JAKARTA (IndependensI.com) – Meskipun cukup produktif menulis puisi, namun Rd Nanoe Anka tidak mau disebut sebagai penyair. “Saya bukan penyair.Sebutan tersebut terlalu berat bagi saya.Saya masih dalam tahap sebagai penulis puisi. Sekali lagi: saya bukan penyair!” tegas Rd Nanoe Anka dalam obrolan santai bersama independensi.com di sebuah warung kopi kaki lima yang terletak di dalam area pekarangan Gelanggang Remaja Bulungan, yang bersebelahan dengan salah satu ruang kelas SMU Negeri 6, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Penulis puisi kelahiran Jogjakarta pada Februari 1959 ini nama aslinya RD Nanoe Anoegrah Kabihanto (Anka) sejak masih duduk di bangku SMP Negeri 68, Jakarta Selatan, sudah aktif menulis puisi hingga 1993.
Tapi, setelah itu, vakum sejenak karena beralih ke seni fotografi dan menjadi asisten Roy Genggam Nuswantoro – seorang fotografer ternama.
Selepas itu, Mas Nanoe, panggilan akrabnya, mencoba peruntungannya dengan melamar pekerjaan sebagai PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, dan diterima.
Sebelum pensiun pada tahun lalu, Mas Nanoe bekerja di Dinas Kebudayaan & Pariwisata Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di lingkungan tempat kerjanya, Mas Nanoe, oleh rekan-rekannya sering diminta untuk menulis sekaligus membacakan karyanya saat ada “sertijab”.Selain itu, saat namanya masih tercatat sebagai PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta,Mas Nanoe juga sering didapuk menjadi juri lomba baca puisi – baik di tingkat wilayah maupun tingkat nasional.
Penulis puisi yang murah senyum ini bahkan pada era 1980-an saat masih “nyeniman” pernah pula menjadi juara lomba baca puisi tingkat provinsi dan tingkat nasional. Dia juga pernah menjadi juara lomba baca prosa.
Selain menulis dan piawai membaca puisi, Mas Nanoe juga menggeluti seni drama atau teater.
Bukan faktor kebetulan saat masih duduk di bangku SMA Negeri 6 Bulungan, tempat dia sekolah berdampingan dengan Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1973 ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Mas Nanoe, yang sejak masih duduk di bangku SMP Negeri 68 Jakarta Selatan, sudah menekuni dunia seni tulis-menulis, seperti menemukan “habitat” yang selama ini sangat dirindukannya terutama ketika dia berkenalan dengan Noorca dan Yudhistira Massardi, Tjok Hendro, Adri Darmadji, Uki Bayu Sejati dan lain-lain, yang pada era itu nama mereka sudah terkenal di lingkungan para penulis muda di seluruh Indonesia.
“Saya sungguh bersyukur sekolah saya berdampingan dengan Gelanggang Remaja Bulungan, sehingga selain saya bisa berkenalan dengan para senior tersebut, saya juga bisa bertanya tentang segala hal yang berhubungan dengan bagaimana cara menulis puisi yang baik,” kata Mas Nanoe sambil mempersilakan independensi.com “menyeruput” kopi pahit pada sore menjelang malam di pertengahan Agustus 2017 lalu.
Ada pepatah Jawa yang mengatakan “Ojo cedak-cedak Kebo gupak. Mundak kecipratan blethok…” Dan, Mas Nanoe, yang mengaku tidak lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga seniman, itu rupanya memang senang sekali melihat “Kerbau” yang sedang berkubang (Gupak) di lumpur (Blethok). Akibatnya, dia pun “kecipratan” lumpur.
Bayangkan. Bubaran pelajaran sekolah, dia tidak langsung pulang ke rumahnya di kawasan Dapur Susu, Cilandak, Jakarta Selatan.Tapi justru “nongkrongin” remaja-remaja seumurannya yang sedang latihan dasar teater di halaman berumput hijau yang ada di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.
Dan, salah satu teater yang dia “tongkrongin” saat teater tersebut berlatih adalah Teater Gombong Pimpinan Tubagoes Djodi Rawayan Antawidjaya yang anggotanya gabungan pelajar SMA Negeri XI dan SMA Negeri 6, yang kebanyakan berasal dari alumni SMP Negeri XIII Jakarta Selatan yang dilatih oleh Kak Didi (Alidisar Syafar, sutradara sekaligus pemain senior di sinetron berjudul 7 Manusia Harimau yang beberapa waktu lalu tayang di stasiun televisi swasta nasional).
