Peningkatan Konsumsi Protein Hewani Merupakan Simbol Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan

Loading

BOGOR (IndependensI.com)  – Pemenuhan protein hewani sangat berperan penting dalam menyehatkan dan mencerdaskan anak bangsa. Peningkatan konsumsi protein hewani asal ternak dapat dimaknai juga sebagai upaya mengoptimalkan pangsa pasar domestik yang sekaligus juga merupakan simbol kebangkitan ekonomi kerakyatan. Hal itu disampaikan oleh I Ketut Diarmita selaku Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian pada acara Seminar Nasional Industrialisasi Unggas Lokal yang Berdaya Saing  yang dilaksanakan pada hari ini Selasa 27 Februari 2018 di Bogor dan dihadiri oleh para pelaku perunggasan di Indonesia.

I Ketut Diarmita mengungkapkan, protein hewani asal ternak ini memiliki posisi penting karena menentukan kualitas sumberdaya manusia sebagai ‘agen perubahan’.

Protein hewani asal ternak dapat bersumber dari daging, telur dan susu. I Ketut menyebutkan, telur dan daging ayam  untuk saat ini merupakan sumber protein hewani yang mudah dijangkau, mudah dipelihara dan murah harganya dibanding dengan daging ruminansia besar maupun ruminansia kecil.

Selain itu, ketersediaannya pun sangat mencukupi karena Indonesia sudah swasembada daging unggas, bahkan over supply. “Jumlah populasi unggas di Indonesia yang pada tahun 70-an hanya ratusan ribu ekor kini telah menjadi lebih dari 1 Milyar ekor,” ujar I Ketut. “Ini suatu lompatan yang luar biasa,” tandasnya,  sehingga produksi daging unggas yang sudah swasembada ini dapat menjadi motor untuk mengubah pola konsumsi protein hewani asal ternak dari red meat ke white meat, ucap I Ketut Diarmita.

Lebih lanjut Dirjen PKH menyampaikan, selama hampir 5 dekade terakhir peranan unggas baik lokal maupun ras semakin meningkat tajam dalam sumbangannya terhadap produksi daging nasional. Berdasarkan data statistik peternakan, pada awal tahun 70an kontribusi daging unggas hanya sebesar 15%, tetapi pada tahun 2017 produksinya telah mencapai 2.147,21 ribu ton atau 66,34% terhadap produksi daging secara keseluruhan.

Ia juga menyebutkan, bahwa produksi telur juga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam penyediaan protein hewani. Dari total produksi telur secara keseluruhan sebanyak 1.970.853 ton, telur ayam buras sebanyak 196.138 ton (9,95%), sedangkan telur ayam ras sebanyak 1.428.195 ton (72,47%), dan telur itik sebanyak 290.110 ton (14,72%).

“Populasi unggas lokal seperti ayam buras dan itik cenderung stabil, dan peningkatannya relatif kecil,” kata I Ketut Diarmita. Menurutnya, selama tahun 2012 – 2015 peningkatan ayam buras hanya berkisar antara 4 – 5%, sedangkan ayam ras pedaging 6%, ayam ras petelur 5,7% serta itik 0,1%. “Peningkatan populasi unggas lokal tidak setinggi ayam ras, sehingga ayam buras makin lama makin tertinggal peningkatan populasinya,” ungkapnya.

Selain populasi, produksi ayam buras juga dinilai lambat dan usahanya dibatasi persyaratan hanya untuk UMKM. Dengan demikian I Ketut berpendapat, unggas lokal perlu diarahkan dan dikembangkan dengan sentuhan teknologi agar tetap berkembang tetapi tetap menjadi perusahaan mikro kecil dan menengah dan tidak mengcopy paste pola pengembangan ayam ras. Saat ini pengembangan unggas lokal masih bersifat mikro dimana penguasaan input produksi sejak dari hulu sampai hilir  identik dengan peternakan rakyat yang berbasiskan sumber daya lokal. Sebaliknya untuk ayam ras telah menjadi industri besar (perusahaan) yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir yang mampu memenuhi konsumsi daging dan telur domestik.

I Ketut melihat, ayam buras sangat akrab di pedesaan dan dapat menjadi kegiatan penting untuk menggerakkan perekonomian pedesaan. Untuk itu, pemerintah mengembangkan usaha ternak ayam buras di masyarakat sebagai instrumen dalam program pengentasan kemiskinan dan perbaikan gizi masyarakat.

“Selain ayam buras, itik juga dapat menjadi instrumen penting untuk peningkatan gizi masyarakat dan tambahan ‘income’ bagi Rumah Tangga yang memelihara,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama Ketua HIMPULI, Ade M Zulkarnain mengatakan, tren usaha ayam lokal terus meningkat dan bisa menjadi penyediaan pangan berbasis sumberdaya lokal. Untuk itu Ia berpendapat pengembangan unggas lokal juga harus tetap menjaga kelestarian plasma nutfah.