JAKARTA (IndependensI.com) – Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia telah dirumuskan oleh para pemimpin bangsa kita sejak sebelum negara ini merdeka.
Bukan sekadar dasar negara, Pancasila adalah alat pengikat dari berbagai suku, agama, ras dan golongan yang ada Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa pengikat yang kuat, tentunya bangsa yang majemuk ini tidak akan bisa bersatu.
“Paling tidak ada 30-an kerajaan yang dianggap besar, bahkan dihitung yang kecil-kecil bisa sampai 500-an. Itulah yang menjadi Indonesia. Kalau tidak ada pengikatnya bisa bubar. Tapi karena ada pengikat yang namanya Pancasila ya kita sampai sekarang Alhamdulillah tetap bisa bersatu. Posisi pentingnya Pancasila di situ,” kata sejarawan Indonesia, Dr Anhar Gonggong, di Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Menurutnya, Indonesia ini adalah negeri yang berpenduduk majemuk dengan sekian banyak etnik. Terdapat 15 etnik yang penduduknya lebih dari 1 juta orang seperti Jawa dan Sunda. Namun ada juga etnik kelompok kecil seperti salah satu suku di Papua yang berjumlah hanya sekitar 100-an keluarga. Meski secara geografis Indonesia terdiri atas pulau-pulau, namun sejatinya bangsa ini dipersatukan oleh laut dan sungai.
“Harus dipahami bahwa laut dan sungai itu bukan pemisah. Tapi dia justru alat pemersatu. Orang tidak mungkin ke pulau yang lain kalau tidak lewat laut atau lewat sungai dan sebagainya. Keadaan kita yang hiterogen, majemuk, dan pluralistik ini tidak mungkin kita itu bersatu dalam satu negara kalau tidak ada alat untuk mengikat,” ujar pria yang juga pengajar di Lemhanas RI ini.
Karena kalau ini tidak diikat dalam satu kesatuan menurutnya, tidak mungkin kita semua masyarakat Indonesia ini bisa menjadi satu dan bersatu. Namun harus diingat bahwa orang bisa satu tapi belum tentu bersatu Kita bisa menjadi bangsa Indonesia tapi belum tentu bersatu.
Anhar menontohkan, Korea, satu bangsa dua negara. Demikian pula dengan China, yang mungkin bisa bisa dikatakan ada Republik Rakyat China yang besar penduduknya, tapi ada Taiwan, lalu ada Singapura yang juga mayoritas China.
“Jadi ada Satu Bangsa tapi belum tentu bisa bersatu, bahkan bisa berkelahi. Arab ngaku Satu Bangsa Arab, tapi negaranya ada berapa? Oleh karena itu apa alat yang bisa mengikat ini yang satu supaya bersatu, yakni Pancasila,” ujarnya.
Mantan Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI ini mengatakan bahwa dalam sejarah Indonesia tidak mungkin bangsa ini merdeka jika tidak ada kerjasama antara kekuatan nasionalis dan kekuatan nasionalis agama.
“Dan Pancasila sendiri adalah hasil rumusan bersama dari dua kekuatan itu. Jadi kalau ada orang Islam yang mengatakan Pancasila bukan milik dia, maka dia nggak ngerti perjalanannya. Nah ini yang harus dipahami orang,” ujarnya menjelaskan.
Milhat sejarah tersebut maka pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, 14 Agusts 1943 ini mengatakan, kalau ada orang yang mau mengganti Pancasila maka sejatinya orang tersebut tidak mengerti kenyataan sosiologis dan antropologis bangsa Indonesia ini. Karena sebagai negara kepulauan, Indonesia dalam pengertian geografis itu dihubungkan atau dipersatukan oleh sungai dan laut.
“Ada Jawa, ada Sumatera, ada Kalimantan, dan sebagainya. Di situ semua ada laut dan sungai sebagai pemersatu bangsa ini. Jadi secara geografis kita harus mencari, merumuskan sesuatu yang bisa mempersatukan kita,” ujarnya.
