Masa Depan Suku Dayak di Pulau Borneo

Loading

PONTIANAK (IndependensI.com) – Suku Dayak sebagai penduduk asli di Kalimantan (Borneo) mencakup wilayah Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam, serta di Negara Bagian Sarawak dan Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia.

Fakta menunjukkan Suku Dayak sebagai penduduk asli atau pribumi di Borneo, sudah tidak terbantahkan lagi. Dalam dokumen arkeologi membuktikan Kerajaan Kutai Martadipura, Provinsi Kalimantan Timur, milik Dayak Kutai, sebagai kerajaan tertua di Indonesia, dibangun tahun 4 Masehi (M).

Bahkan tahun 1998 Balai Arkeologi Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, mengumumkan fakta mengejutkan, setelah menemukan Kerajaan Nan Sarunai, milik Dayak Maanyan di Amungtai, Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai kerajaan paling tua di Indonesia, lebih tua dari Kerajaan Kutai.

Amungtai terletak di pertemuan Sungai Negara, Sungai Tabalong, dan Sungai Balangan yang bemuara di Laut Jawa. Daerah itu berjarak sekira 190 kilometer dari Banjarmasin, ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.

Salah satu jejak arkeologis digunakan untuk melacak keberadaan Kerajaan Nan Sarunai, berupa bangunan candi kuno di Amuntai. Candi ini dikenal dengan nama Candi Agung, yang dipercaya menjadi salah satu simbol eksisnya peradaban orang-orang Dayak Maanyan di masa silam.

Penelitian Vida Pervaya Rusianti Kusmartono dan Harry Widianto berjudul “Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper Coarse, South Kalimantan” yang dimuat dalam jurnal Berita Penelitan Arkeologi edisi Februari 1998 menyebutkan, pengujian terhadap candi tersebut telah dilakukan pada 1996.

Pengujian terhadap sampel arang candi ditemukan di Amuntai menghasilkan kisaran angka tahun 242 – 226 Sebelum Masehi (SM). Ini membuktikan Kerajaan Nan Sarunai jauh lebih tua dari Kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri pada abad ke-4 Masehi.

Baik Kerajaan Nan Sarunai (1242 – 226 SM) sebuah kerajaan prasejarah maupun Kerajaan Kutai Martadipura (4 M), dua-duanya milik Kerajaan Suku Dayak, dan sekaligus membuktikan pula peradaban Suku Dayak di Pulau Borneo di masa silam sebagai rujukan peradaban Suku Bangsa di Indonesia pada khususnya dan di Asia Tenggara pada umumnya.

Deklarasi PBB

Perlakukan dunia internasional terhadap penduduk pribumi memiliki jalan panjang. Tiap tanggal 9 Agustus tiap tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), memperingati Hari Pribumi Sedunia sejak tahun 1982.

Melalui Hari Pribumi Sedunia, PBB memperingati hari untuk mengenang ribuan laki-laki dan perempuan pribumi di seluruh penjuru dunia, yang masih memegang erat tradisi dan nilai-nilai luhur nenek moyang mereka.

Peringatan bertepatan dengan pertemuan pertama pegawai PBB dengan masyarakat pribumi di Komisi Peningkatan dan Perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM).

Masyarakat pribumi atau masyarakat adat adalah kelompok masyarakat atau suku yang mengaku memiliki ikatan historis dan budaya dengan sekelompok masyarakat asli yang hidup di wilayah tertentu. Istilah pribumi digunakan untuk menyebut penduduk asli setiap negara.

Ada sekitar 370 juta masyarakat pribumi yang hidup di 90 negara dunia. Artinya, lima persen penduduk dunia adalah masyarakat pribumi dan disayangkan, mereka termasuk dari 15 persen masyarakat termiskin di dunia.

Kajian ilmu linguistik, masyarakat pribumi dunia memiliki sekitar 7.000 bahasa dan 5.000 ragam adat istiadat berbeda. Masing-masing memiliki budaya khusus dan berkaitan erat dengan lingkungan alam di sekitarnya. Mereka juga punya karakteristik budaya, ekonomi, sosial dan politiknya sendiri.

Dalam perkembangan selanjutnya, Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli adalah sebuah deklarasi yang disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sesi ke-61/295 di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, 13 September 2007.

