JAKARTA (Independensi.com) – Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merilis realisasi pembiayaan utang pada Januari 2018 telah mencapai Rp21,4 triliun atau 5,4 persen dari target APBN sebesar Rp399,2 triliun.
Meski demikian realisasi tersebut menurun dibandingkan pembiayaan utang pada 2017 sebesar Rp82,1 triliun.
Sri Mulyani dalam jumpa pers, Selasa (22/2/2018), memaparkan realisasi pembiayaan utang pada Januari 2018 tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp15,5 triliun dan pinjaman Rp5,9 triliun.
“Penerbitan SBN neto sebesar Rp15,5 triliun atau 3,74 persen dari target ini bermanfaat untuk menutup defisit APBN yang telah tercatat Rp37,1 triliun,” ujar menkeu.
Meski total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp3.958,66 triliun yang terdiri dari penerbitan SBN Rp3.206,3 triliun dan pinjaman Rp752,38 triliun. Namun posisi utang tersebut seiring dengan meningkatnya PDB Indonesia di 2017 sebesar Rp13.588,8 triliun. Hal itu menunjukan kemampuan utang dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi mengapa pemerintah terus berutang? Kementerian Keuangan dalam paparannya pernah menjelaskan, utang merupakan konsekuensi dari APBN yang terus menerus mengalami defisit. Angka defisit sendiri merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Defisit muncul karena pembiayaan tidak sebanding dengan pengeluaran.
Lalu selanjutnya, apabila kita telaah asal usul utang Indonesia sejak era pasca kemerdekaan RI maka perlu ditelaah apakah utang tersebut memang digunakan untuk pembangunan ekonomi bangsa atau untuk keperluan lainnya yang tidak jelas berguna. Kasihan rakyat dan keturunan bangsa ini yang harus ikut menanggungnya.
Sejarah Utang dan Hiperinflasi
Sejarah mencatat usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada 1967, Soeharto dihadapkan kondisi serba tak stabil, terutama di bidang ekonomi. Masalah paling pelik yang dihadapi pemerintahan Soeharto adalah hiperinflasi (mencapai 650 persen) yang menyebabkan melonjaknya harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Faktor utama penyebab hiperinflasi adalah rezim Sukarno hanya mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek mercusuar sejak awal 1960-an.
Hiperinflasi hanya satu dari sekian masalah ekonomi yang harus dihadapi Soeharto. Indonesia Investments, lembaga pemerhati ekonomi Indonesia dari Belanda, dalam laporan berjudul “History of Indonesia: Politics and the Economy Under Sukarno” menyebutkan, pada masa itu Indonesia juga terbebani utang besar sementara di waktu bersamaan ekspor melemah dan pendapatan per kapita menurun secara signifikan.
Pada 1960, melalui Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Sukarno sempat mengeluarkan Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969 yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam negeri. Tetapi, pada 1964, strategi itu ditinggalkan sebab situasi ekonomi makin memburuk: inflasi masih tinggi, basis pajak mengikis, arus pemindahan aset finansial ke riil begitu besar, hingga konfrontasi dengan Malaysia yang menyerap sebagian besar anggaran pemerintah.
Sukarno boleh saja mahir dalam bahasa dan retorika, tapi ia gagal mengurus ekonomi. Alih-alih peduli pada masalah ekonomi, ia malah mencurahkan waktunya untuk berpetualang dalam demagogi politik. Reportase majalah The New Yorker (23 November 1968) menyatakan bahwa akibat Sukarno salah urus, Indonesia dihadapkan pada posisi kebangkrutan dan diprediksi akan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.
Soeharto menyiapkan beberapa langkah untuk membebaskan Indonesia dari belitan krisis ekonomi. Mengutip Guy Fauker dalam makalahnya, “The Indonesian Economic and Political Miracle” (1973), langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah mengubah arah haluan ekonomi: dari pro-Timur menjadi pro-Barat.
Soeharto lantas membentuk Tim Ahli di Bidang Ekonomi dan Keuangan yang berisikan ekonom dari Universitas Indonesia. Tim ini dipimpin Widjojo Nitisastro. Kelak, kelompok tersebut dikenal dengan nama “Mafia Barkeley” dengan kebijakan-kebijakannya yang berlandaskan liberalisasi ekonomi serta pasar bebas.
Heinz Wolfgang Arndt dalam The Indonesian Economy: Collected Papers (1984) menjelaskan, rencana pemulihan ekonomi Indonesia dibagi menjadi tiga tahapan: stabilisasi, rehabilitasi, dan pembangunan. Tiga tahapan tersebut lalu diwujudkan ke dalam beberapa langkah seperti penghentian hiperinflasi dan memulihkan stabilitas makroekonomi, penjadwalan utang luar negeri, hingga membuka pintu bagi penanaman modal asing.
