Oleh : Herman Hakim Galut
Permintaan maaf Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sohibul Iman atas doa penutupan Sidang Paripurna MPR/DPR pada 16 Agustus lalu, haruslah diterima dengan lapang dada. Dalam doa itu, politisi PKS Tifatul Sembiring meminta Allah menggemukkan badan Presiden Jokowi Widodo karena kian kurus akibat kelelahan, memimbing Wakil Presiden Jusuf Kala yang meski sudah tergolong tua tetapi semangatnya tetap membaja, dan mendoakan ulama karena mereka adalah pewaris Nabi Muhamad SAW.
Secara tatakrama, doa seperti itu merongrong kearifan local yang sangat dijunjung masyarakat Indonesia, yakni tak boleh mengejek seseorang di depan umum, apalagi dalam Sidang Paripurna. Secara politis, doa itu adalah sesuatu yang tak lazim dalam sejarah Sidang Paripurna MPR/DPR dalam 72 tahun terakhir.
Jauh dari maksud menista ulama, doa itu melegitimasi peran ulama di sebuah forum lembaga politik tertinggi negara. MRR/DPR adalah refleksi kedaulatan rakyat. Secara politik kepartaian, doa itu merupakan ekspresi dari visi, misi, dan program kerja PKS. Partai yang dideklarasikan pada 20 April 2002 itu, mengidentikkan dirinya sebagai partai dakwa “yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan negara.”
Dalam memperjuangkan pembangunan model Islam itu, PKS mengembangkan kultur organisasi yang sangat ketat. Untuk menjadi anggota, seseorang harus mendapat rujukan dari sekelompok individu atau guru pembimbing (murabbi). Kalau diterima, anggota baru yang sudah Muslim sekali pun, harus sekali lagi mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalau berhasil, barulah anggota baru tadi menjadi Muslim yang benar-benar Islamis.
Dalam proses pembinaan itu, satu dari beberapa kegiatan rutin adalah perkemahan (mu’askar) yang belangsung setiap kuartal. Selain mendengarkan ceramah, berdoa, membaca Al Qur’an, peserta perkemahan juga mendapat pelatihan bela diri dan militer. Jadi, ketika Tifatul Sembiring menyebut-nyebut kondisi fisik Presiden Jokowi dan ketuaan usia Wapres Jusuf Kala, dia merujuk kepada standar kualitas kebugaran anggota PKS.
Visi, misi, kultur organisasi, dan ideologi politik PKS memiliki kesamaan dengan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Perbedaannya tentu saja pada sejarah, budaya, politik dan perangai anggota dari kedua lembaga tadi. Pendirian PKS merupakan tanggapan terhadap kehendak sejumlah kalangan, terutama warga kota dan mahasiswa, akan adanya partai politik yang memperjuangkan pembangunan ekonomi model Islam — yang secara internasional dikenal sebagai moral economy — ketika Indonesia merangkul demokrasi.
IM didirikan oleh Sheik Hasan al-Banna pada tahun 1928 sebagai reaksi terhadap sekularisasi Turki menyusul ambruknya Kalifah Ottoman setelah mendominasi peradaban Islam sejak abad ke-16. Tokoh sekularisasi Turki adalah Mustafa Kemal Ataturk, yang oleh Mark A. Gabriel, mantan dosen Sejarah Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, dijuluki rasul westernisasi Turki dengan membubarkan kalifah, menghentikan pemberlakuan Syariat, mengenalkan hurup Latin, dan mengaitkan kembali sejarah Turki dengan sejarah Barat, dan menumbuhkan kembali identitas orang Turki sebagai orang Eropa.
Gabriel mengidentikkan IM sebagai perkawinan antara ideologi El Kharij, el-Hashashen dan teori politik Ibnu Taymiyah. El-Kharij (seseorang yang keluar dari rumah) dan El-Hashashen (teler sebelum ke medan perang) adalah kelompok radikal Syiah yang memerangi Suni ketika Islam pecah menjadi Suni dan Syiah.
