IndependensI.com – Pembuatan batik, terutama motif dan warna tidak bisa lepas dari sejarah dan budaya. Hampir semua daerah penghasil batik memiliki ciri khas atau keunikan, baik dari sisi motif maupun warna.
Lebih dari itu, setiap motif maupun warna memiliki filosofi yang sangat dalam dengan penuh makna seperti halnya batik rifaiyah. Batik rifaiyah merupakan salah satu kerajinan batik yang menggunakan warna alam yang kelihatan lusuh dan lawas.
Akan tetapi produk batik ini menjadi ciri khas warna alam yang di buat dengan penuh cinta sehingga banyak diminati orang luar negeri. “Akulturasi sentuhan warna dan corak Eropa dan China membuat batik rifaiyah ini merupakan batik multikultur, dengan masuknya spirit Islam,”. Pernyataan itu terlontar dari Miftakhutin (40), perempuan perajin batik tulis di Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Kala berdiskusi dengan sejumlah wartawan pada kegiatan kunjungan media yang difasilitasi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) di galeri, “workshop” sekaligus sentra batik rifaiyah di Jalan Mataram III RT02/RW02, Kalipucang Wetan, Kabupaten Batang, pada Rabu (2/5/2018), menurut Utin — panggilan karib Miftakhutin — ia bercerita panjang lebar mengenai sejarah batik tulis khas daerah itu, yang hingga kini masih bertahan.
Ikhwal batik multikultur, peneliti batik yang juga teman Utin, yakni William Kwan menyebut bahwa batik rifaiyah dikenal pula dengan sebutan “batik tiga negeri”.
Tiga negeri itu yakni dari daerah Lasem terkenal dengan warna merah, Pekalongan dengan warna biru, dan Solo dengan warna cokelat.
Dalam laman https://infobatik.id/batik-tiga-negeri-khas-batang/, William Kwan menyatakan “batik tiga negeri” diberikan jika warna merah, biru dan cokelat dibubuhkan bersamaan pada sehelai kain batik.
Meski masih bertahan, Utin mengutarakan sebuah kekhawatiran yang serius, yakni bagaimana masa depan batik rifaiyah jika perajinnya kian berkurang.
Pendiri Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya, yang kini posisinya sebagai penasihat itu mengungkap data saat ini perajin batik rifaiyah itu rata-rata di atas 35 tahun.
Ada lebih dari 100 perajin, namun yang aktif sejumlah 87 orang. “Anak-anak muda perempuan tidak lagi tertarik untuk membatik, ada yang berusia 18 tahun satu orang saja,” kata Utin, generasi kelima dari keluarganya yang meneruskan tradisi membatik hingga saat ini.
Perempuan muda setempat saat ini maunya bekerja dengan hasil instan sehingga membatik dengan menjaga warisan tradisi itu hanya menjadi pilihan terakhir.
Itu sebabnya regenerasi untuk menjaga dan melestarikannya mengalami ancaman karena tidak mustahil dengan berkurangnya peminat di kalangan muda akan membuat batik rifaiyah terancam hilang dan bahkan punah.
“Saya berinisiatif untuk membuka pelatihan gratis, semua bahan dan perlengkapan disediakan, tetapi peminatnya hanya dua orang saja,” katanya.
Ajaran Kyai Rifai Secara umum, perajin batik rifaiyah adalah sebuah komunitas yang mengambil spirit dari ajaran KH Ahmad Rifai, yang dikenal dengan sebutan Kyai Rifai.
Utin menyebut komunitas rifaiyah itu semuanya adalah santri yang mengikuti ajaran Kyai Rifai, dan kemudian meneruskan tradisi membatik dengan batik rifaiyah itu, yang didasarkan pada nama Kyai Rifai.
Berdasarkan rujukan sejarah, ia adalah salah satu ulama besar yang lahir di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 Hijriyyah, atau 1786 Masehi.
Sikapnya yang kritis membuat Belanda membuangnya ke daerah Ambon. Ia juga diasingkan ke Manado hingga akhirnya wafat pada tahun 1876 Masehi di Sulawesi Utara.
Kiprah dan perjuangannya melawan penjajahan pemerintah kolonial Belanda itulah yang akhirnya membuat negara menganugerahkan gelar pahlawan nasional.
Gelar pahlawan nasional itu berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 086/TK/2004 pada saat era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Utin sebagai generasi penerus membatik dengan spirit rifaiyah mengingat bahwa ajaran-ajaran Kyai Rifai, di antaranya berupa syair-syair yang ditulis dalam bahasa “Arab Pegon” atau kitab-kitab berbahasa Jawa berhuruf Arab selalu disenandungkan saat membatik.