Pembentukan IGGI
Setelah keran investasi asing dibuka, langkah berikutnya ialah mencari bantuan luar negeri. Namun, Indonesia mendapat halangan. Beban neraca pembayaran luar negeri sebagai akibat utang yang diwariskan Orde Lama membuat Indonesia sulit memperoleh kreditur maupun pendonor.
Dalam “Survey of Recent Developments” (1966) yang diterbitkan Bulletin of Indonesian Economics Studies, Arndt dan J. Panglaykim menjelaskan, Indonesia tidak mampu membayar cicilan maupun bunga utang luar negeri. Bank Indonesia, terang mereka, bahkan tidak mampu membayar letters of credit serta terpaksa menunda pembayaran kredit perdagangan luar negeri yang totalnya mencapai 177 juta dolar AS.
Dengan kondisi seperti itu, catat Radius Prawiro dalam Indonesia’s Struggle for Economic Development-Pragmatism in Action (1998), Indonesia tidak memiliki kualifikasi cukup untuk memperoleh bantuan kredit luar negeri. Sebagai solusinya, Soeharto kemudian mengirimkan delegasi ke berbagai negara kreditor guna membahas moratorium utang luar negeri. Yang dituju: London dan Paris Club—kelompok informal kreditur di pentas internasional.
Melalui diplomasi yang intensif dalam forum London dan Paris Club, masih menurut Radius, pemerintah Indonesia mengajukan gagasan pembentuk konsorsium negara-negara kreditur untuk Indonesia. Pertemuan dengan Paris Club merupakan peluang pertama bagi pemerintah untuk menjelaskan kebijakan ekonomi macam apa yang bakal ditempuh guna keluar dari krisis.
Setelah berdiskusi panjang-lebar, forum tersebut akhirnya menyetujui adanya moratorium bagi Indonesia. Forum juga sepakat membentuk konsorsium bernama IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD pada 1967. Tujuan pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.
Arndt menerangkan, IGGI memberi bantuan dalam wujud program untuk memperkuat neraca pembayaran, baik berupa kredit valuta asing maupun bantuan pangan. Selebihnya, bantuan disalurkan dalam bentuk proyek. Pertemuan pertama IGGI dilakukan pada 20 Februari 1967, 51 tahun silam, di Amsterdam. Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwana IX.
Sejak diberlakukannya moratorium utang luar negeri dan pembentukan IGGI, catat John Bresnan dalam Managing Indonesia: The Modern Political Economy (1993), kucuran pinjaman terus berdatangan. Pada 1967, misalnya, Indonesia memperoleh pinjaman 200 juta dolar AS.
Dalam rentang 1967-1969, bantuan luar negeri menyumbang 28% pembiayaan pemerintah. Data USAID 1972 menyebutkan, dari 1967-1969, Belanda memberikan bantuan paling besar yakni 140 juta dolar AS. Kemudian disusul Jerman ($84,5 juta), Amerika Serikat ($41,1 juta), dan Jepang ($10,6 juta). Uang tersebut lalu digunakan untuk memperbaiki perekonomian hingga menggiatkan pembangunan.
Selain itu, saat Pertamina terlilit utang 40 juta dolar AS kepada The Republic National Bank of Dallas pada 1976, IGGI, seperti ditulis Bresnan, berjanji memberikan bantuan pembiayaan darurat sebanyak 1 miliar dolar AS. Uang itu digunakan untuk melunasi utang sekaligus menutup biaya proyek Pertamina seperti pabrik baja Krakatau Steel dan proyek LNG.
Cyrillus Harinowo dalam Utang Pemerintah: Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya (2002) menyebut, IGGI berfungsi sebagai kasir pemerintah Indonesia sekaligus penasihat dalam pelaksanaan pembangunan. Lembaga ini mengadakan pertemuan rutin tiap tahun untuk membahas serta mengevaluasi kinerja pemerintah di bidang ekonomi maupun pembangunan.
Setelah mengalami masa kemesraan yang lama, Indonesia dan IGGI pecah kongsi pada 1992. Thomas Lindblad dalam Indonesia: A Country Study (2011) mengatakan, pemicu putusnya hubungan IGGI dan Indonesia adalah tragedi Santa Cruz di Timor Timur pada November 1991. Kala itu, tentara menembaki warga saat berlangsung upacara pemakaman aktivis pro-kemerdekaan bernama Sebastiao Gomez. Korban tewas dalam tragedi itu, menurut versi pemerintah Indonesia, “hanya” 50 warga sipil. Sementara versi laporan lainnya, warga sipil yang tewas mencapai 273.
Imbasnya, Belanda yang saat itu jadi koordinator IGGI menangguhkan bantuan ke Indonesia. Aksi Belanda lalu disusul Denmark dan Kanada sebagai wujud kecaman. Soeharto yang melihat aksi cabut bantuan tersebut lantas berang. Ia merasa tersinggung. Pada Maret 1992, Soeharto menegaskan sikap bakal menolak semua bantuan ekonomi, terutama dari Belanda.
