IndependensI.com – Perbincangan masyarakat hukum tertuju pada pembahasan Rancangan KUHP (RKUHP) antara Pemerintah dan DPR yang katanya sudah 40 tahun terkatung-katung dan dikandung maksud sebagian pihak agar dapat disahkan sebelum 17 Agustus 2018 sebagai kado ulang tahun Kemerdekaan NKRI.
Semua mendambakan KUHP hasil karya bangsa Indonesia, sebab KUHP yang ada sekarang adalah peninggalan Kolonial Belanda, selain teks aslinya bahasa Belanda yang diterjemahkan bebas, situasi, penegakan hukum dan HAM serta perwujudan keadilan juga sudah berbeda.
Kalau beberapa tahun lalu perbicangan akan RKUHP hangat mengenai pengaturan “santet” bagaimana pengaturan, definisi, pembuktian dan sanksi. Sekarang muncul perbincangan baru, yaitu menyangkut pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa telah ada UU Pemberantasan Tindak Korupsi serta UU tentang KPK. Sementara RKUHP yang sedang dirampungkan dikehendaki sebagai kodifikasi hukum pidana sehingga semua pengaturan tentang tindak pidana diatur dalam KUHP tersebut.
Memang dalam struktur hukum kita dikenal juga azas umum lex specialis derogate legis generali artinya UU yang bersifat khusus menghilangkan (mengenyampingkan) UU yang bersifat umum. Timbul persoalan, kalau dalam RKUHP diatur juga tentang pemberantasan korupsi, maka keberadaan KPK akan tergerus, sehingga dianggap sebagai pelemahan KPK, sikap ini didukung pegiat anti-korupsi.
Kekhawatiran itu beralasan, sebab akan menimbulkan tumpang tindih dan ketidak pastian hukum, antara UU Tipikor di satu pihak dan KUHP (baru) di pihak lain, dan kalau terdapat dua peraturan Per-UUan yang mengatur satu masalahn di dalam hukum pidana Majelis Hakim harus menggunakan UU yang meringankan pelaku.
Kondisi demikian maka seolah ada kesengajaan “menggergaji” KPK yang diberi UU kewenangan khusus memberantas korupsi. Pada hal bangsa ini terancam “bangkrut” karena korupsi.
Pemerintah dan DPR “kekeuh” menepis anggapan bahwa tidak ada niat apalagi upaya untuk melemahkan KPK, dan untuk mengatasi kekhawatiran itu telah diatur “pagar pengamannya” dan agar tidak terjadi penyalah-gunaan sebagai akibat adanya tumpang tindih, sebagaimana dikemukakan Prof. Muladi diberikan jangka waktu 2 tahun untuk sosialisasi.
Pihak ICW dan pegiat anti korupsi menyatakan bahwa yang akan menerapkan hukum itu kelak bukanlah Pemerintah dan DPR perancang RKUHP tersebut melainkan majelis hakim, jadi kekhawatiran penggunaan yang meringankan terdakwa koruptor akan terjadi.
Ada juga benarnya, niat baik serta pengaturan yang semula memenuhi rasa keadilan, namun sesuai dengan perkembangan jaman belum tentu seperti yang diharapkan pembentuk KUHP sebagaimana telah kita alami dalam penerapan KUHAP, yang jelas-jelas diatur tentang Praperdilan hanya menyangkut sah tidaknya penangkapan dan penahanan, tetapi dalam perkembangannya sudah melingkupi sah tidaknya penetapan seseorang sebagai tersangka.
Kepastian hukum semakin tidak menentu, apabila dualisme pengaturan tindak pidana korupsi yang sudah ada dalam UU Tipikor akan diatur lagi dalam KUHP (baru). Sesuai dengan azas penerapan hukum pidana bahwa Majelis Hakim akan menggunakan aturan yang meringankan Terdakwa, itu namanya “memberikan” keringanan bagi koruptor, sehinggga tidak sesuai dengan tekad bersama bahwa korupsi adalah musuh bersama dan sebagai kejahatan luar biasa serta kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kita menghormati upaya para ahli, akademisi dan pemerintah serta DPR yang ingin membentuk satu kodifikasi Hukum Pidana, namun tidak perlu lagi dimasukkan tentang tindak pidana korupsi, sebab akan digunakan sebagai peluang untuk melemahkan KPK.
Kepada Tim Pemerintah dan DPR hendaknya mencari solusi untuk kemaslahatan bangsa dan negara tidak usah main “paku mati” bahwa semua kejahatan harus diatur dalam KUHP. Upaya pemberantasan korupsi mendesak, maka ada baiknya dicarikan jalan ke luar, agar korupsi tidak diberi peluang untuk bersimaharaja-lela mengeruk kekayaan dan keuangan negara, maka ego- dan “ngotot-ngototan” dihindari saja dalam pembahasan RKUHP kali ini.
Menurut hemat kita, terlalu rugi dan berbahaya apabila diberi kesempatan atau lobang-lobang kemungkinan (loopholes) bagi para penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan penasihat hukum) untuk menafsirkan secara bebas apalagi memilih yang lebih enteng.
Kita berharap, agar Presiden mengingatkan jajarannya bahwa pemberantasan korupsi sudah lampu merah, sehingga jangan sekali-kali dikasih hati, kecuali ada kesengajaan untuk merusak bangsa ini. (Bch)