BEIJING (IndependensI.com) – Pengurus masjid di Provinsi Yunnan memberikan pelajaran Bahasa Arab dan membaca Al Qur’an kepada sejumlah anak muslim di wilayah barat daya China itu selama liburan musim dingin.
Media resmi setempat yang dipantau Antara di Beijing, Selasa (30/1/2018), menuliskan pandangan pengamat bahwa hal itu tidak patut dilakukan di China yang penduduknya mayoritas penganut ateisme.
Salah satu unggahan di Sina Weibo, mikroblog terpopuler di China, menunjukkan salah satu masjid di Kota Baoshan membuka kelas selama liburan sekolah musim dingin untuk anak-anak muslim terbelakang belajar Bahasa Arab, membaca Al Qur’an, dan tata cara serta budaya Islam.
Namun postingan di “Twitter”-nya masyarakat China yang memiliki jumlah pengguna lebih dari 300 juta itu sudah dihapus.
Seorang staf Asosiasi Islam China (CIA) Cabang Yunnan membenarkan adanya beberapa pengurus masjid membuka kelas untuk anak-anak muslim yang tidak mampu karena ditinggalkan para orang tua mencari nafkah di luar kota.
“Tidak hanya Bahasa Arab, melainkan juga mereka mempelajari pelajaran umum dan bagaimana mengerjakan PR sekolah,” kata staf yang tidak disebutkan namanya saat dikutip Global Times itu.
Beberapa masjid di provinsi itu membuka kelas dalam beberapa tahun, namun sedikit sekali pesertanya karena makin berkurangnya jumlah anak-anak terbelakang. “Pemerintah tidak mendukung berbagai aktivitas di sini,” kata pria tersebut kepada harian yang dikelola partai berkuasa di China itu.
Memberikan pelajaran kepada anak-anak seperti yang dilakukan di masjid-masjid itu sebenarnya tidak patut, demikian pernyataan Xiong Kunxin, profesor di Minzu University of China, Beijing. “Pola pikir anak-anak belum sempurna dalam memandang dunia. Oleh sebab itu, berbahaya kalau sampai ‘mencuci otak’ mereka dengan pelajaran agama,” kata Xiong.
Undang-Undang Dasar China menyebutkan bahwa warga mendapatkan kebebasan menjalankan keyakinan agamanya…Tidak seorang pun bisa menggunakan agama untuk melaksanakan aktivitas yang dapat mengganggu ketertiban umum, mengganggu keharmonisan sosial, atau mengintervensi sistem pendidikan yang telah ditetapkan oleh negara.
Peraturan Pendidikan di China juga mencantumkan bahwa negara memisahkan pendidikan dengan agama. Tidak satu pun organisasi atau individu boleh menggunakan agama untuk melakukan aktivitas yang bisa mencampuri sistem pendidikan yang telah ditetapkan oleh negara.
Para pelajar di Kabupaten Guanghe, Provinsi Gansu, daerah mayoritas muslim di wilayah barat laut China, dilarang mendatangi tempat-tempat kegiatan keagamaan atau belajar kitab sucinya selama liburan musim dingin yang berlangsung mulai pertengahan Januari hingga awal Maret.
Dinas Pendidikan Provinsi Gansu pada 2016 mengeluarkan surat edaran yang berisi larangan kegiatan keagamaan di sekolah menyusul video yang menayangkan seorang gadis muslim mengenakan baju bertuliskan ayat Al Qur’an menjadi viral di China.
Pada 2015, sekolah dasar Islam di Ibu Kota Provinsi Jilin di Changchun menggelar perayaan hari besar Islam dengan mengundang guru dan pelajar, termasuk dari etnis mayoritas Han dan etnis lainnya untuk menghadiri acara tersebut, demikian pernyataan Lembaga Urusan Keagamaan setempat.
Lembaga tersebut menambahkan bahwa pihak sekolah juga menyunting buku-buku bernapaskan Islam dan budaya Arab guna meningkatkan semangat melestarikan kearifan lokal.