JAKARTA (IndependensI.com) – Umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Idul Adha, akhir pekan ini. Hari raya itu ditandai dengan pemotongan hewan qurban. Bukan sekadar seremonial, Idul Adha punya makna yang mendalam.
Hakikat Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai qurban yang berpangkal dan konsep keimanan dan kemanusiaan, dua pilar terpenting peradaban manusia. Karena itu, Idul Adha momentum menguatkan solidaritas kemanusiaan ditengah berbagai gangguan yang dihadapi bangsa Indonesia.
“Dengan Idul Adha kita bisa memperkuat keimanan dan rasa kemanusiaan. Apalagi bangsa Indonesia saat diuji oleh sindikat penyebar kebencian berbasis SARA seperti yang dilakukan kelompok Saracen,” kata Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB KH Maman Imanulhaq di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Kang Maman, panggilan karib KH Maman Imanulhaq menjelaskan, kata qurban mengandung tiga makna yang sarat dengan pelajaran moral (i‘tibar) yang bisa membekali manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta kemanusiaan.
Pertama, qurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat. Untuk itu, ketika takbir Idul Adha datang menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah.
Menurutnya, Allah Maha Dekat yang kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan.
Zikir kepada Allah (dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusukkan kalbu sehingga seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain.
“Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa diminimalisir, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih,” kata Ketua Lembaga Dakwah PBNU ini.
Ia mencontohkan, ketika ada hamba yang diterpa musibah dan bencana silih berganti, dalam hati yang gelap ia bertanya tentang pertolongan Allah. Menurut Kang Maman, pertanyaan itu muncul dari keraguan dan prasangka terhadap Allah. Hal itulah yang membuat selama ini, banyak orang yang mengharap pertolongan Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain (zalim).
Ia melanjutkan, bahwa manusia yang hatinya gelap juga gemar menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa berbeda, tetapi perilaku serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam aliran darah yang menghujat.
“Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan menghina orang lain, tetapi diam-diam sadar atau tidak) ia ternyata menggantikan kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya,” ujar pemimpin Pondok Pesantren Al Mizan Majalengka ini.
Makna kedua, lanjut Kang Maman, qurban merupakan konsep pengurbanan yang dilandasi keikhlasan dalam menjalankan pengabdian, tugas, dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta keuntungan materi yang menjadikan nilai kesalehan menjadi sia-sia. Dari keikhlasan dan ketulusan jiwa itu akan memunculkan ketegaran dan keistiqamahan.
“Kesuksesan umat untuk keluar dari bencana dan tragedi kemanusiaan tergantung pada keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian mereka demi mengharap ridha Allah semata,” kata Kang Maman.
Makna ketiga, qurban yang disimbolkan dengan menyembelih hewan merupakan suatu teladan dari Nabi Ibrahim saat diperintah oleh Allah untuk mengurbankan Ismail, putra terkasihnya.
“Teladan agung tersebut seharusnya mampu menyentuh kesadaran intelektual dan imajinasi seorang hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol kemenangan seorang manusia atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, dan sentimentalitas cinta kasih lokal,” urainya.
Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bukanlah perbuatan untuk mengurbankan manusia lainnya demi tujuan dan keuntungan sesaat yang keji sebagaimana dilakukan para penguasa lalim sepanjang sejarah. Tapi suatu sikap untuk menyerahkan sesuatu yang dititipkan oleh Allah.
“Dengan semangat Idul Qurban, manusia harus mampu “menyembelih” watak buruk dan 7 sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya; seperti rakus, serakah, zalim, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma,” pungkas Kang Maman.