Panen lele bioflok sukses dilakukan di daerah perbatasan, tepatnya di Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat. (Humas DJPB)

Sukses, Panen Lele Bioflok di Perbatasan RI-Malaysia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali melakukan panen lele sistem bioflok.  Jika sebelumnya di berbagai pondok pesantren, kali ini panen lele bioflok sukses dilakukan di daerah perbatasan, tepatnya di Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia – Malaysia, akhir pekan lalu.

Bertempat di kelompok Maju Terus Desa Bungkang Kecamatan Sekayam, Dirjen Perikanan Budidaya diwakili Sekretaris Ditjen Perikanan Budidaya bersama-sama Wakil Bupati Sanggau, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sanggau serta ketua kelompok secara serempak melakukan panen lele bioflok tersebut.

Pada kesempatan ini, panen dilakukan pada 10 kolam lele bioflok berdiameter 3 meter dimana masing-masing kolam mampu menghasilkan rata-rata sebanyak 300 kg lele dengan ukuran 7-8 ekor per kg, sehingga total panen mencapai sekira 3 ton, dengan harga jual Rp. 24.000 per kg maka nilai produksi dari panen kali ini mampu mencapai Rp. 72 juta. Waktu pemeliharaannya pun sangat singkat yaitu hanya 70 hari sehingga dalam 1 tahun bisa dilakukan 4-5 kali panen.

Ketua kelompok Maju Terus, Mardiansyah menjelaskan bahwa dengan biaya produksi per kg sebesar Rp. 16.000, maka kelompok mampu memperoleh keuntungan hingga mencapai Rp. 8.000 per kg atau total sekira Rp. 24 juta. Untuk pemasaran pun saat ini kelompok tidak mengalami kendala berarti.

“Harga ikan lele di sekitar sanggau saat ini cukup baik, biasanya pengepul mengambil di petani dengan harga Rp. 22.000-24.000 per kg. selain ke pengepul kami pun menjualnya ke masyarakat sekitar sini (Sanggau-Red), untungnya lumayan, bisa paling kecil Rp. 6.000 sampai Rp. 8.000 tiap kilo,” ujar Mardiansyah.

Lebih jauh Mardiansyah menceritakan bahwa untuk pasar sekitar Entikong, harga eceran bisa mencapai Rp. 30.000 – 32.000 per kg dimana sebagian pembelinya adalah warga negara Malaysia. Mereka lebih suka dengan ikan lele dari Indonesia karena dianggap lebih bersih dan cara pemeliharaannya lebih baik.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya diwakili Sekretaris Ditjen Perikanan Budidaya, Tri Hariyanto dalam sambutannya mengungkapkan bahwa pengembangan budidaya lele bioflok di Entikong ini merupakan bagian dari program prioritas KKP yang ditujukan untuk masyarakat di perbatasan, pondok pesantren dan lembaga pendidikan.

“Tahun 2017 ada sekitar 203 paket budidaya lele bioflok yang disalurkan kepada masyarakat di seluruh Indonesia. Penerimanya bisa pondok pesantren, seminari maupun kelompok-kelompok masyarakat di perbatasan. Bukan hanya di Entikong, daerah perbatasan lainnya juga mendapatkan bantuan serupa seperti di Kabupaten Belu NTT, Sarmi dan Wamena di Provinsi Papua”, jelas Tri Hariyanto.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Mandiangin Kalimantan Selatan, Haryo Sutomo menyampaikan bahwa untuk perbatasan RI-Malaysia di Entikong ini ada 2 penerima bantuan budidaya lele bioflok yaitu Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Maju Terus, Desa Bungkang – Balai Karangan, Kecamatan Sekayam dan Pokdakan Sumber Bersama, Dusun Peripin, Desa Entikong, Kecamatan Entikong. Kedua Pokdakan ini menerima paket bantuan berupa kolam pembesaran, benih ikan lele, pakan ikan, obat-obatan, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Bioflok untuk tingkatkan kesejahteraan dan kualitas masyarakat perbatasan
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto dalam keterangan persnya kepada Independensi.com menjelaskan bahwa pengembangan budidaya lele sistem bioflok di perbatasan bertujuan untuk mendorong peningkatan gizi masyarakat, pemerataan ekonomi dan ketahanan pangan di kawasan-kawasan perbatasan.

Kawasan perbatasan memiliki sumberdaya alam yang tinggi, namun minimnya informasi teknologi menyebabkan nilai ekonomi SDA tersebut belum dapat dirasakan. Oleh karena itu, penting membangun daerah perbatasan melalui penciptaan alternative usaha berbasis inovasi teknologi termasuk teknologi di bidang perikanan budidaya.

“Pemanfaatan SDA di daerah perbatasan termasuk sumberdaya perikanan budidaya berbasiskan inovasi teknologi lele bioflok akan mampu meningkatkan nilai SDA yang ada, dengan demikian akan memicu pergerakan ekonomi lokal yang lebih luas” jelas Slamet.

Slamet juga menggarisbawahi bahwa pesan Nawacita untuk membangun Indonesia dari pinggiran menjadi pertimbangan utama bagaimana program – program prioritas perikanan budidaya ini bisa menyasar ke daerah-daerah perbatasan.
Disisi lain, program lele bioflok diharapkan akan mampu mensuplai kebutuhan gizi masyarakat dari sumber protein ikan. Kebutuhan gizi menjadi masalah yang kerap kali dihadapi masyarakat di daerah perbatasan, padahal ketercukupan gizi menjadi indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

“Jika dilihat masih ada ketimpangan IPM masyarakat di daerah perbatasan. Saya rasa program ini menjadi sangat strategis untuk meningkatkan IPM melalui pemenuhan gizi masyarakat, apalagi komoditas lele saat ini mulai digemari masyarakat luas. Bu Menteri (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti-Red) sangat konsen untuk mendorong masyarakat agar mulai gemar makan ikan”, imbuhnya.

Sementara itu Wakil Bupati Sanggau, Yohanes Ontot mengatakan bahwa Pemda Kabupaten Sanggau sangat mengapresiasi upaya KKP dalam memperkenalkan inovasi teknologi budidaya lele bioflok untuk masyarakat perbatasan. Dirinya mengungkapkan keyakinannya, bahwa upaya ini akan memberikan dampak bagi perekonomian masyarakat.

Kabupaten Sanggau memiliki luas perairan hingga mencapai +/- 136.364 Ha baik perairan umum seperti sungai, danau, rawa dan bendungan maupun kolam budidaya. Oleh sebab itu, Ontot berharap agar inovasi teknologi bidang perikanan budidaya ini akan mampu mendorong berkembangnya usaha perikanan di Kabupaten Sanggau.

”Saya yakin dengan dengan adanya sentuhan teknologi akan menggerakan usaha perikanan di Sanggau dan pastinya akan mendongkrak tingkat konsumsi ikan perkapita masyarakat”, ungkap Ontot dalam sambutannya saat acara panen tersebut.

Sebagai gambaran bahwa tingkat konsumsi ikan per kapita Kabupaten Sanggau pada tahun 2016 masih cukup rendah yaitu 30 kg/kapita/tahun, dibawah tingkat konsumsi ikan perkapita nasional sebesar 43,94 kg/kapita/tahun.

“Kami targetkan konsumsi ikan perkapita masyarakat di Sanggau pada tahun 2019 mampu mencapai 36 kg per kapita naik 6 kg dari sebelumnya 30 kg per kapita pada tahun 2016 yang lalu,” tutup Ontot.