Akan tetapi, sikap tegas pemerintah tak berlangsung lama. Prawiro menyebutkan, Indonesia masih membutuhkan bantuan luar negeri. Maka dari itu, dibentuklah CGI (Consultative Group on Indonesia) yang diprakarsai Bank Dunia dan diketuai Jepang.
Anggota CGI, jelas Pranowo, merupakan bekas anggota IGGI kecuali Belanda. Fungsi utama CGI adalah sebagai forum bagi Indonesia untuk bernegosiasi dengan lembaga internasional dan negara-negara pendonor.
Sepak terjang CGI terlihat menonjol saat krisis ekonomi 1998. Sebagaimana ditulis Lindblad, CGI berperan penting dalam memfasilitasi restrukturisasi utang internasional selama krisis Asia dengan pinjaman sebesar 8 miliar dolar AS.
Kiprah CGI berhenti pada 2007 ketika presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta CGI dibubarkan. Alasannya, mengutip Thee Kian Wie dalam Pembangunan, Kebebasan, dan ‘Mukjizat’ Orde Baru: Esai-Esai, ialah waktunya bagi Indonesia untuk mampu merancang dan menjalankan sendiri program ekonomi secara mandiri.
Ketergantungan dan Kepentingan
Relasi antara Indonesia dan IGGI menandakan dua hal. Pertama, ada kepentingan IGGI di balik bantuan yang diberikan. Kedua, relasi dengan IGGI membuat Indonesia terjebak dalam ketergantungan utang kepada negara-negara Barat.
Andrew Mack dalam tesisnya di University of Sydney berjudul Rethinking the Dynamics of Capital Accumulation in Colonial and Post-Colonial Indonesia: Production Regulation (2001) menjelaskan, terdapat tujuan tertentu di balik dukungan negara-negara donor kepada Indonesia. Frasa “tujuan tertentu” yang dimaksud Mack ialah negara-negara pendonor tersebut meminta timbal balik kepada Indonesia berupa penguasaan sektor-sektor industri penting.
Mack menjelaskan, jatah yang diminta negara-negara pendonor berdampak pada tidak diberikannya ruang bagi perusahaan lokal untuk mengelola industri ekstraktif dengan produksi keuntungan yang tinggi. Kepentingan asing di Indonesia telah memaksa perusahaan lokal tunduk pada status perusahaan asing sebagai produsen-korporat di Indonesia serta agen pemasaran produk.
Selama masa pembangunan Orde Baru, tambah Mack, hubungan antara pemodal internasional, pendonor, dan pemerintah telah menutup kemungkinan bagi pengusaha atau perusahaan lokal menguasai sektor-sektor ekonomi penting.
Efek buruk ketergantungan terhadap utang luar negeri juga terasa ketika krisis ekonomi melanda. Pada 15 Januari 1998, Indonesia meminta bantuan IMF untuk menyelamatkan kondisi perekonomian. IMF pun setuju memberikan paket bantuan keuangan multilateral yang diberikan secara bertahap dalam jangka waktu 3 tahun senilai 43 miliar dolar AS. Namun, sejumlah syarat harus dipenuhi, di antaranya keharusan pemerintah Indonesia melikuidasi 16 bank yang “sakit”.
Kenyataannya, likuidasi bank malah memicu penarikan dana besar-besaran (rush) oleh nasabah yang panik dan menciptakan situasi di mana tingkat kepercayaan investor menurun. Hasilnya: utang domestik Indonesia membumbung sampai angka 80 miliar dolar AS saat itu.
Semenjak kejatuhan Orde Baru, pemerintah masih terus bergantung pada IMF. Setidaknya, sepanjang periode 1997-2003, Indonesia sudah meneken 26 kali kesepakatan dengan IMF. Berselang tiga tahun, saat pemerintahan SBY, utang Indonesia kepada IMF dilunasi.
Lunasnya utang Indonesia kepada IMF bukan berarti menghentikan ketergantungan Indonesia akan pinjaman dari negara donor. Ketergantungan tersebut diteruskan pemerintahan Jokowi.
Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pada Juni 2017, Indonesia memiliki utang kepada pihak-pihak terkait seperti Islamic Development Bank (Rp9,95 triliun), Jerman (Rp24,3 triliun), Perancis (Rp24,3 triliun), Jepang (Rp196,98 triliun), Amerika (Rp8,26 triliun), sampai Bank Dunia (Rp234,68 triliun).
Pada akhir 2016, jumlah total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 317,08 miliar dolar AS. Jumlah ini 2,04 persen lebih besar dari tahun sebelumnya (310,73 miliar). (berbagai sumber/ant/tirto/eff)