JAKARTA (Independensi.com) – Dalam upaya mengoptimalkan penyelamatan maupun pemulihan keuangan negara dari kasus-kasus korupsi, terhadap aset-aset dari pelaku korupsi atau koruptor jangan sampai lambat disita jaksa penyidik.
“Karena pelaku korupsi akan bertindak cepat dalam mengalihkan aset agar tidak terdeteksi melalui metode money laundering,” tutur Wakil Jaksa Agung Feri Wibisono saat menjadi “Keynote Speaker” dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) di Tangerang kemarin.
Kegiatan FGD kali ini mengambil tema “Perlakuan Terhadap Objek Sita Eksekusi Berkaitan dengan Hak-Hak Pihak Ketiga yang Beritikad Baik” dengan menghadirkan empat orang nara sumber.
Feri mengingatkan juga langkah-langkah prosedural dari penyidik dalam melakukan sita eksekusi perlu mempertimbangkan Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) and Thread (ancaman).
“Selain harus sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” kata mantan Deputi Penuntutan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.
Sementara JAM Pidsus Febrie Adriansyah mengatakan saat ini penanganan kasus korupsi sudah mengalami pergeseran paradigma, dari semula pemidanaan menjadi fokus kepada pemulihan kerugian negara.
“Untuk pemulihan kerugian negara, aparat penegak hukum telah dibekali instrumen penyitaan yaitu sebagaimana Pasal 39 KUHAP untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, kewenangan Kejaksaan melaksanakan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti yang telah dipertegas dalam Pasal 30C huruf g Undang-Undang Kejaksaan.
Dia menambahkan meski sita eksekusi kini juga tidak lagi memerlukan izin penyitaan dari pengadilan, tapi jaksa sebagai eksekutor harus cermat dan melakukan telaah yang mendalam sebelum melakukan sita eksekusi.
JAM Pidsus mengatakan juga untuk optimalisasi penyelamatan keuangan negara yang dilakukan pihaknya selain melalui strategi pertanggungjawaban pidana tidak hanya kepada subjek hukum orang perseorangan, tapi juga subjek hukum korporasi.
“Tujuannya guna memunculkan efek penjeraan. Selain akan menghasilkan pendapatan negara. Karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda,” ujarnya.
Dia pun mengungkapkan bahwa pihaknya dalam upaya menyelamatkan dan memulihkan keuangan negara telah menyetorkan Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp3,78 triliun. “Angka tersebut melebihi target PNBP dari tahun sebelumnya,” katanya.
Adapun empat nara sumber yang dihadirkan dalam FGD yaitu Hakim Agung Dr. Yanto, Expertise Hukum Agraria dan Hak Tanggungan Prof. Dr. Maria, S.W. Sumardjono, Expertise Hukum Bisnis dan Perseroan Prof. Dr. Nindyo Pramono, dan Direktur Hukum dan Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Tedy Syandriadi.(muj)