Oleh Hiski Darmayana
(Pengamat Sosial)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merilis laporan perihal dugaan keterlibatan perusahaan-perusahaan besar dunia dalam genosida yang dilakukan rezim Zionis Israel di Gaza, Palestina.
Laporan berjudul “From Economy of Occupation to Economy of Genocide” yang disusun oleh Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di wilayah Palestina, Francesca Albanese, membongkar identitas korporasi dari berbagai bidang yang terbukti menyokong zionis Israel.
Disebutkan dalam laporan ini, bahwa keterlibatan dunia bisnis bukan hanya dalam bentuk dukungan teknologi atau logistik, tapi juga pendanaan dan investasi yang memperkuat penjajahan, bahkan genosida
Di bidang teknologi, ada nama sejumlah raksasa teknologi asal Amerika Serikat seperti IBM, Google (Alphabet), Amazon, Microsoft, hingga Palantir dalam laporan ini. Mereka disebut memasok teknologi pengawasan, hingga kecerdasan buatan yang digunakan oleh militer Israel.
Laporan itu juga menyebut perusahaan pertahanan seperti Lockheed Martin dan Leonardo S.p.A menjadi pemasok utama persenjataan, untuk menyerang Gaza sejak Oktober 2023.
Sedangkan Chevron, Glencore, dan Drummond Company hingga BP dinyatakan terlibat dalam penyediaan energi yang mendukung operasi militer Israel,
Laporan itu juga menyoroti peran lembaga keuangan global yang membeli obligasi pemerintah Israel, untuk kemudian membiayai anggaran militer. BNP Paribas, Barclays, BlackRock, Vanguard, dan Allianz PIMCO disebut-sebut dalam laporan ini.
Lantas, muncul pertanyaan: Mengapa korporasi-korporasi yang disebut PBB mendukung genosida oleh Israel itu tak ada yang masuk daftar boikot di Indonesia??
Ya, di Indonesia, aksi boikot terhadap produk-produk yang tuduh terafiliasi dengan Israel telah menjadi bagian dari gelombang solidaritas untuk rakyat Palestina sejak hampir dua tahun lalu.
Muncul daftar panjang brand yang dianggap harus diboikot, antara lain Aqua, Pizza Hut, KFC, MCD, hingga Starbucks.
Padahal faktanya, brand-brand itu tidak masuk dalam laporan yang dirilis PBB.
Dan memang, tak bisa ditemukan bukti-bukti nyata bahwa brand-brand yang masuk daftar boikot di Indonesia itu, mendukung atau terafiliasi dengan Israel.
Maka bisa disimpulkan, gerakan boikot di Indonesia telah kehilangan arah, karena minimnya riset dan akurasi informasi. Gerakan boikot di Indonesia tampak sekadar luapan emosi yang salah sasaran.
Karena bila memang gerakan boikot di Indonesia tepat sasaran, mengapa nama-nama korporasi yang masuk laporan PBB sama sekali tak disebut?
Tampak nyata bahwa gerakan ‘boikot produk Israel’ di Indonesia tak menyelami lebih dalam siapa sebenarnya yang berada di balik rantai kejahatan kemanusiaan.
Dan karena gerakan boikot di Indonesia salah sasaran, dia tak berhasil ‘memukul’ Israel. Tapi justru menghancurkan ‘periuk nasi’ saudara-saudara sebangsa, bahkan seiman.