Deklarasi menggariskan hak individual dan kolektif para penduduk asli (pribumi), dan juga hak mereka terhadap budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan, dan isu-isu lainnya.

Deklarasi menekankan hak mereka untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi mereka, dan hak mereka akan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka.

Deklarasi melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka, serta hak mereka untuk tetap berbeda, dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri.

Walaupun deklarasi ini tidak mengikat secara hukum, sebagaimana juga Deklarasi Majelis Umum PBB lainnya, deklarasi ini menggambarkan perkembangan dinamis dari norma hukum internasional, dan merefleksikan komitmen dari negara-negara anggota PBB untuk bergerak ke arah tertentu.

Deklarasi digambarkan PBB memberikan standar penting bagi perlakuan terhadap penduduk-penduduk asli di seluruh dunia, yang tentu saja akan menjadi alat yang penting dalam memberantas pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) terhadap 370 juta penduduk asli di dunia, dan membantu mereka memerangi diskriminasi dan marjinalisasi.

Dalam Deklarasi Penduduk Asli PBB Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, menegaskan, masyarakat pribumi setara dengan orang lain, walaupun pengakuan hak dari semua orang berbeda-beda, melihat diri sendiri berbeda, dan dihormati secara berbeda pula.

Penegasan kembali, bahwa masyarakat pribumi, dalam pelaksanaan hak-hak mereka harus bebas dari segala bentuk diskriminasi.

Keprihatinan, bahwa masyarakat pribumi telah menderita ketidakadilan sejarah sebagai hasil dari, timbal balik, kolonisasi dan pengambilalihan tanah, wilayah dan sumber-sumber daya mereka, hal demikian tersebut yang pada dasarnya menghalangi mereka untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keterwakilan mereka sendiri.

Menerima kenyataan bahwa masyarakat pribumi mengatur sendiri dalam perbaikan bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya dengan tujuan untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan tekanan setiap kali hal tersebut muncul.

Mengakui, usaha pengembangan masyarakat pribumi yang berpengaruh kepada mereka dan tanah, wilayah dan sumber daya mereka akan membuat mereka mampu untuk mempertahankan dan memperkuat institusi budaya dan tradisi dan untuk memajukan pembangunan dan manejemen yang dan sesuai dengan aspirasi serta kebutuhan mereka.

Mendorong negara, untuk patuh kepada kewajiban dan melaksanakan secara efektif semua kewajiban mereka seperti yang dilakukan pada masyarakat pribumi di bawah instrumen internasional terutama yang berhubungan dengan hak azasi, dalam konsultasi dan kerjasama dengan orang yang peduli akan tersebut.

Meyakini, bahwa deklarasi ini merupakan sebuah langkah penting ke depan terhadap pengakuan-pengakuan, promosi dan perlindungan hak dan kebebasan masyarakat pribumi dan dalam pengembangan sistem kegiatan PBB yang relevan dengan bidang ini.

Ada lima pasal penting deklarasi penegasan penduduk asli atau pribumi atau masyarakat adat pada sidang ke-61/295 di Markas PBB di New York, Amerika Serikat, 13 September 2007.

Pasal pertama, “Masyarakat pribumi mempunyai hak untuk menikmati sepenuhnya, sebagai suatu kelompok ataupun sebagai individu, atas segala HAM dan kebebasan mendasar seperti yang tercantum dalam Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM Internasional, dan Hukum HAM Internasional.”

Pasal dua, “Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.”

Pasal tiga, “Masyarakat pribumi mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, berdasarkan atas hak tersebut mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan mengusahakan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka.”

Pasal empat, “Masyarakat pribumi dalam pelaksanaan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri mempunyai hak atas otonomi atau untuk mengatur pemerintahan sendiri yang berhubungan dengan urusan internal dan lokal, juga cara dan media untuk membiayai fungsi-fungsi otonomi tersebut.”

Pasal lima, “Masyarakat penduduk asli atau masyarakat Adat mempunyai hak untuk menjaga dan memperkuat ciri-ciri mereka yang berbeda di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial dan institusi-institusi budaya, seraya tetap mempertahankan hak mereka untuk berpartisipasi secara penuh, jika mereka menghendaki, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya Negara.”

Dayak di Indonesia

Masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli di Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam, memenuhi kriteria sebagai masyarakat adat atau penduduk asli karena masih berpegang teguh kepada kebudayaan leluhurnya.

