PEKANBARU (IndependensI.com) – Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, tidak menginginkan perusahaan hutan tanaman industri terpaksa impor bahan baku akibat dampak penerapan regulasi perlindungan gambut, yang dinilai sejumlah asosiasi pelaku usaha tidak memberikan kepastian untuk kelangsungan bisnis.
“Semua komoditas yang diproduksi di sini, pasti diproduksi dan kami akan jaga ketersediaan bahan baku itu. Pemerintah pasti akan jaga ketersediaan bahan baku,” kata Eggartiasto Lukita di sela-sela penyelenggaraan Pasar Murah Ramadhan yang digelar oleh Kementerian Perdagangan bersama RGE Group, di Balai Pelatihan dan Pengembangan Usaha Terpadu PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan, Riau, Minggu (17/6/2017).
Mendag mengatakan kebijakan perlindungan gambut diharapkan tidak mengganggu bisnis yang sudah ada, karena dikhawatirkan juga akan berdampak pada neraca ekspor industri di Tanah Air. “Kalau sampai perusahaan besar seperti ini kesulitan bahan baku, Anderson (Tanoto) sampai batuk-batuk, saya juga yang pusing karena ekspor kita terganggu,” ujarnya.
Mendag menambahkan, regulasi dari pemerintah tentang gambut diharapkan bersifat komprehensif untuk bisa dijalankan secara simultan dan seimbang, tanpa harus mengorbankan salah satu pihak.
“Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak diartikan untuk membuat perusahaan itu kesulitan bahan baku. Percayalah, kita akan menjaga lingkungan (secara) beriringan, maka bahan baku itu akan dijaga,” tegas Mendag.
Mendag mengatakan komentar itu terkait kekhawatiran pelaku bisnis setelah pada Februari 2017 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan empat peraturan sebagai petunjuk teknis dari Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Dalam regulasi turunannya, yakni Peraturan Menteri LHK No.17/2017 tentang pembangunan HTI, kementerian menjanjikan lahan pengganti (land swap).
Namun, hingga kini realisasi “land swap” belum juga ada, sehingga pelaku industri di Provinsi Riau akan menempuh opsi impor bahan baku untuk pabrik kertas dan bubur kertas atau pulp hingga 9,5 juta meter kubik per tahun, untuk mengantisipasi kekurangan bahan baku akibat berkurangnya area tanaman pokok setelah penerapan regulasi baru tersebut.
“Cara ini terpaksa tetap ditempuh sebab, jika pabrik kekurangan bahan baku akan menambah kerugian,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komisariat Daerah Riau, Muller Tampubolon, di Pekanbaru.
Menurut dia, penerapan regulasi gambut tersebut mengakibatkan 76 persen, atau areal seluas 398.216 hektare dari total 526.070 hektare (ha) hutan tanaman industri yang sudah ditanami di Riau, akan berubah menjadi fungsi lindung. Artinya, dari luas tersebut membuat industri kekurangan bahan baku sekitar 9,5 juta meter kubik per tahun.
Areal hutan tanaman industri (HTI) hanya bisa panen satu daur saja, dan pemegang izin harus mengembalikannya fungsinya seperti hutan alam. Muller Tampubolon mengatakan untuk mengurangi kekosangan pasokan bahan baku, ada opsi impor bahan baku dari negara tetangga seperti Malaysia.