Syair yang disenandungkan saat membatik, tidak lain adalah selain mengingat ajaran Kyai Rifai yang berlandaskan nilai ke-Islam-an juga “meramaikan” suasana karena sebelumnya perajin yang serius dan fokus membatik membuat suasana hening.
“Dengan syair-syair yang diajarkan dan mengandung nilai religi membuat suasana lebih meneduhkan jiwa,” tambahnya.
Motif Motif batik rifaiyah, umumnya menggambarkan tumbuhan. Karena itu, amat jarang ada motif hewan mengingat dalam ajaran Islam dilarang untuk menggambarkan makhluk hidup.
Perkecualian terjadi pada motif yang berasal dari tumbuhan sehingga coraknya mendominasi karya batik tersebut.
Sekurangya ada sebanyak 24 motif dalam batik rifaiyah.
Menurut Sri Mustika dari Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta dalam karya berjudul “Upaya Pelestarian Batik Rifaiyah”, merinci 24 motif khas batik rifaiyah yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Corak tersebut terdiri atas: “pelo ati”, “kotak kitir”, “banji”, “sigar kupat”, “lancur”,”tambal”, “kawung ndog”, “kawung jenggot”, “dlorong”, “materos satrio”, “ila ili”, “gemblong sairis”, “dapel”, “nyah pratin’, “romo gendong”, “jeruk no’i”, “keongan”, “krokotan”, “liris”, “klasem”, “kluwungan”, “jamblang”, “gendaghan” dan “wagean”.
Ia menyebut motif-motif ini ada yang mengandung makna spiritualitas. Misalnya, motif “pelo ati” (ampela dan hati ayam) menggambarkan ajaran sufisme bahwa hati mengandung sifat-sifat terpuji.
Menurut kitab “Tarujumah” susunan Kiai Rifai, di dalam hati terdapat delapan sifat kebaikan, yaitu zuhud (tidak mementingkan keduniawian), qana’at (merasa cukup atas karuniaNya), shabar (sabar), tawakal (berserah diri kepadaNya), mujahadah (bersungguh-sungguh), ridla (rela), syukur, dan ikhlas.
Semua sifat ini mengandung makna kahauf (takut), mahabbah (rasa cinta), dan makrifat (perenungan kepada Allah).
Ampela menggambarkan tempat kotoran, yaitu sifat-sifat buruk manusia sebagaimana terdapat dalam kitab “Tarajumah”, yaitu hubbu al-dunya (mencintai dunia yang disangka mulia namun di akhirat sia-sia), thama’ (rakus), itba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), ‘ujub (suka mengagumi diri sendiri), riya (suka dipuji), takabur (sombong), hasad (dengki) dan sum’ah (suka membicarakan amal kebajikannya pada orang).
Semua sifat tercela dan kotor ini harus dibuang jauh-jauh. Dengan mengenakan kain bermotif “pelo ati”.
Tembus mancanegara Meski ada ancaman penurunan peminat perajin, namun menurut Utin, karya batik rifaiyah itu sudah menembus pasar mancanegara.
“Singapura, Laos dan Jepang, adalah negara-negara di mana batik rifaiyah ini telah diakses di luar negeri,” katanya.
Kisaran harga batik itu, di seputar Rp350 ribu untuk yang termurah hingga Rp3,5 juta untuk termahal.
“Membuat batik tulis memerlukan waktu dan proses tidak singkat, bisa mencapai tiga hingga enam bulan untuk satu karya,” katanya memberi penjelasan korelasi harga dan lamanya waktu pembuatan.
Ia mengaku dukungan pemerintah, baik pusat dan daerah, sangat membantu geliat karya-karya batik tulis rifaiyah itu terus bertahan dan berkembang.
Ketika masih bernama Kemenparekraf dan kemudian lahir Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), dukungan terus mengalir, baik melalui pelatihan maupun promosi.
Utin juga menyebut kebijakan Bupati Batang Wihaji, yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) memakai batik setiap tanggal 8 sangat mendukung apresiasi atas karya-karya batik, tidak saja rifaiyah, namun corak lainnya di daerah itu.
Sedangkan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Batang Wahyu Budi Santoso menyatakan bahwa pihaknya mendukung karya-karya batik khas daerah itu, melalui bantuan promosi dan lainnya.
Terjaganya warisan budaya luhur seperti batik rifaiyah, namun di saat sama juga terancam berkurang dan bahkan bisa punah dengan menurunnya peminat perajin generasi penerus, membutuhkan sinergi bersama, sehingga tidak ada lagi kisah sedih hilangnya salah satu budaya khas bangsa. (ant/kbn)