Mereka hidup akrab dengan alam. Hutan dan alam sekitar selalu dianggap sebagai supermarket hidup, karena segala kebutuhan keseharian penduduk asli Suku Dayak, langsung diambil dari alam.

Suku Dayak juga memiliki agama asli. Agama Kaharingan yang sekarang dianut sekitar 330.000 warga Suku Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, merupakan salah satu agama suku di dunia yang masih bisa bertahan di tengah-tengah pembangunan dan globalisasi.

Martin Georg Baier, teolog berkebangsaan Jerman, dalam bukunya Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa, Teologi Sistematika Agama Hindu Kaharingan: Pembahasan Kemajuan Iman dan Kehidupan Agamawi Agama Hindu Kaharingan (2008), setidaknya menegaskan hal itu.

Berbagai istilah akidah agama Kaharingan sebagian besar diambil dari perbendaharaan kata keseharian Dayak Ngaju. Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional Suku Dayak.

Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun-temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Kitab Suci Agama Kaharingan bernama Panaturan dan tempat peribadatannya bernama Basarah.

Akan tetapi dari kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia, Suku Dayak mengalami diskriminasi dan pemiskinan, sejak era kepemimpinan Presiden Soeharto, 1 Juli 1966 – 21 Mei 1998.

Di antara kebijakan diskriminasi dan pemiskinan di kalangan Suku Dayak, adalah kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang ternyata dimiliki elit politik di Jakarta, baik sipil maupun militer.

Di samping itu, program transimigrasi, memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke Kalimantan, dilengkapi berbagai fasilitas lengkap dan jatah hidup. Sementara saat bersamaan Suku Dayak dibiarkan hidup miskin, tanpa ada sentuhan pembangunan.

Pada September – Desember 1967, Suku Dayak di Provinsi Kalimantan Barat, diperalat militer dan pemerintah, mengusir dan membunuh ratusan ribu etnis Tionghoa yang bermukim di pedalaman dan pedalaman, selama operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku).

PGRS/Paraku adalah paramiliter bentukan Pemerintah Indonesia, untuk mendukung militer Indonesia berperang dengan kepentingan Inggris, sebagai tanda protes Presiden Soekarno atas Sabah dan Sarawak gabung dengan Federasi Malaysia tahun 1963.

Setelah Presiden Soekarno dijatuhkan melalui operasi Central Inteligen Agency (CIA) Amerika Serikat, 30 September 1965, muncul penggantinya Soeharto yang kemudian menumpas anggota PGRS/Paraku, karena tidak mau menyerahkan diri.

Di bidang politik, Suku Dayak di wilayah Indonesia, selalu dipaksa untuk memenangkan Partai Golongan Karya (Golkar) di era Presiden Soeharto setiap kali digelar Pemilihan Umum, tapi Suku Dayak tidak diberi akses dan tidak kepercayaan di bidang jabatan struktural di pemerintahan.

Di era demokratisasi pasca kejatuhan Presiden Soeharto, terhitung 21 Mei 1998, situasi kehidupan masyarakat Suku Dayak di Indonesia, ternyata tidak kalah buruknya.

Perizinan sektor perkebunan dan pertambangan di tengah pemukiman Suku Dayak, atas nama oknum pengusaha besar yang memiliki akses dengan penentu kebijakan strategis di bidang ekonomi dan politik di Jakarta.

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Untuk Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) Kalimantan menyebutkan, praktik penjarahan kawasan hutan untuk kepentingan korporasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan secara tidak prosedural periode 2009 – 2015 mencapai 17,243 juta hektar.

Anton Wijaya, peneliti dari GN-PSDA Kalimantan menjelaskan, total kerugian negara di lahan yang dijarah seluas 17,243 juta hektar tembus di angka Rp30 triliun, dengan rincian kerugian negara per tahun periode 2009 – 2015, antara Rp2,1 triliun hingga Rp6 triliun.

Menurut Anton, luas Kalimantan mencapai 53,544 juta hektar, meliputi kawasan hutan (hutan produksi, suaka alam, hutan lindung dan tanam nasional) mencapai 39,207 juta hektar. Logika sederhana saja dari luas Kalimantan 53,544 juta hektar, dikurangi kawasan hutan 39,207 juta hektar, mestinya kegiatan ekonomi non konservasi hanya diperbolehkan di lahan seluas 14,336 juta hektar.

