YOGYAKARTA (Independensi.com) – Desakan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat agar mengundurkan diri makin kencang dari berbagai kalangan. Arief Hidayat dinilai sudah tidak pantas menyandang sebagai hakim konstitusi karena telah melakukan pelanggaran kode etik atau tindakan tercela.
Ratusan Dekan dan mahasiswa dari berbagai kampus negeri maupun swasta di Yogyakarta menyatukan sikap mendorong kesediaan Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat melepaskan jabatannya mengingat pelanggaran kode atik yang diperbuat.
Pernyataan sikap itu dituangkan dalam sebuah surat raksasa yang akan dikirimkan kepada Arief Hidayat. “Permintaan mundur ini semata merupakan simpulan kami sebagai akademisi atas apa yang telah Bapak lakukan selama ini, khususnya terkait dengan pelanggaran kode etik,” kata Direktur Pusat Studu Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII), Eko Riyadi membacakan isi surat itu di Gelanggang Mahasiswa UGM, Yogyakarta, Rabu (21/2/2018).
Eko mengatakan sebagai seorang akademisi, terlebih profesor di bidang hukum, Arief Hidayat memahami bahwa pelanggaran etika merupakan corengan yang luar biasa atas karir seorang hakim konstitusi yang selayaknya terhormat dan beretika.
Apalagi syarat seorang hakim konsitusi, kata dia, adalah seorang negarawan yang tidak boleh tercela. Nah, Arief telah melakukan tindakan tercela. Perilaku Arief yang telah dua kali melakukan pelanggaran kode etik, tidak mencerminkan sikap negarawan maupun nilai integritas yang seharusnya dimiliki dan dijunjung tinggi oleh seorang Hakim Konstitusi.
“Sebagai sesama akademisi, permintaan mundur ini tidak memiliki tendensi politik apapun,” kata dia mengutip isi surat itu.
Dosen Fakultas Hukum UII yang juga mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas mengatakan sebagai anak kandung reformasi, MK memiliki kedudukan sebagai puncak lembaga negara yang memiliki keistimewaan di mana 9 hakim MK diberikan gelar tertinggi sebagai negarawan.
MK juga memiliki posisi penting sebagai alas pijak inti pengunci setiap “judicial review” sejumlah Undang-Undang.
“Konsekuensinya yang harus melekat pada hakim itu adalah ahlak dan etika. Namun, kalau unsur itu sudah rontok maka rontok pula predikat negarawan,” kata dia.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto hakim MK sebagai pengawal hukum, ketatanegaraan, sekaligus peradaban Indonesia tidak boleh berkutat dibalik norma hukum, melainkan harus menegakkan nurani, nalar, dan kebudayaan.
“Sehingga kita memiliki pilihan apakah membiarkan jalan ketatanegaraan kita menuju kehancuran atau mau mengoreksi ini,” ujar Sigit.
Ratusan Dekan dan mahasiswa yang ikut dalam pernyataan sikap itu antara lain dari UGM, UIN Sunan Kalijaga, UII, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Janabadra, Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Proklamasi, serta Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). (ant/kbn)