilahnya bagus sekali, vaksinasi terhadap banjir informasi, karena dari banjir informasi itu ada informasi yang baik dan ada yang tidak. Nah hoax masuk dalam informasi yang tidak baik, ‘penyakit’, virus informasi. Karena itu harus dilakukan dengan vaksin di dalam tubuh,” ujar Alissa Wahid di Sleman, Selasa (19/01/2021).
Alissa melanjutkan, bahwa masyarakat harus dibiasakan untuk berpikir kritis. Karena menurutnya jika kita tebiasa untuk kritis maka kita tidak asal menerima ketika ada informasi yang masuk. Ia mencontohkan kalau informasi tentang Covid-19 maka sumber yang kredibel adalah dari Pemerintah dan juga dari ahli medis, kalau dari yang lain harus dicek terlebih dahulu.
“Contoh lainnya misalnya tentang terorisme ekstremisme yang lalu ada ajakan untuk melakukan hal-hal yang muatannya adalah kebencian, maka kita perlu melihat lagi ‘dalam agama kita mengajarkan kebencian apa tidak ya? kan tidak.’ Berarti itu informasi yang tidak benar. Itu vaksin yang pertama,” tutur anggota tim ahli Gugus Tugas Nasional Gerakan Revolusi Mental Kemenko PMK ini mencontohkan.
Lalu vaksin yang kedua, menurut Alissa mencari guru agama, terutama kalau terkait dengan agama dan ideologi harus agama yang mumpuni, jangan asal ambil dari internet. Menurutnya, kita harus memastikan bahwa guru agama tersebut adalah orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi dan diakui. Kemudian jika terkait dengan ideologi negara, maka informasi itu kita ukur juga.
“Kita cek apakah ideologi tersebut sesuai dengan Pancasila atau tidak? Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak? Kalau tidak sesuai berarti kita tolak. Itu vaksi yang kedua. Lalu vaksin yang ketiga itu adalah apakah informasi ini selaras dengan apa yang digariskan oleh pemerintah,” jelasnya.
Lebih lanjut, putri sulung dari Presiden RI ke-4 alm KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu menyampaikan bahwa hoax dapat dibagi menjadi 2 kategori. Pertama yang berasal karena orang iseng dan kedua ada orang yang memang secara ideologi sedang memperjuangkan agenda tertentu. Menurutnya, kalau hoax yang iseng itu biasanya dibuat oleh anak-anak untuk seru-seruan mereka.
“Mereka ini belum punya rasa tanggung jawab terhadap hidup bermasyarakat. Hal yang seperti ini yang mengesalkan dan bisa membahayakan. Karena itu anak muda harus kita ingatkan untuk tidak sembarangan membuat bercadaan atau konten yang itu justru menimbulkan keresahan,” ucap Alissa.
Ia mencontohkan, misalnya terkait sekarang dilarang untuk bicara ‘akan ada bom’ sembarangan. Menurutnya kalau membuat hoks seperti itu tentu sangat berbahaya sekali. Jadi iseng, tapi isengnya itu membahayakan. Lalu yang kedua menurutnya karena ideologis, bisa karena agenda politik, agama atau kalau di Amerika ideologi supremasi kulit putih.
“Nah orang-orang ini, kadang diantara mereka sendiri kemudian muncul kelompok-kelompok yang lebih militan. Kemudian kelompok tersebut menghalalkan segala cara termasuk dengan cara melemparkan disinformasi, misinformasi termasuk hoaks itu sendiri,” ujar wanita yang juga Dewan Pengawas Wahid Foundation ini.
Wanita yang saat ini menjadi Sekjen Gerakan Suluh Kebangsaan yang diketuai Menko Polhukam, Prof. Dr. Mahfud MD itu menghimbau agar kelompok yang menyebarkan kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan itu untuk segera ditindak. Menurutnya pemerintah harus berperan untuk menghentikan kelompok-kelompok ini dari menyebarkan hoax.
“Pemerintah perlu untuk bekerjasama dengan kelompok-kelompok strategis dalam masyarakat supaya kelompok strategis ini bisa menjalankan perannya dan bersinergi dengan pemerintah. Misalnya media massa, bagaimana agar mereka ini juga ikut menjaga agar hoaks tidak semakin menyebar,” ungkapnya.
Lalu yang kedua peran pemerintah untuk memfasilitasi kelompok-kelompok agama supaya mereka bisa melakukan penyuluhan pendidikan kepada umatnya masing-masing. Sehingga praktek beragamanya itu adalah praktek beragama yang moderat yang tidak ektrim. Jadi tugas pemerintah itu mengkonsolidasikan, kemudian juga memfasilitasi
Selain itu, peraih Magister Psikologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu juga menyebut bahwa tokoh agama dan tokoh masyarakat diharapkan untuk lebih aktif di media sosial. Karena menurutnya, saat ini hoaks banyak berkembang dengan sangat cepat karena adanya media sosoal dan internet. Jadi jika pemuka agama dan tokoh masyarakat tidak hadir di dalam media sosial maka akan sulit.
“Jadi pesan damai, pesan persatuan, pesan yang kritkal itu semuanya akan kalah dengan banjir informasi yang ada di media sosoal dan internet jika para tokoh ini tidak aktif di sana. Atau yang kedua, para tokoh agama dan tokoh masyarakat ini bisa lebih aktif juga untuk ikut meminimalisir gerakan-gerakan kelompok agama yang lebih ektrim ini,” terang wanita kelahiran Jombang, 25 Juni 1972 itu.
Dirinya juga menyebut bahwa pihaknya di jaringan Gusdurian juga ikut menyediakan ruang perjumpaan antar warga bangsa dengan membawa semangat damai dan kerjasama. Menurutnya teman-teman dari berbagai kelompok suku, agama, ras apapun itu semua bisa berbaur di situ.
“Kami di jaringan Gusdurian juga dalam setahun melakukan 25 kali untuk pelatihan media sosial terhadap teman-teman di tingkat komunitas. Supaya teman-teman ini dan para pemuka agama ,tokoh masyarakat di tingkat lokal itu mau hadir di komunitas. Kemudian kami juga melakukan kampanye di media sosial baik oleh jaringan gusdurian di tingkat pusat sampai di tingkat lapangan,” kata Sekretaris Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) ini.
Ia menyebut bahwa pihaknya terus melakukan kampanye di media sosial. Pertama tentang berpikir kritis, dan kedua tentang muatan itu sendiri. Jadi ada semangat perdamaian, moderasi beragama, toleransi, kemudian penyingkapan tentang penanggulangan ektrimisme yang dibarengi dengan aksi yang lebih nyata.
“Contohnya ada kelompok intoleran melakuakn aski terorisme seperti misalnya di Sigi, Sulawesi Tengah beberapa bulan lalu. Kami di Gusdurian berangkat ke Sigi untuk menyampaikan tali asih dari masyarakat Indonesia yang menyumbang melalui Gusdurian, dan disampaikan kepada warga di sana,” katanya mengakhiri.