Karena secara antropologis suku bangsanya begitu banyak, secara historis kerajaan yang di atas wilayah ini juga cukup banyak sehingga kita merumuskan diri kita sebagai bangsa baru dan untuk kemudian menegakkan negara, dan diperlukan alat untuk mengikat yang namanya Pancasila tadi.
“Alhamdulillah Bung Karno berwsama pemimpin-pemimpin kita bersepakat bahwa kita buat dasar yang namanya Pancasila yang lima sila itu untuk mempersatukan kita semua ini,” ujarnya.
Untuk itu dirimya meminta kepada masyarakat agar dapat terus menegakkkan dan mengamalkan Pancasila ini demi menjaga persatuan agar tidak terjadi perpecahan. Dirinya mencontohkan jaman Bung Karno dulu dikenal dengan istilah indoktrinasi Manipol Usdek yang kepanjangannya adalah Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Lalu di orde baru dulu ada BP7 dengan Penataran P4.
“Nah itu kan cara yang dilembagakan untuk mensosialisasikan Pancasila. Di Lemhanas bagi orang-orang yang melewati pendidikan di Lemhanas pasti dijarkan tentang Pancasila sejak dulu sampai sekarang. Tetapi setelah reformasi ada kesalahan yang dilakukan yakni seakan-akan Pancasila tidak diajarkan lagi di sekolah secara baik Apalagi sekarang ada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) , mudah-mudahan bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Selain tu menurutya ada tiga unsur utama yang bisa diberdayakan untuk dapat mensosialisasikan dalam penguatan nilai-nilai Pancasila di masyarakat yakni unsur pendidikan formal dari SD sampai Perguruan Tinggi dengan Kurikulum yang jelas, unsur Ormas dan partai Politik harus mengambil peranan untuk mensosialisasikan di lingkungan warganya tentang posisi Pancasila sebagai dasar negara dan unsur masyarakat yang digerakkan RT/RW.
“Mungkin di lingkungan RT/RW itu ada intelektual atau ada sarjana yang tahu tentang Pancasila maka Ketua RW nya sekali sekali atau ada jawal tertentu untuk membicarakan tentang Pancasila. Demikian juga di sekolah, harus diberikan secara formal lewat kurikulum. Partai Politik jangan hanya sibuk pada waktu pemilu saja. Ssetelah pemilu juga sibuk dalam kerangka mempertahankan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila itu. Saya kira kalau ini dilakukan secara intensif maka pemahaman orang tentang Pancasila akan lebih baik,” ujarnya.
Setiap orang boleh berbeda pendapat tetapi tidak perlu pakai kekerasan.
Untuk itu dirinya berpesan kepada masyarakat untuk ikut aktif dalam memahami Pancasila dalam upaya menjaga persatuan di negeri yang majemuk ini. Lalu dalam rangka pemilu mendatang setiap orang boleh berbeda pendapat tetapi tidak perlu pakai kekerasan.
“Jadi nanti dalam pemilu yang akan datang saya menghimbau kepada masyarakat dan kepada rakyat golongan apapun anda, dari partai apa pun anda, mari kita mencapai tujuan kita tanpa harus bertengkar dan tanpa haru berkelahi. Itu yang namanya demokrasi. Mari kita jalani aturan yang disepakati bersama karena memang demokrasi harus dijalankan di atas aturan-aturan yang disepakati bersama,” ujar Dosen Sekolah Tinggi Intelijen Negara ini.
Dirinya juga meminta kepada seluruh elemen masyarakat dalam melayangkan perbedaan tidaklah perlu membedakan antar golongan ataupun menunjukkan dengan membawa-bawa nama agama. Karena apapun suku, Agama atau keyakinannya, ketika berada dalam negara Republik Indonesia, maka Pancasila adalah dasar negaranya.
“Tidak perlu mereka katakan saya mau Islam, saya mau Kristen, saya mau ini dan sebaaginya. Boleh saja asal secara demokratis, dalam pengertian demokrasi yang dijalankan berdasarkan Pancasila itu, berdasarkan aturan aturan. Jadi Pancasila itu adalah dasar negara kita yang mempersatukan kita dari segala macam perbedaan yang ada,” ujarnya mengakhiri.