Oleh : Sigit Wibowo
IndependensI – Pilkada Serentak 2018 menimbulkan pertanyaan besar dalam masyarakat mengenai praktik-praktik demokrasi yang tidak sehat yang tengah berlangsung di negara yang mengaku menjalankan Demokrasi Pancasila. Partai politik berubah menjadi institusi yang tak beda dengan “pemeras” para kandidat yang akan berlaga dalam Pilkada. Mahar uang bernilai miliaran rupiah harus disediakan bagi para calon-calon yang ingin mendapatkan rekomendasi parpol.
Simak saja Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang mengaku diminta menyediakan uang mahar sebesar Rp 10 miliar sebagai sarat mendapat surat rekomendasi sebagai bakal calon gubernur Jawa Barat dari DPP Partai Golkar. Jika tidak menyediakan uang Rp 10 miliar, ia tidak bisa maju sebagai cagub yang diusung Golkar. Faktanya Dedi Mulyadi hanya diusung menjadi cawagub pada Pilkada Jabar oleh koalisi Golkar-Demokrat.
Partai Golkar memiliki 17 kursi di DPRD Jawa Barat sedangkan Partai Demokrat memiliki 12 kursi. Namun justru Golkar hanya menempatkan kadernya sebagai calon wakil gubernur sementara kader Demokrat yakni Deddy Mizwar dimajukan sebagai cagub dalam koalisi Golkar-Demokrat. Masyarakat dengan mudah membaca apa yang sedang terjadi, yakni kandidat yang diusung Demokrat mampu menyediakan mahar politik atau upeti ke partai politik pengusung.
Deddy Mizwar tidak akan mengaku terkait jumlah uang mahar politik agar mendapatkan rekomendasi dari Partai Golkar dan Partai Demokrat. Tarif sebagai cagub minimal membayar uang muka Rp 10 miliar seperti yang diminta pada Dedi Mulyadi. Dedi Mulyadi gagal maju sebagai cagub karena tidak mau menyediakan uang mahar kepada Golkar untuk mendapatkan rekomendasi.
Hal yang sama terjadi pada La Nyalla Mattalitti yang sudah mempersiapkan diri maju sebagai cagub dalam Pilkada Jawa Timur. Ia sudah optimistis mendapatkan rekomendasi dari Partai Gerindra, PKS dan PAN. Namun dalam prakteknya La Nyalla Mattalitti tidak mau membayar uang mahar senilai Rp 150-170 miliar.
La Nyalla Mattalitti baru membayar uang muka sebesar Rp 10 miliar kepada oknum petinggi Gerindra berinisial F, meskipun sebenarnya La Nyalla Matalitti diminta memberikan uang Rp 40 miliar sebagai DP atau uang muka. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pertikaian berupa saling tuding antara La Nyalla Mattalitti dengan para elite Gerindra.
La Nyalla Mattalitti akhirnya gagal mendapatkan rekomendasi dari Gerindra, PAN dan PKS karena tidak mau memberikan uang mahar senilai Rp 150-170 miliar. Akibatnya koalisi yang ingin dibangun Gerindra-PAN dan PKS layu sebelum berkembang. Gerindra dan PKS kemudian balik badan dan mendukung pasangan calon (paslon) yang didukung oleh PDIP dan PKB.
Pada Pilkada Jawa Tengah, mantan menteri ESDM Sudirman Said memperoleh rekomendasi dari koalisi empat partai yakni Partai Gerindra (11 kursi), PKS (10 kursi), PAN (8 kursi), dan PKB (13 kursi). PKB yang sebelumnya dikabarkan mengusung mantan menteri Transmigrasi dan PDT Marwan Jafar sebagai cagub berakhir dengan kegagalan karena tidak memiliki logistik atau amunisi yang memadai.
Sudirman Said mengakui bahwa ongkos politik mengikuti Pilkada Jateng memang mahal. Biaya yang harus dikeluarkan adalah untuk operasional di 35 kabupaten/kota, biaya saksi dan biaya promosi. “Ikut Pilkada Jateng memang butuh biaya besar untuk ukuran saya,” kata Sudirman di RS Kariadi Semarang, di sela pemeriksaan kesehatan akhir pekan lalu.
Namun ia enggan menyebut berapa biaya yang telah disiapkan. “Jumlahnya bisa mencapai puluhan miliar rupiah,” ujarnya.
Bagi Sudirman Said yang pernah menduduki jabatan strategis sebagai Menteri ESDM pada masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla maka telah menjalin dan membina “hubungan” dengan perusahaan-perusahaan migas dan pertambangan. Sudirman Said yang pernah direshuffle oleh Presiden Jokowi ingin mencoba peruntungan seperti sahabatnya, Anies Baswedan. Anies menjadi gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017.
Sudirman Said mengaku akan mengajak teman, para sahabatnya untuk ikut melakukan saweran. “Saya saweran, bicara dengan sahabat, teman. Cari bareng sambil jalan, kalau niat baik, banyak memberi dukungan,” tambahnya. Apakah ini berarti termasuk mengajak saweran perusahaan-perusahaan migas dan pertambangan Pak Sudirman Said ? wallahu alam bishawab.
Penulis adalah wartawan Independensi.com