Nyatanya izin pertambangan di Kalimantan periode 2009 – 2015 tembus 18,356 juta hektar, perkebunan kelapa sawit 13,223 juta hektar, Hutan Tanaman Industri (HIT) 4,982 juta hektar, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 10,917 juta hektar.

“Jika dihitung dari luas lahan hutan di Kalimantan hanya diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi non konservasi 14,336 juta hektar, tapi izin tambang dan kebun sawit saja mencapai 31,579 juta hektar, maka kawasan hutan beralih fungsi secara tidak prosedural mencapai 17,243 juta hektar dengan total potensi kerugian negara Rp30 triliun,” kata Anton Wijaya.

Anton menyatakan, dari 18,356 juta hektar izin tambang di Kalimantan, seluas 9,6 juta hektar berada di kawasan hutan. Dari 13,223 juta hektar izin kebun kelapa sawit di Kalimantan, seluas 7,4 juta hektar berada di kawasan hutan.

Bahkan, di Kalimantan Barat saja, izin tambang dan kelapa sawit berada di dalam kawasan hutan mencapai 5,77 juta hektar. Sedangkan proses pengukuhan kawasan hutan di Kalimantan Barat baru mencapai 4,386 juta hektar atau sekitar 53,70 persen dari 8,166 juta hektar kawasan hutan.

“Dari 12,8 juta hektar kawasan konsesi korporasi di Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 483 unit perusahaan beraktifitas di kawasan hutan,” ujar Anton.

Anton menambahkan, luas wilayah perusahaan yang berada dalam kawasan hutan di Kalimantan Tengah seluas 3,370 juta hektar, masing-masing konservasi 8.315 hektar, kwasan lindung 116.758 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1,354 juta hektar, dan Hutan Produksi (HP) mencapai 1,364 juta hektar.

Dayak di Malaysia dan Brunei

Suku Dayak di Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia (Sabah dan Sarawak), menjadi bagian tidak terpisahkan dari korban pertarungan ideologi global, antara Blok Sosialis pimpinan Uni Soviet (Federasi Rusia) di mana anggotanya di antaranya Republik Rakyat China (RRC) dan Blok Liberalis, pimpinan Amerika Serikat, di antara anggotanya Inggris, Belanda dan Selandia Baru.

Berangkat dari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, masyarakat Suku Dayak di Sabah dan Sarawak, sedianya ingin bergabung dengan Indonesia. Itu disadari bahwa Rakyat Malaya dan Indonesia bukanlah sekedar bangsa serumpun, tetapi juga seperjuangan.

Pada awal tahun 1945, Encik Ibrahim Yaakob dan kawan-kawannya (para tokoh nasioanalis Malaya) menganggap sudah tiba saatnya bagi Jepang untuk memerdekakan Malaya bersama-sama Indonesia, kemudian masuk ke dalam Indonesia Raya. Untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, mereka menjumpai Jenderal Terauchi (Panglima Tertinggi tentara Jepang) di Gunseikan Taiping, Perak.

Tuntutan diterima Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, Australia dan Selandia Baru). Sehingga pada Juli 1945 rakyat Melayu sempat menjadi Bangsa Indonesia Raya. Pada 8 Agustus 1945, berkibarlah Sang Merah Putih di Singapura, sampai saat Inggris mendarat di sana. Akhirnya, Sang Merah Putih dengan 12 bintang kuning dijadikan bendera perjuangan gerilya Bangsa Melayu dan Malaya.

Tak lama kemudian Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta bertolak ke Indocina (Vietnam) untuk menerima pernyataan Jenderal Terauchi yang intinya memberikan keleluasaan bagi Bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaannya. Kemudian, 13 Agustus 1945, para pemimpin nasionalis Malaya bertemu Soekarno dan Mohammad Hatta di Gunseikanbu, Taiping, Perak.

Ketika itu, Encik Ibrahim Yaakob, Burhanuddin, dan pemuka rakyat Malaya ingin menggabungkan Malaya dengan Indonesia Raya. Namun Dwitunggal Indonesia (Soekarno – Hatta) tidak dapat membuat keputusan begitu saja.

