IndependensI.com – Di tengah hingar bingarnya menyambut kemenangan Jonatan Christian pebulutangkis putra Indonesia yang memenangkan emas di Asian Games usai mengalahkan Chou Tien Chen dari China Taipei, media sosial sibuk sambung menyambung tentang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Medan dan dua panitera, semua berjumlah 8 orang.
Selain keterangan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, laporan reporter media online juga menyebar bertubi-tubi dari Medan, selain mengamankan ke-8 orang itu, juga diamankan mata uang dollar Singapura. Namun belum diungkapkan jumlahnya serta dalam kaitan apa hakim-hakim yang mulia itu diamankan.
Disebut bahwa selain Ketua dan Wakil Ketua PN Medan yang diduga sebagai Ketua Majelis dan anggota majelis dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, namun belum terungkap perkara korupsi mana. Siapa-siapa yang terlibat dalam kasus OTT sebagai tersangka serta dalam kaitan apa, masih menunggu sampai sampai ada pengumuman resmi dari KPK.
Pengadilan Negeri Medan kebetulan saat ini sedang hangat-hangatnya diperbincangkan orang yang sadar hukum dan yang memiliki rasa keadilan. Sebab seorang ibu rumah tangga warga Tanjungbalai Asahan dijatuhi hukuman 1 tahun enam bulan penjara, karena dipersalahkan sebagai menista agama, pada hal menurut berbagai berita, hanya karena mengeluhkan semakin kerasnya suara toa dari masjid.
Para hakim PN Medan yang terkena OTT itu adalah Ketua Marsudin Nainggolan, Wakil Ketua Wahyu Prasetyo Wibowo dan dua hakim lainnya yaitu Sontan Merauke dan Meri Purba yang diduga anggota majelis perkara tipikor. Yang lebih menariknya lagi Wahyu Prasetyo Wibowo adalah Ketua Majelis yang menjatuhkan hukuman kepada seorang warga bernama Meiliana terpidana penista agama 1 tahun enam bulan tersebut.
Tidak ada hubungan antara persidangan Meiliana dengan kasus OTT atas diri Wahyu Prasetyo Wibowo tersebut, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa yang bersangkutan ternyata bukanlah hakim sejati, akan tetapi adalah hakim “bagai musang berbulu ayam”. Di satu sisi mengadili perkara pada hal dirinya berlumuran masalah dengan bukti konkrit telah terkena OTT. Walaupun belum pasti dia salah, sampai ada penetapan KPK apakah mereka yang sedang diperiksa itu bersalah atau tidak atau akan sebagai tersangka atau tidak. Masih butuh waktu menunggu 24 jam, sejak mereka yang terkena OTT.
Barangkali sebagai manusia yang mempunyai keluarga dan anak, kita pasti iba melihat penderitaan Meiliana, harus meninggalkan anaknya di Tanjungbalai dan harus tinggal di Medan menjalani proses hukum. Mereka-mereka yang melaporkan Meiliana sendiri juga tidak menduga akan seperti itu yang akan menimpa Meiliana
Perasaan bagai disayat sembilu melihat penderitaan Meiliana yang terhukum oleh “peradilan sesat”, maka sebagai bangsa ada baiknya kita bercermin pada kasus Sengkon – Karta, yang dihukum sebagai pembunuh ternyata salah tangkap. Maka Kejaksaan Negeri Bekasi saat itu sebagai eksekutor putusan Pengadilan, mengajukan permohonan schorsing hukuman Sengkon-Karta ke Kepala Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Dengan dukungan Jaksa Agung waktu itu dan ditanggapi positif oleh Ketua Mahkamah Agung Oemar Senoadjie, Komisi III DPR RI Albert Hasibuan ketika itu, maka Sengkon-Karta dapat menghirup udara bebas menunggu proses hukum selanjutnya.
Sebagaima kejadiannya, di satu sisi hakim Wahyu Prasetyo Wibowo yang menghukumnya jauh lebih bermasalah, menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mengatasnamakan Tuhan ternyata hanya di “mulut saja”.
Tidak baik mengabaikan penderitaan Meiliana, dengan putusan “sang hakim” yang sedang bermasalah, ada baiknya Jaksa Agung Prasetyo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly dan Ketua Mahkamah Agung M Hatta Ali berupaya untuk kemanusiaan, keadilan dan kepastian hukum mengatasi penderitaan Meiliana.
Dengan kejadian OTT terhadap para hakim di PN Medan, terbukti bahwa KPK itu sangat dibutuhkan, dan para hakim juga ternyata masih ada bermental koruptif. Biasanya kasus yang terkena OTT tidak sulit diungkap KPK, karena bukti berupa rekaman atau penyadapan pembicaraan, tinggal menanyakan saja. Kalau diakui lanjut, kalau dibantah tinggal memperdengarkan bukti suara atau penggunaan alat komunikasi lainnya. Kasus di atas menyadarkan kita bahwa ternyata sifat koruptif itu masih ada. Untung ada KPK, kalau tidak bangsa ini akan ditelah koruptor.(Bch)