Di kemudian hari Mas Nanoe tak hanya tercatat sebagai anggota Teater Gombong; Akan tetapi juga terlibat dalam produksi pementasan yang digarap oleh Teater SS, Teater Keung, Teater Bersama, Teater Aquila dan Teater Tetas. Grup-grup teater ini semuanya berlatih di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.
Namun aktifitasnya sebagai penulis puisi dan pelakon teater ditanggalkan saat namanya tercatat sebagai PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Penulis puisi yang karya-karyanya pada 1980-an dimuat di Harian Sore Sinar Harapan, Majalah Hai, Majalah Gadis dan lain-lain, ini, tergerak atau “bangkit” kembali dan gencar mengolah talentanya di bidang sastra.
Nama Rd.Nanoe Anka ada bersama penulis puisi lainnya seperti Yahya Andi Saputra, Balya Nur, Nina Suminar, Hartoyo Adang Jaya, Lia Amalia, Srikandi Darma Aloena dan lain-lain dalam Antologi Puisi masing-masing “Daun Jatuh” dan “Daun Bersayap Awan”.
Saat ini, setelah pensiun sebagai PNS, Mas Nanoe back to basic di dunia kesenian.”Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT dikaruniai bakat menulis puisi dan menjadi pelakon teater. Kalau tidak, mungkin saya bingung apa yang harus saya kerjakan di usia saya seperti saat ini…” katanya dengan suara tertahan.
Bagi Mas Nanoe saat ini adalah saat di mana dia bisa memaknai kata re-creation (berbasis budaya dan seni) dalam arti yang sebenarnya.”Dan, berkat support dari rekan-rekan, akhirnya saya bisa mengumpulkan tulisan-tulisan saya menjadi sebuah buku kumpulan puisi,” kata Mas Nanoe mengenai Buku Kumpulan Puisi berjudul “Ruang-Ruang Cinta” yang diterbitkan oleh penerbit Males Arts Studio.
Dalam buku kumpulan puisi tersebut terangkum karya-karya Mas Nanoe sejak era 1980-an hingga 2016.
Saat buku kumpulan puisi tersebut di-lounching pada Juli lalu di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jose Rizal Manua – penyair dan pembaca puisi handal – dalam prologue-nya antara lain mengatakan, Rd Nanoe Anka adalah juga seorang dramawan yang sangat aktif dan produktif. Maka tidak heran kalau di dalam sajak-sajaknya terkandung unsur dramatik;ada kesadaran akan eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.
Membaca sajak-sajak Rd.Nanoe Anka yang terhimpun dalam “Puisi Ruang Ruang Cinta” ini, kita dibawa ke suasana yang sejuk dalam menghayati manusia,alam dan lingkungan, dan dalam mengagungkan kebesaran Allah.
Kritik-kritiknya yang menyangkut moral dan sosial, ia lukiskan dengan ketenangan seorang ustaz. Dan tidak terkesan menggurui. Membaca sajak-sajak Rd.Nanoe Anka dalam kumpulan “Puisi Ruang Ruang Cinta”, serasa berkomunikasi penuh kesejukan. Semoga ketenangan jiwa yang terlukis dalam sajak-sajak tersebut dapat terus dipertahankan.
Menjawab pertanyaan, apa yang diharapkan setelah Mas Nanoe kembali ke “habitat” lamanya, penulis puisi sekaligus pelakon teater ini mengungkapkan bahwa pihaknya ingin mempererat tali silaturrahmi melalui puisi dengan teman-teman masa kecil, sekolah, sesama seniman dan para pemerhati serta penikmati seni sastra khususnya puisi.
Apa yang diharapkan oleh Mas Nanoe terbukti. Teman-teman sekolahnya, yang beberapa di antaranya masih aktif di dunia pendidikan, pun hadir sekaligus membacakan puisi karyanya saat lounching Buku Kumpulan Puisi Ruang Ruang Cinta di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, pada Juli lalu.
Sementara, beberapa orang sahabat karibnya yang tidak bisa hadir – salah seorang di antaranya adalah mantan Ketua Komisaris KPU, Haidar Nafis Gumay, teman sebangku saat masih tercatat sebagai siswa SMP Negeri 68, Jakarta Selatan – pun mengaku sangat menyesal saat Mas Nanoe melounching Buku Kumpulan Puisi Ruang Ruang Cinta.
Hal tersebut terungkap saat reuni SMP Negeri 68 berlangsung paska Hari Raya Idhul Fitri yang lalu.Tapi, untuk mereka yang tidak bisa hadir saat lounching berlangsung, Mas Nanoe memberi mereka buku kumpulan puisi tersebut. (Toto Prawoto)