Karena merupakan sesuatu yang belum pernah dibicarakan sebelumnya. Rakyat Malaya kemudian mengambil keputusan sendiri. Tiga hari berturut-turut (15, 16 dan 17 Agustus 1945) mereka menyelenggarakan Kongres Rakyat Malaya di Kuala Lumpur.

Hasilnya, keputusan berjuang demi kemerdekaan dan bersatu dengan Indonesia. Keputusan dipelopori Burhanuddin, kemudian didukung Onn bin Jafar. Kemudian, Encik Ibrahim Yaakob berangkat ke Singapura untuk menarik Giyungun menjadi tentara kebangsaan. Juga akan dikirim utusan ke Jawa untuk mengatur penggabungan Semenanjung Malaya dengan Republik Indonesia.

Namun Rakyat Malaya yang penuh harap itu akhirnya pasrah dan terharu berhadapan dengan kenyataan bahwa Republik Indonesia yang terdiri dari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, ternyata hanya meliputi wilayah Hindia Timur Belanda saja.

Khusus di wilayah Sarawak, Sabah dan Brunei, Soekarno – Hatta, menginginkan, menjadi dua negara berdaulat sendiri, terpisah dengan wilayah Malaya di semenanjung.

Dari gambaran di atas dapat dibayangkan, perjuangan kemerdekaan Indonesia sesungguhnya juga merupakan perjuangan Bangsa Malaya. Demikian pula sebaliknya: perjuangan bangsa-bangsa di Malaya dan Kalimantan Utara juga dirasakan sebagai perjuangan Bangsa Indonesia.

Jadi, adanya tuduhan seakan-akan Indonesia ingin mencaplok Malaysia dan Kalimantan Utara, melalui pengumuman perang Presiden Soekarno terhadap Inggris di Sabah dan Sarawak tahun 1964, tidak benar sama sekali. Hal yang saat itu ditentang secara habis-habisan oleh Presiden Soekarno adalah neokolonialisme, yaitu ketika Federasi Malaysia sudah mau didikte Inggris.

Presiden Soekarno yang melahirkan Indonesia berideologi sosialis memandang Blok Liberalis pimpinan Bangsa Amerika Serikat, beranggotakan Inggris, berideologi liberalis kapitas, identik sebagai penjajah, tukang keruk sumberdaya alam bangsa yang tengah berkembang. Dua kacamata ideologi global yang saling berbenturan keras pada masa itu.

Inggris ketika itu berdalih, untuk sekedar menggunakan haknya sebagai pemegang kedaulatan formal atas Malaysia, dan Inggris tidak mau diganggu hal itu. Inggris mempunyai konsep sendiri, di satu pihak harus mengikuti arus dekolonisasi dunia, dan di pihak lain ingin terus mempertahankan hegemoni ekonominya di kawasan bekas jajahannya.

Kalangan penduduk asli di Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam, termasuk di dalamnya berasal dari Suku Dayak, tidak tinggal diam, menanggapi keputusan sepihak dari Inggris.

Mereka memanggul senjata, dan meminta bantuan Presiden Soekarno, sehingga kemudian dibentuk PGRS/PARAKU.

Tapi perlawanan kelompok anti Inggris di Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam, dengan mudah dipatahkan, setelah kudeta CIA Amerika Serikat terhadap Presiden Soekarno berhasil diledakkan pada 30 September 1965 yang kemudian dituding secara sepihak Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya.

Abang Kifi dan Ansyahari yang kemudian sempat mengklaim diri sebagai pimpinan tertinggi di Brunei Darussalam, menjadi tidak berkutik, sehingga memutuskan melarikan diri ke Pilipina.

Pasca kejatuhan Presiden Indonesia, Soekarno, terhitung 22 Juni 1966, situasi kehidupan masyarakat Suku Dayak sebagai penduduk asli di Brunei Darussalam, Sabah dan Sarawak, sama dengan di Indonesia. Tanah tempat tinggal Suku Dayak dirampas dengan rakusnya oleh kaum kapitalis, tanpa ganti rugi.

Di Kerajaan Brunei Darussalam, Suku Dayak, tidak boleh menunjukkan diri secara politik, karena seorang Sultan memiliki hak mutlak dalam banyak hal, dengan menetapkan Agama Islam sebagai resmi dan konstitusi negara yang harus berazaskan Islam.

Di Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian, Sarawak, kalangan masyarakat Suku Dayak pun harus menerima kenyataan pahit, yaitu konstitusi negara yang berdasarkan Agama Islam.

