JAKARTA (Independensi.com) – KKP telah menyiapkan strategi nasional untuk pengendalian kesehatan ikan dan lingkungan. Strategi tersebut tertuang dalam dokumen National Strategy on Aquatic Animal Health and Environment yang diserahkan langsung FAO Representative, Mark Smulders kepada pihak KKP, Selasa (27/2/2018).
Dalam pengantarnya, Mark Smulders menyampaikan bahwa dokumen tersebut merupakan salah satu output dari kerjasama KKP-FAO dalam proyek TCP/INS/3402 yang memuat stretegi umum yang komprehensif dalam membangun dan meningkatkan kapasitas pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan di Indonesia.
“Saya berharap strategi pengelolaan ini dapat diimplementasikan untuk mengurangi resiko serangan penyakit ikan dan upaya pengendalian lingkungan”, terangnya.
Dalam kesempatan yang sama Sekretaris Ditjen Perikanan Budidaya, Tri Hariyanto, mengatakan dokumen strategi ini untuk merespon berbagai kasus merebaknya hama, penyakit ikan dan penurunan kualitas lingkungan di beberapa sentral kawasan budidaya di Indonesia.
Menurutnya, kematian ikan akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas lingkungan masih menjadi permasalahan laten dan dirasakan semakin kompleks.
“Kondisi cuaca ektrim dengan intensitas hujan yang tinggi, justru memunculkan kembali beberapa patogen penyakit seperti Motil Aeromonas septicemia. Ini yang harus kita waspadai, dengan sedini mungkin melakukan upaya mitigasi”, tegas Tri saat membuka pertemun Pencegahan dan Penanganan Kematian Ikan di gedung KKP, Senin (26/2/2018).
Tri juga mengingatkan potensi resiko jenis penyakit lintas batas baru yang mengancam usaha perikanan budidaya seperti Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND); White Feces Syndrome (WFS); Enterozyton hepatopenaei (EHP) dan Tilapia Lake Virus ( TiLV).
“Perlu upaya kerjasama lintas sektoral bahkan lintas negara khususnya dalam mengantisipasi penyebaran penyakit ikan lintas batas ini. Risk analysis import harus diperketat lagi termasuk pengawasan pada pintu-pintu masuk pelabuhan muat ekspor.
Ia juga memberikan gambaran bahwa permasalahan pada usaha budidaya udang yakni belum lepasnya dari resiko wabah virus WSSV, IMNV dan penyakit WFD, sehingga mengancam produktivitas budidaya udang di sentral-sentral produksi.
“Mitigasi dan peringatan dini menjadi hak mutlak dilakukan. Peta sebaran penyakit; kecenderungan penyebaran beserta pemicunya, dan langkah antisipatif harus diketahui secara real time dan sampai ke pembudidaya secara cepat”, imbuhnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, menyampaikan bahwa dalam upaya melakukan antisipasi resiko penyebaran penyakit dan penurunan kualitas lingkungan, KKP mendorong pembudidaya untuk betul-betul konsisten dalam menerapkan Cara Budidaya Ikan Yang Baik (CBIB).
Pemenuhan sertifikasi lingkungan seperti ijin lingkungan yang didalamnya terksit dengan dokumen Amdal dan atau UKL/UPL harus dipenuhi, utamanya bagi unit usaha skala menengah/besar dan memiliki resiko dampak penting bagi lingkungan hidup.
“KKP juga terus mendorong pendekatan pengembangan budidaya berbasis klaster. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menjamin pengelolaan budidaya secara terintegrasi, bertanggubgjawab dan berkelanjutan. Kita perkuat biosecurity, pengelolaan limbah, dan manajemen pengelolaan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir”, jelas Slamet.
Bentuk Tim Kerja
Sementara itu, berbagai kasus kematian ikan massal kembali muncul khususnya di perairan umum seperti di danau Maninjau dan waduk Cirata. Penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan ditengarai menjadi penyebab utama kasus tersebut.
Tercatat selama kurun waktu 4 tahun terakhir, dimana puncaknya terjadi pada tahun 2016 terjadi kematian massal ikan di perairan umum. Data menyebutkan dalam kurun waktu tahun 2016, setidaknya total 4.725 ton ikan mati atau sekitar 0,95 persen dari total produksi budidaya KJA air tawar secara nasional.
Jumlah ini diperkirakan menelan kerugian ekonomi hingga mencapai Rp. 47,25 milyar (asumsi harga ikan Rp. 10.000 per kg). Kejadian kematian massal ikan tersebut juga berpotensi menurunkan produksi perikanan budidaya yang berasal dari KJA perairan umum hingga 23,5 persen.
Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah membentuk Tim Kerja yang berasal dari berbagai elemen. Tim Kerja tersebut yakni Satgas Pengelolaan Usaha KJA di waduk Cirata yang bertugas melakukan pengawasan, melakukan hal hal antisipatif, memberikan rekomendasi berkaitan dengan pengelolaan usaha KJA di waduk Cirata.
Sedangkan Tim Kerja Penanganan Kematian Massal Ikan bertugas dalam melakukan langkah antisipatif dan pengendalian terhadap kematian massal ikan.
“Tim Kerja ini diharapkan dapat memberikan informasi dini, menentukan langkah antisipatif dan rekomendasi bagi upaya penanggulan secara komprehensif”, pungkas Tri. (eff)