JAKARTA (Independensi.com) – Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat rawan terpedaya dengan iming-iming investasi yang menghasilkan untung besar, namun sesungguhnya tidak masuk akal alias investasi bodong. Guna menarik minat calon konsumen maka Investasi bodong itu dikemas dalam bentuk perolehan keuntungan besar dan investasi berbasis agama, sehingga lebih meyakinkan publik. Demikian dikemukakan pengamat investasi Dr Edward Effendi Silalahi kepada Independensi.com di Jakarta, Selasa (25/7).
Menurut Edward, masyarakat di perkotaan maupun di pedesaan banyak menjadi korban dari investasi bodong tersebut. Masyarakat kita masih sangat gampang tergoda dengan iming-iming untung berlipat ganda atau untung besar, apalagi di bungkus dengan embel-embel agama. Contohnya, investasi dengan praktek ekonomi sesuai Syariah yakni investasi yang tidak berdasarkan bunga.
Karena menggunakan kemasan yang berbasis agama, biasanya masyarakat lebih mudah percaya. Investasi yang ditawarkan biasanya dalam bentuk paket sejumlah uang, investasi menguntungkan, bisnis berantai dengan menggunakan produk tertentu, termasuk produk pertanian, perkebunan dan properti. Apabila mengambil satu paket dapat untung tertentu dan apabila dua atau tiga paket akan mendapatkan keuntungan lebih besar lagi dibanding bisnis konvensional.
Investasi tersebut umumnya tidak mendapat perizinan dari lembaga resmi seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau pun Kementerian Koperasi dan UKM. Hal itu terbukti dari sejumlah kasus yang terungkap kepermukaan, di mana usaha itu tidak didukung oleh perizinan yang lengkap.
Kasus itu biasanya muncul setelah ada yang melapor karena telah menjadi korban. “Begitu tertipu, uang sudah tidak bisa kembali, maka melapor ke pihak kepolisian. Kalau sudah diproses hukum, maka biasanya asset yang ada tidak mampu mengembalikan uang investasi yang telah dikucurkan nasabahnya,’ tuturnya.
Dicontohkan dalam kasus Koperasi Pandawa yang memiliki transkasi keuangan hingga puluhan triliun. Koperasi tersebut tidak diawasi oleh instansi terkait sebagaimana seharusnya lembaga keuangan non bank di awasi atau diaudit, sehingga bisa dicegah dari kemungkinan yang merugikan nasabahnya.
Selama 2017, lanjutnya, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan kegiatan usaha 43 entitas dalam bentuk umum produk investasi bodong. Umumnya menawarkan imbal hasil yang dijanjikan fixed, menyerupai produk perbankan (tabungan atau deposito) atau Delevery Order (DO). Ada juga yang menawarkan penyertaan modal investasi, investasi online melalui internet dengan tenaga pemasaran secara langsung dengan sistem berantai.
Beberapa kasus menggunakan kegiatan keagamaan, dana masyarakat dijanjikan dikelola melalui pialang berjangka. Cara-cara tersebut cukup efektif menarik minat masyarakat, sehingga mereka menjadi korban investasi bodong.
Kenapa hal itu terjadi? Menurut Edward, karena literasi inklusif atau sosialisasi tentang lembaga keuangan tersebut kepada masyarakat sangat minim. Berdasarkan data, hingga saat ini baru sekitar 40 persen masyarakat Indonesia yang bersentuhan dengan lembaga keuangan. Artinya, baru 40 persen masyarakat pernah berhubungan lembaga keuangan seperti nasabah bank, koperasi atau lembaga keuangan lainnya.
Selebihnya yakni sekitar 60 persen belum pernah bersentuhan denan lembaga keuangan. “Ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat. Melalui sosialisasi yang lebih meluas, maka upaya mencegah masyarakat menjadi korban investasi bidang bisa diminimalkan,” katanya.
Seharusnya ketika melakukan investasi apapun, apakah investasi dalam skala besar atau kecil, setiap orang harus teliti dan waspada. “Kewaspadaan itu mutlak dilakukan. Jangan pernah mudah diiming-imingi hasil yang besar tapi tidak masuk akal,” tambah Edward. (kbn)