Sebagai salah satu contoh, kalangan masyarakat di luar Agama Islam, tidak boleh menyebut kata Allah dalam kehidupan keseharian dan peribadatan di luar Agama Islam. Kitab Suci Injil yang beredar di Malaysia, sangat dilarang mencantumkan kata-kata Allah.

Di Negara Bagian Sabah, kehadiran imigran illegal Islam dari Mindanao, Pilipina, sewaktu-waktu bisa ikut pemilihan umum, dalam rangka mengamankan aplikasi konstitusi negara berdasarkan Agama Islam, di tengah-tengah penduduk asli di wilayah Negara Bagian Sabah yang sebagian besar bukan beragama Islam.

Di Distrik Miri, Negara Bagian Sarawak, ribuan warga Suku Dayak dipindahkan secara paksa, tanpa ada ganti rugi, karena wilayah mereka dibangun Pembangkit Listrik Negara Air yang sekarang jaringannya diekspor ke Indonesia. Tapi korban Suku Dayak yang lahannya dirampas, sama sekali tidak diberi ganti rugi.

Renungan Suku Dayak

Dari gambaran di atas, sudah semestinya Pemerintah Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, mengevaluasi kembali terhadap kebijakan pembangunan yang terbukti hanya mendiskriminasi dan mengkriminalisasi Suku Dayak.

Perlu disadari, apabila sebuah negara mengklaim diri sebagai negara demokrasi, tapi dalam kebijakan internal terbukti melakukan diskriminasi dan kriminalisasi terhadap penduk asli (termasuk terhadap Suku Dayak), maka akan berhadapan dengan tekanan dunia internasional, pasca Deklarasi Penduduk Asli di New York, Amerika Serikat, 13 September 2007.

Walaupun mobilitas manusia dalam dunia terjadi, namun yang disebut masyarakat pribumi itu ada. Suku Dayak adalah masyarakat pribumi, penduduk asli, atau masyakarat adat di Pulau Borneo. Keberadaan pribumi di suatu negara tidak bisa diabaikan.

Mereka memiliki hak-hak sebagaimana tertuang di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Asli Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 13 September 2007, dan Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, mempunyai kewajiban memperhatikan dan melindungi Suku Dayak.

Masyarakat pribumi juga sering disebut penduduk asli di suatu wilayah. Mereka datang terlebih dahulu dibanding dengan yang disebut masyarakat pendatang.

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Pribumi hendaknya bisa membuka wawasan dan mata hati semua pihak, bahwa membicarakan masyarakat pribumi bukan barang tabu yang harus dilarang. Bahkan negara dituntut untuk memberikan hak-hak istimewa kepada masyarakat pribumi.

Seyogyanya Pemerintah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, harus dihindari ketika mendengar pembicaraan masyarakat pribumi, penduduk asli, masyarakat adat, seolah-olah sebagai hal yang menakutkan dan akan merugikan.

Pembicaraan tersebut juga bukan masalah diskriminatif, tetapi masalah hak azasi manusia yang harus dijunjung tinggi demi kemajuan masyarakat pribumi. Bukanlah hal yang mustahil jika pada suatu saat nanti, masyarakat Suku Dayak minimal menuntut diberlakukan otonomi khusus, demi menjaga hak-haknya sebagai tertuang di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Asli Perserikatan Bangsa-Bangsa, 13 September 2007.

Karena bagaimana mungkin Pemerintah Republik Indonesia, Kerajaan Brunei Darussalam dan Federasi Malaysia, bisa mensejahterakan masyarakat pribumi, termasuk upaya mensejahterakan Suku Dayak di Pulau Borneo, jika kita takut, tidak mau dan dilarang berbicara tentang hak-hak dasar mereka sebagai penduduk asli yang sudah tergambar di dalam Deklarasi Hak-hak Penduduk Asli Perserikatan Bangsa-Bangsa, 13 September 2007? (Aju)

One comment

  1. Hej, szczerze polecam oferte biura projektowego Sztuka Ogrodowa z Warszawy. Bardzo podoba mi sie ich profesjonalizm.
    U mnie zrobili super robote i jestem bardzo zadowolony z rezultatu (moge podeslac kilka zdjec mojego ogrodu)
    link do ich strony: http://sztuka-ogrodowa.com.pl/

Comments are closed.