Menurut Gabriel, perulangan sejarah selalu terjadi karena defenisi sejarah lebih dipercayai sebagai ulangan kejadian masa lalu. Saracen yang kini muncul di Indonesia adalah suku di Arab sebelum kelahiran Islam yang hidup dari merampok caravan dagang di gurun Arabia di masa Kekaiseran Roma. Kalifah Ottoman menjadikan suku ini sebagai tentara bayaran ketika menyerang Wina (Battle of Vienna) pada bulan September 1683.
Jadi, sekularisasi radikal di Turki ditanggapi dengan Islamisasi radikal di Mesir.
Sebagai kekuatan penyeimbang antara dua kekuatan radikal itu, di Indonesia (waktu itu Hindia Belanda), Nahdlatul Ulama (NU) didirikan 31 Januari 1926 di Surabaya sebagai respons terhadap Wahabisme di Timur Tengah dan mendorong modernisasi Islam di Indonesia.
Intervensi Ulama
Penyingkiran ulama dari fungsi kenegaraan oleh Mustafa Kemal bukan tanpa alasan. Selama abad 15, cendekiawan Kalifah Ottoman mempelajari berbagai cabang ilmu, seperti matematika, astronomi, dan kedokteran. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari tradisi Bizantium yang ditaklukkan oleh Kalifah Ottoman pada tahun 1453. Sebagian besar ilmuwan, astronom, artis dan pengusaha Bizantium mengungsi ke Rusia. Lima ratus tahun kemudian, mereka inilah yang menjadi otak di balik keberhasilan Uni Soviet dalam penguasaan dirgantara.
Pengaruh ulama meningkat pada abad 16, dan dengan kekuasaan yang ada, mereka menutup peluang bagi imuwan untuk mengembangkan ilmu duniawi. Menurut mereka, penguasaan ilmu di luar agama adalah sesuatu yang tak perlu karena Quran sudah memiliki segalanya. “Pembelengguan terhadap cendekiawan dan usahawan oleh ulama, menggiring Kalifah Ottoman kepada stagnasi,” tulis Charles A. Kupchan dalam No One’s World.
Raphael Patai, dalam The Arab Mind menganalisa stagnasi dalam peradaban Islam merupakan by-product dari pola-pikir bangsa Arab yang percaya — bahkan kepercayaan ini sudah ada jauh sebelum Islam – bahwa “manusia diciptakan bukan untuk kejayaan masa depan, tetapi untuk bersimpuh di hadapan Allah karena Allah menyukai situasi seperti itu.”
Padahal, lanjut Patai yang juga menulis The Jewish Mind, sejarah telah menunjukkan bahwa manusia berkemampuan untuk maju. Baik Barat (Kristen) mau pun Timur (Islam) memiliki kemampuan untuk maju. “Peradaban Islam mengabaikan potensi umat manusia and continues to slumber, while the West realizes its material and intellectual possibilities.”
Sejumlah pemikir progresif Islam membenarkan pendapat Patai yang dituangkan lewat essay dalam buku Reforming Islam. Mereka yakin kemajuan material negara-negara Timur Tengah takkan bertahan lama karena tidak berlandas pada human capital.
Pada masa Islam klasik, dari abad 7 sampai 13, peradaban Islam jauh lebih maju daripada Kristen di Barat. Kemajuan itu dicapai berkat berlakunya prinsip pemisahan antara negara dan agama. Konsep ini ditentang ulama karena cendekiawan dan filsuf Islam berpikir terlalu bebas. Ibnu Sina, dokter dan filsuf yang hidup di masa kejayaan Islam mengenalkan adagium “the world is divided into men who have wit and no religion and men who have religion and no wit.
Islam is the Solution
Reaksi IM terhadap dinamika politik dan agama di Turki itu, diejawantahkan ke dalam berbagai program antara lain pertemuan antar-anggota keluarga agar mereka saling kenal (ta’aruf), saling paham (tafahum) dan saling dukung (tafakul). Ini merupakan kristalisasi institusional untuk memenuhi kewajiban kolektif (fardiat al-‘amal al-Jamai) demi tegaknya kalifah.
