MK Sulit Kabulkan Gugatan RCTI dan iNews

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Penyiaran ramai diperbincangkan di media sosial dan menjadi sorotan publik.

Pemicunya adalah dua stasiun televisi di Indonesia, yaitu PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) melayangkan gugatan atas UU Penyiaran tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengajuan uji materi perihal UU Penyiaran ini diajukan keduanya pada Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

Menurut pemerintah, jika permohonan tersebut dikabulkan, maka masyarakat tidak dapat mengakses media sosial secara bebas.

Sebab, layanan OTT yang menggunakan internet akan disamakan dengan layanan penyiaran.

Dengan demikian, tayangan audio visual akan diklasifikasikan sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.

Meresponi hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi memprediksi, gugatan tersebut akan sulit dikabulkan MK.

“Pandangan saya soal gugatan terhadap UU penyiaran di MK. Tebakan saya akan sulit dikabulkan MK,” kata Rullyandi kepada para awak media, Senin (31/8/2020).

Menurut Rullyandi, media sosial hadir seiring dengan kebebasan hak konstitusional setiap warga negara untuk mengakses dan memanfaatkan perkembangan teknologi global sebagai bagian dari masyarakat madani.

“Sisi sosial yang bernilai positif salah satu dari penggunaan media sosial (youtube, instagram, dan lain-lain) sebagai bagian dari alat pemersatu bangsa (connecting people),” jelasnya.

Rullyandi berpendapat, media sosial hadir sebagai bagian dari umat manusia dalam menggunakan hak kebebasan berekspresi yang dijamin pemenuhannya oleh negara.

“Sebetulnya tak ada masalah sepanjang tidak bertentangan dengan nilai agama, moral, keamanan, dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang,” pungkasnya.

Sebelumnya seperti dikutip Kompas.com, permohonan uji materi UU Penyiaran diajukan oleh RCTI dan iNews TV.

Pihak pemohon menggugat Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebut, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”

Pemohon menilai, pasal itu menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.

Sebab, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan.

Oleh sebab itu, pemohon meminta MK menyatakan, pasal tersebut tak kekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut. (Daniel)