Hazem Kandil dalam Inside the Brotherhood menulis bagaimana IM mencuci otak anggota baru lewat pelatihan logika yang disusun dalam dialog model Socrates. (1) Do you agree that Islam must exist in a united community under caliphate? (Yes). (2) Does community presently exist? (No). (3) So would you agree that resurrecting the caliphate is essential to Islam? (Yes). (4) Can you resurrect the caliphate on your own? (No). (5) So would you agree that you are obliged to work with others to achieve this goal? (Yes). (6) Now, regardless of the Brotherhood’s faults, do you see a better equipped Islamist groups? (No). (7) So would you agree then that it is your religious duty to join (or stay in) in the Brotherhood? (Yes).
Rekrutmen model ini menggarisbawahi pedagogi Al-Banna yang lebih mementingkan rasa dari pada akal. “Tujuan kami (IM) adalah untuk membangkitkan semangat, kehidupan batiniah, memperkuat imajinasi dan perasaan. Kami kurang memberi tempat kepada gagasan nyata, tetapi lebih pada hubungan batin antara kami dan mereka yang kami layani.”
Sama seperti sikap penguasa politik dan ulama pada era Ottoman, IM tidak menerima anggota yang berlatar belakang filsafat, politik, social dan antropologi. Mayoritas cendekiawan IM berlatarbelakang ilmu terapan (20 ribu dokter, 3 ribu dosen dan 150 ribu guru). Said Qutb kemudian meradikalisasi IM dengan menggalang gerakan subversive seperti terlihat pada pembunuhan Perdana Menteri Mesir Mahmud Mukrasi Pasha pada tahun 1948 dan Hakim Agung Ibrahim Abdul El-Hadi setahun berikutnya.
Setelah eksis selama 85 tahun, ideologi utopis IM ini tak terwujud dengan baik dalam Arab Spring tahun 2011. Presiden Morsi dan partainya, Partai Keadilan dan Kebebasan yang berkuasa selama kurang dari setahun, ambruk akibat tekanan masa yang tak sabar dengan ketidakjelasan misi pemerintahan Morsi. Rakyat Mesir bingung melihat pendukung Morsi yang berkumpul di Masjid
Cairo Rab’a al-‘Adawiya yang berkumpul selama 40 hari di musim panas 2013.
Perangai pendukung IM yang dikesankan lembut di mata arus utama umat Muslim Mesir menunjukkan sebaliknya. Kata-kata kasar terpampang di poster yang mengecam lawan-lawan politik. Gambar-gambar medan perang Nabi Muhamad SAW berseliweran, cerita-cerita iblis dari Nabi Daud, Musa dan Armagedon terlihat di mana-mana. Seorang pendukung IM terekam di layar televisi yang mengatakan, “Allah akan membelah Laut Merah. Kita tunggu saja.” Pada menit-menit kritis itu, IM memang menunggu mukjizat karena Allah akan memberi mereka ridho sebagai balas jasa atas pengorbanan mereka dalam 85 tahun terakhir.
Apa yang terjadi kemudian, pasukan keamanan pemerintah membubarkan mereka secara paksa. Beberapa di antara mereka tewas mengenaskan. Mengutip beberapa saksi mata, Hazem menulis bahwa Islam is the Solution yang digembar-gemborkan Presiden Morsi tidak terwujud. Selama kampanye, Panitia Pemilu Mesir meminta Partai Keadilan dan Kebebasan untuk mengganti moto Islam is the Solution karena berkonotasi agama. Moto itu diganti dengan “Kami Membawa Kebaikan bagi Mesir.”
Pesan moral dari tulisan ini adalah bukan untuk menilai IM dan PKS yang merupakan afiliasinya di Indonesia tetapi untuk merangsang dialog antara tokoh partai – terutama partai-partai Islam – untuk mengambil hikmah dari kegagalan IM di Mesir. Mereka harus realistis dalam menilai kemajuan rakyat Indonesia dalam membangun negara dalam 72 tahun terakhir.
Pesan Presiden Soekarno masih terngiang dalam ingatan kita,”saudara-saudara yang bernama kebangsaan yang di sini, mau pun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah (negara Islam) kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu Negara ‘semua buat semua.” Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, mau pun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua.” Indonesia memang negara demokratis yang sangat Aristotelian.
Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Washington DC, Amerika Serikat